Dua tahun. Dua sahabat. Satu cinta dan satu hati. Clara dan Sarah, terikat oleh persahabatan yang tak tergoyahkan sejak dua tahun persahabatan mereka di bangku kuliah, menghadapi badai kehidupan bersama. Namun, kedamaian itu hancur ketika sebuah kerikil kecil—sejumlah tokoh antagonis, masing-masing dengan segudang niat jahat—muncul secara tiba-tiba. Serentetan jebakan dan intrik licik memicu serangkaian kejadian di antara Sarah dan Clara: salah paham, pertengkaran, dan pengkhianatan yang tak terduga. Apakah persahabatan mereka cukup kuat untuk menghadapi cobaan ini?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Grace caroline, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 16. Kamu Punya Aku
Sementara itu di dalam kamarnya, Clara sedang duduk di tepi ranjang, Sarah di sampingnya. Clara terlihat kesal, bibirnya manyun—meski bagi Sarah, ekspresi kesalnya itu malah terlihat menggemaskan.
Namun, kekesalan Clara kali ini bukan main-main. Tangannya memerah menahan amarah. Sarah meraih tangan Clara, menggenggamnya lembut, berusaha menenangkan sahabatnya yang sedang emosi.
"Mereka mau nge-prank aku atau gimana sih? Aku udah terlanjur sakit hati loh, bahkan aku sampai kepikiran mau pergi dari rumah! Eh, sekarang mereka malah bilang cuma salah paham dan mau ngajak kita liburan. Apa nggak ada rasa bersalah sedikitpun di pikiran mereka sama aku?
Bener-bener deh... mereka emang gak sayang sama aku, kayak aku itu bukan anaknya aja!" Clara mengutarakan unek-uneknya dengan suara sedikit meninggi, matanya tajam. Sarah mendengarkan dengan penuh pengertian, tersenyum manis sembari mengangguk.
"Ra...aku ngerti kamu marah, kecewa sama mereka. Tapi, coba deh pikir lagi. Mereka udah berusaha ngejelasin semuanya, kan? Mungkin emang mereka salah, tapi mereka juga udah minta maaf.
Mereka bahkan mau ngajak kamu dan aku liburan ke New York, lho Itu artinya mereka sayang sama kamu. Jangan marah terus, ya?" kata Sarah dengan lembut, berusaha menenangkan Clara.
Clara mendengus kesal. "Gak segampang itu, Sar. Aku udah terlanjur sakit hati. Rasanya kayak aku bukan anak kandung mereka. Kayak mereka tuh nggak peduli sama perasaan aku."
"Aku tahu, Ra. Tapi, coba deh kamu liat dari sisi mereka juga. Bayangin kalo kamu jadi orang tuamu, apa yang akan kamu lakuin kalau melihat pasangan kamu lagi jalan sama orang lain?
Apa kamu akan diem dan cuek? Atau justru kamu akan ikutan marah kayak papamu? Kesalahpahaman kayak gini udah sering terjadi, Ra. Bukan cuma kamu dan keluargamu aja, tapi banyak orang di dunia juga pernah merasakannya. Bahkan jauh lebih parah." Sarah mencoba menjelaskan dengan sabar.
Ia melanjutkan, "Mereka juga pasti sayang sama kamu, cuma cara ngungkapinnya aja yang salah. Semua orang tua di dunia ini pasti sayang sama anak-anaknya, Ra, termasuk orang tua kamu.
Mereka juga selama ini sibuk bekerja buat kamu kan? Buat memenuhi kebutuhan kamu? Kalau seumpama mereka nggak sesibuk itu, kamu nggak akan bisa merasakan semua kenikmatan ini, Ra. Kamu nggak akan bisa hidup enak dan kaya raya."
Matanya berkaca-kaca, ucapannya barusan benar-benar menguras perasaannya. Ia berusaha menahan gejolak di hatinya, tapi emosinya tiba-tiba meledak saat memberikan nasihat kepada Clara. Kata-katanya seakan menghipnotis dirinya sendiri, membuatnya larut dalam suasana dan nyaris menitikkan air mata.
"Harusnya kamu bisa bersyukur, Ra punya semua ini. Bukannya ngeluh terus. Aku tahu kamu sedih, karena orang tuamu yang sibuk terus dan nggak ada waktu buat kamu, tapi kamu masih punya aku Ra, aku sahabat kamu.
Tolong ya, tolong sabar dan tenang. Kamu buang semua emosi kamu dan kita keluar. Aku pengen ngajak kamu ke cafe buat nenangin pikiran. Kalau terus di rumah, pasti kamu nggak akan bisa tenang, pikiran kamu nggak akan bisa jernih. Lebih baik kita keluar," usul Sarah.
Hening. Setelah beberapa saat, Clara menarik napas dalam-dalam, tatapannya kosong jauh ke depan. "Aku capek, Sar," katanya lirih, suaranya terdengar lesu. "Aku capek ngerasain semua ini." Ia menunduk, jari-jarinya mengusap lembut pahanya.
Sarah memeluk erat bahu Clara. "Aku ngerti, Ra. Tapi, kamu harus kuat. Kamu harus bisa ngelewatin semua ini." Ia mengusap lembut rambut Clara, berusaha menenangkan sahabatnya yang sedang kalut. "Kamu punya aku, Ra. Aku selalu ada buat kamu."
Clara terdiam, matanya berkaca-kaca. Ia tahu Sarah benar, ia punya Sarah. Sahabatnya yang selalu ada untuknya, yang selalu mendengarkan keluh kesahnya, yang selalu memberikan semangat dan kekuatan untuknya. "Makasih, Sar," katanya lirih, suaranya bergetar.
"Udah, jangan sedih lagi. Kita keluar aja, yuk. Aku pengen ngajak kamu nongkrong di cafe yang biasa kita datangi. Nanti di sana kamu bisa nenangin pikiran dan hati kamu. Kamu bisa menyegarkan pikiran kamu yang keruh itu, terus happy-happy deh." Sarah menarik tangan Clara, mengajaknya berdiri. "Ayo, kita keluar"
Clara mengangguk lemah, ia masih merasa marah dan bingung. Namun, ia tahu Sarah benar, ia butuh udara segar dan ketenangan. Ia bangkit dari tempat tidur, lalu mengikuti Sarah keluar dari kamar.
Saat mereka melewati ruang tamu, mereka melihat kedua orang tua Clara masih asyik bermesraan. Mama Clara bersandar manja di dada Papa Clara, sementara Papa Clara mengelus lembut rambut Mama Clara. Senyum bahagia masih terpancar di wajah mereka.
Clara menghela napas, ia masih merasa kesal. Namun, melihat kedua orang tuanya yang begitu bahagia, ia merasa sedikit lega. Mungkin saja, semua ini memang hanya kesalahpahaman.
"Kita pergi dulu, ya, Tante, Om, mau ke cafe bentar," kata Sarah, sambil tersenyum manis kepada kedua orang tua Clara.
Mama Clara mengangguk, "Iya, hati-hati ya, Nak."
Clara hanya mengangguk, ia tidak ingin berbicara lagi dengan kedua orang tuanya. Ia masih merasa kesal dan kecewa, namun ia juga tidak ingin memperburuk keadaan. Ia hanya ingin pergi dari rumah dan menenangkan pikirannya.
Bersambung ...