Dipaksa pulang karena suatu perintah yang tak dapat diganggu gugat.
ya itulah yang saat ini terjadi padaku.
seharusnya aku masih berada dipesantren, tempat aku belajar.
tapi telfon hari itu mengagetkanku
takbisa kuelak walaupun Abah kiyai juga sedikit berat mengizinkan.
namun memang telfon ayah yang mengatas namakan mbah kakung tak dapat dibantah.
Apalagi mbah kakung sendiri guru abah yai semakin tak dapat lagi aku tuk mengelak pulang.
----------------------------------
"entah apa masalahmu yang mengakibatkan akhirnya kita berdua disini. tapi aku berharap kau tak ada niat sekali pun untuk menghalangiku menggapai cita2ku" kataku tegas. takada sama sekali raut takut yang tampak diwajahku
masabodo dengan adab kali ini. tapi rasanya benar2 membuatku ingin melenyapkan seonggok manusia didepanku ini.
" hei nona, bukankah seharusnya anda tidak boleh meninggikan suara anda kepada saya. yang nota bene sekarang telah berhak atas anda" katanya tak mau kalah dengan raut wajah yang entah lah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Salsa Salsa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 29
BAB 29
“Mbak Aliya mau kemana?”. Tanya Lady saat tahu aku sedang bersiap.
“Ohh. Mau berangkat ngaji nih”.
“Jam segini?”. Tanyanya lagi sedikit heran saat tahu kalau jarum jam sudah berada di angka setengah sepuluh malam.
Senyumku terbit saat pertanyaan itu terucap.
Pasti aneh bukan kalau di jam segini baru berangkat mengaji. “Iya, aku udah ditunggu sama umma. Tak tinggal ya, palingan bentar lagi yang lain juga udah pada balik”. Jelasku.
Memang saat ini hanya ada aku dan juga Lady yang berada di dalam kamar. Ruangan yang ditempati oleh para tamu ini memang juga aku tempati bebarengan dengan mereka.
Aku sudah tahu tujuan mereka kemari sejak beberapa hari yang lalu. Dua hari sebelum kegiatan yang mereka lakukan di pondok ini. Ya itu mengambil gambar. Mereka ternyata artis dan juga beberapa crew rumah produksi. Makanya sedikit tidak asing dengan mereka. Walau pun aku tak terlalu suka dengan perfilman tanah air. Lebih tepatnya juga tak begitu mengikuti.
Sudah sekitar lima harian mereka memulai shooting di sini. Tanpa mengganggu kegiatan para santri tentunya. Karena bagai mana pun keadaannya kegiatan belajar mengajar harus tetap berlangsung.
Yah kegiatanku di saat hampir tengah malam. Mengaji dengan umma. Sebenarnya tidak bisa dikatakan privat karena bukan hanya aku saja tapi juga ada beberapa anak ndhalem yang memiliki jadwal yang sama denganku itu pun sudah termasuk jadwalku. Tapi berhubung aku pun juga mengikuti kelas Ma’had Aly. Jadi yah berbagi waktu dengan kegiatan yang lain. Pun umma begitu terbuka dengan kegiatan kita beliau dengan suka rela meluangkan waktunya untuk menyimak ngaji kami yang belum seberapa ini.
“Sampun mulai ta mbak?”. Tanyaku pada salah satu mbak ndhalem sekaligus seniorku yang telah lebih dulu datang.
“Belum mbak umma masih di dalam kamar”. Jawabnya padaku.
Kubaca ulang apa yang akan kusetorkan kepada umma. Menunggu umma rawuh juga dengan antrian mengaji.
Sekitar pukul sebelas malam kegiatan mengaji akhirnya rampung. Kadang kala kegiatan ini bisa sampai pukul dua belas. Tergantung banyak tidaknya anak yang ikut mengaji. Yah maklum saja kita perempuan punya jadwal libur yang tak bisa diprediksikan oleh BMKG bukan.
