Memiliki anak tanpa suami membuat nama Cinta tercoret dari hak waris. Saudara tirinya lah yang menggantikan dirinya mengelola perusahaan sang papa. Namun, cinta tidak peduli. Ia beralih menjadi seorang barista demi memenuhi kebutuhan Laura, putri kecilnya.
"Menikahlah denganku. Aku pastikan tidak akan ada lagi yang berani menyebut Laura anak haram." ~ Stev.
Yang tidak diketahui Cinta. Stev adalah seorang Direktur Utama di sebuah perusahaan besar yang menyamar menjadi barista demi mendekatinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon syitahfadilah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 30~ LAURA JATUH
"Van, kamu mau kemana?" tanya papa Azka ketika putranya berjalan ke arah pintu kamar.
"Mau ke Aula sebentar, Pa. Mau memastikan semuanya aman sekalian aku mau lihat Laura juga," jawab Vano.
"Ya sudah, tapi jangan lama-lama. Sekarang sudah hampir jam 6 dan kamu juga harus bersiap-siap," kata papa Azka.
"Iya, Pa." Vano pun keluar dari kamar tersebut dan langsung menuju aula pernikahan.
Di dalam suasana sudah terlihat ramai sejak beberapa jam yang lalu. Seluruh keluarganya berkumpul di sana dan berbincang-bincang dengan beberapa keluarga dari pihak pak Haris yang juga sudah datang.
Vano mengedarkan pandangannya mencari keberadaan sang kakak. Begitu melihat Rian sedang mengobrol dengan petugas keamanan hotel, ia pun segera menghampiri.
"Semuanya sudah aman kan, Kak?"
"Aman," jawab Rian.
Vano mengangguk. Ia kembali mengedarkan pandangan meneliti setiap sudut aula sambil menghela nafas panjang. Tampak sedikit tegang, tepukan sang kakak di pundaknya membuatnya menoleh.
"Santai, jangan tegang gitu. Udah sah kok, tinggal resepsi aja," ucap Rian sambil terkekeh.
Vano pun tersenyum. Ia juga tidak mengerti kenapa bisa tegang seperti ini. Padahal di rumah tadi ia sangat antusias ingin menunjukkan sosok istrinya pada semua orang.
Di sisi lain...
Mobil yang dikendarai papa Haris pun tiba di pelataran hotel. Setelah turun mereka langsung masuk ke hotel. Papa Haris sesekali berhenti ketika ada yang menyapanya. Sementara Indri dan mamanya langsung menuju aula pernikahan.
Mama Ratih menggenggam erat lengan putrinya ketika beberapa orang yang berpapasan menatap mereka berdua dengan lirikan sinis dan terlihat sesekali berbisik-bisik. Sudah pasti mereka membicarakan tentang Indri yang batal dilamar Vano.
"Duh, Indri. Seharusnya kita gak usah datang ke sini tadi. Lihat, mereka pasti lagi ngomongin kita. Mama malu banget."
Indri menghela nafas. "Udah deh, Ma. Biasa aja, biarin mereka mau ngomong apa aku gak peduli!"
"Tapi Mama malu, Ndri. Apalagi disini pasti ada teman-teman arisan Mama. Mama harus ngomong apa nanti kalau ketemu mereka."
Indri tak menanggapi ucapan mamanya. Begitu tatapannya tertuju pada Vano, ia langsung melirik sang mama dengan senyum penuh makna.
"Kamu sebenarnya ada rencana apa sih, Ndri?"
"Mama akan tahu sendiri nanti." Indri kembali menatap ke arah Vano yang sedang mengobrol dengan kakaknya. Lelaki itu tampak sangat gagah meski tubuhnya hanya berbalut kemeja putih. Pesonanya memang sungguh memikat, tak heran jika banyak wanita yang tergila-gila padanya.
Setelah mengobrol dengan kakaknya. Vano pun menemui Laura yang kata Rian sedang berada di kamar yang ditempati Aidan dan Jihan.
Ia tersenyum mendapati putrinya tampak senang berdekatan dengan Hana, anaknya Aidan dan Jihan yang sekarang telah berusia enam bulan.
"Van, lihat anak kamu. Dia dari tadi cium cium pipinya Hana. Kayaknya dia udah siap tuh jadi kakak," gurau Aidan.
Vano tersenyum kecut. "Mamanya masih takut, sepertinya dia trauma."
Aidan tampak mengangguk pelan. Ia langsung dapat menyimpulkan jika sepupunya itu belum menyentuh istrinya hingga sekarang. "Yang sabar, lama-lama traumanya pasti hilang. Tapi kamu juga harus usaha, dong, jangan diam aja. Kalau bukan kamu yang memulai, sampai kapanpun istri kamu gak akan siap."
"Hem, iya. Ya udah, aku balik ke kamar dulu mau siap-siap juga. Titip anakku ya." Ia menepuk pundak sepupunya itu lalu berpamitan keluar.
Setibanya di kamarnya, ia langsung diarahkan untuk berganti pakaian. Dan Cinta pun saat ini sedang dirias di kamar pengantin.
Setelah semua persiapan selesai, keluarga masing-masing pengantin datang menjemput.
Cinta dan Vano akan memasuki aula pernikahan dari arah yang berbeda dan akan bertemu di pintu masuk.
Sampai di titik ini Vano semakin merasa tegang. Entahlah, ia sendiri tidak mengerti.
"Hei, pengantin mu sudah datang tuh," bisik Rian yang membuat Vano pun segera menoleh.
"Masya Allah." Seruan itu terdengar ketika melihat Cinta berjalan tampak anggun dengan gaun yang menjuntai.
Tatapan Vano terpaku. Hatinya seketika menghangat memandang sosok istrinya. Akan tetapi ia semakin merasa tegang saat Cinta semakin dekat.
"Digandeng dong, tangan istrinya!" ucap Rian sambil menyenggol lengan adiknya, membuat beberapa orang yang ada di sana berseru dan tertawa.
Vano dan Cinta pun berjalan beriringan memasuki aula dengan melewati karpet merah yang terbentang panjang. Taburan kelopak bunga berjatuhan seiring langkah mereka berdua menuju pelaminan.
Kini tak hanya Vano yang merasa tegang. Cinta pun turut merasakan hal yang sama, ia sampai mengatur nafas dalam-dalam untuk menormalkan degup jantungnya.
Resepsi malam itu berjalan dengan sangat meriah. Papa Azka dan mama Kinan, serta papa Haris dan mama Ratih terlihat menyambut para tamu yang datang.
Dibalik senyumnya, mama Ratih menahan malu akan perbuatannya sendiri. Ia mengedarkan pandangannya di antara keramaian mencari keberadaan Indri yang entah menghilang kemana.
Sepanjang acara berlangsung sesekali Vano menggenggam tangan istrinya yang tampak lelah. "Udah capek banget, ya?" Bisiknya.
"Lumayan, tapi gak apa-apa." Cinta memasang senyum yang nampak dipaksakan sebab sebenarnya sudah merasa sangat lelah berdiri selama berjam-jam menyalami para tamu.
"Ya udah, tapi bilang kalau kamu sudah gak kuat. Kamu balik ke kamar aja istirahat, biar aku yang menyambut tamu," ucap Vano.
Cinta mengangguk. Keduanya pun kembali menatap keramaian. Hingga beberapa saat kemudian mereka melihat Jihan yang berlari tampak panik menghampiri Aidan.
Jihan terlihat menyampaikan sesuatu pada suaminya dengan ekspresi cemas, Aidan pun segera berlari menuju kamarnya dan diikuti oleh beberapa keluarga yang lain dan juga terlihat panik.
"Mereka kenapa?" tanya Cinta yang turut merasakan ada sesuatu yang tidak beres.
"Gak apa-apa, kamu tenang saja." Vano berusha menenangkan istrinya meski sebenarnya ia juga mulai merasa tak tenang saat melihat Jihan terlihat panik, sebab ia menitipkan Laura dengannya.
Beberapa tamu kembali naik ke pelaminan. Cinta menyalami mereka dengan tersenyum ramah, sementara Vano mulai terlihat tidak fokus sebab terus terpikirkan kepanikan Jihan tadi. Semoga tidak terjadi sesuatu yang buruk.
Tak berselang lama. Terlihat Rian berjalan tergesa-gesa menuju pelaminan.
"Van, Laura jatuh dari tempat tidur. Kepalanya mengalami luka yang cukup serius dan Aidan sudah membawanya ke rumah sakit," bisik Rian
Kedua mata Vano seketika terbelalak. "Apa?" Bagaimana Laura bisa jatuh dari tempat tidur?" tanyanya panik, seingatnya beberapa saat lalu Aidan memberitahu jika Laura dan Hana telah tertidur. Suaranya yang cukup kencang itu membuat Cinta pun tersentak.
"Apa? Laura jatuh dari tempat tidur?" Detak jantungnya seketika berpacu dengan cepat. Tanpa mengulur waktu ia mengangkat gaun pengantinnya dan segera turun dari pelaminan.
Vano pun segera menyusul istrinya. Sementara Rian mengumumkan jika acara malam ini terpaksa harus diakhiri sebab telah terjadi sesuatu.
Ditengah keriuhan, mama Ratih masih mengedarkan pandangannya mencari keberadaan putrinya.
"Aduh, Ndri. Kamu dimana sih!"