*******
Malam sudah larut pun juga semua santri yang mengikuti kegiatan mengaji dengan umma Sudah kembali semua ke dalam pondok. Aku seperti biasa bagian paling akhir.
Masih ada suara- suara gaduh antara pondok putri dan juga pondok putra yang terpisah oleh ndhalem. Suara bising beberapa santri yang sedang melepas penat. Namun di sini terasa sekali sunyinya sudah tak ada orang yang berlalu lalang.
********
“Mbak telfon ya”. Kataku kepada penjaga tempat para santri bisa menghubungi keluarga di rumah.
“Iya mbak. Bentar ya”.
Jadwal telfon setiap dua minggu sekali. Dengan para santri yang sudah memiliki jadwalnya masing- masing. Dan bertepatan sekarang adalah giliranku mendapatkan jadwal.
Hanya nomor ibu yang kusimpan. Walau pun sebenarnya setiap santri diperkenankan memiliki dua nomor yang bisa dihubungi. Aku hanya mencantumkan satu nomor.
Suara sambungan telefon yang berdering. Semoga saja saat ini ibu sedang membawa handphonenya. Karena sering kali telefonku tak dapat terhubung karena handphone yang tergeletak tak ada yang memegang.
“Assalamualaikum kak”. Sapaan dari seberang sana.
“Waalaikumsalam ibu”. Jawabku senang. Sudah satu bulan aku belum bertukar kabar dengan keluarga. Jatah yang kemarin hangus karena jadwalku berbarengan dengan adanya acara di luar pondok.
Rindu sekali rasanya dengan sosok tercintaku ini.
“Ibu sehat?. Orang rumah sehatkan?”. Tanyaku bertubi.
“Alhamdulillah sehat semua nih kak. Kakak sehat juga kan disama?”. Tanya ibu balik padaku.
“Sehat bu. Alhamdulillah”. Jawabku.
“Kok baru telefon kak. Jatah kemarin kaok gak telefon ibu, kakak telefon mantu ibu ya”. Tanyanya yang berhasil membuatku terdiam seribu bahasa.
Hanya ini lah cara kita di sini melepas rindu dengan keluarga di rumah. Walau pun terbatas pula dengan waktu yang memang di beri batas maksimal selama tiga puluh menit. Karena kita juga harus bergantian dengan santri yang lain yang sama ingin bertukar kabar dengan sanak saudara.
Tak jarang air mata tiba- tiba menetes karena rasa rindu yang menggebu. Tapi bagai mana lagi ini sudah menjadi jalan yang kupilih.
Aku bergegas menuju kantor pengurus setelah menyelesaikan telefonku. Bertukar kabar yang sebenarnya sangat kurang.
Tadi ibu entah kenapa sedikit membahas tentang dia. Yah walau pun tak begitu gamblang tapi berhasil membuatku merasa bersalah. Bersalah karena tidak pernah memberinya kabar hingga saat ini. Jahat ternyata aku. Padahal sesungguhnya aku diam- diam menyimpan nomornya di dalam buku notesku.
Tak apa kan kalau aku belum siap untuk membahas tentangnya. Sudah bukan sebal, benci dan hal yang lain yang kurasakan awal kisah kita di mulai. Tapi rasa bersalah dan juga pastinya merasa berlumuran dosa kepada orang yang notabene adalah ladang surgaku yang baru.
Tempo hari aku merasa dia berada di dekatku. Aku merasa dia ada di sini. Tapi aku tahu betul tidak mungkin dia ada di tempat sepelosok ini bukan. Apalagi tentang laki- laki yang tak sengaja kulihat sekelebatan saat di ruang tamu itu. Rombongan tamu dari Ibu Kota. Sebenarnya sangat mengganggu otakku. Tapi kembali lagi mana mungkin kan dengan profesinya dia yang seperti itu. Sepertinya hampir mustahil.
Pun aku sebenarnya melihat seperti bayangannya tempo hari saat aku selesai mengaji malam bersama umma di ndhalem.
kalo siang ada jadwal yang lebih penting.
makasih ya dukungannya🙏🙏🫶🫶