NovelToon NovelToon
Agent UnMasked

Agent UnMasked

Status: sedang berlangsung
Genre:Mengubah Takdir / Identitas Tersembunyi / Mata-mata/Agen / Roman-Angst Mafia
Popularitas:586
Nilai: 5
Nama Author: mommy JF

“Namamu ada di daftar eksekusi,” suara berat Carter menggema di saluran komunikasi.

Aiden membeku, matanya terpaku pada layar yang menampilkan foto dirinya dengan tulisan besar: TARGET: TERMINATE.

“Ini lelucon, kan?” Aiden berbisik, tapi tangannya sudah menggenggam pistol di pinggangnya.

“Bukan, Aiden. Mereka tahu segalanya. Operasi ini… ini dirancang untuk menghabisimu.”

“Siapa dalangnya?” Aiden bertanya, napasnya berat.

Carter terdiam sejenak sebelum akhirnya menjawab, “Seseorang yang kau percaya. Lebih baik kau lari sekarang.”

Aiden mendengar suara langkah mendekat dari lorong. Ia segera mematikan komunikasi, melangkah mundur ke bayangan, dan mengarahkan pistolnya ke pintu.

Siapa pengkhianat itu, dan apa yang akan Aiden lakukan?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mommy JF, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 7: Aksara Menyelidiki

Aliyah memperhatikan Aksara yang duduk di sudut kamar, matanya fokus pada layar laptop yang baru saja dibelinya. Suara ketikan cepat memenuhi ruang kecil itu. Di atas meja, beberapa perangkat tambahan yang Aksara pasang membuat laptopnya terlihat seperti milik seorang profesional.

“Kau yakin ini tidak berbahaya?” tanya Aliyah sambil meletakkan secangkir teh di dekatnya.

Aksara tidak mengalihkan pandangan dari layar. “Bahaya sudah jadi bagian dari hidupku. Aku hanya perlu memastikan bahwa kali ini aku yang memegang kendali.”

Aliyah menghela napas, menatap pria itu dengan raut penuh kekhawatiran. “Tapi bagaimana kalau mereka menemukanmu lagi?”

Aksara berhenti mengetik sejenak, lalu memutar kursinya untuk menatap Aliyah. “Mereka tidak akan menemukan aku. Bukan Aiden, dan sekarang bukan Aksara.”

Aliyah hanya mengangguk pelan, meskipun keraguan masih tersirat di wajahnya. Ia tahu Aksara tidak akan berhenti sebelum menemukan apa yang ia cari, tetapi ia tidak bisa menghilangkan rasa takutnya.

“Siapa yang kau cari sebenarnya?” tanyanya lirih.

“Aku mencari semua orang yang mengkhianatiku,” jawab Aksara dengan nada dingin. “Mereka yang membuatku menjadi buronan, yang ingin menghancurkanku. Aku ingin tahu siapa dalang sebenarnya.”

Aliyah terdiam, merasa bahwa kemarahan Aksara lebih dalam dari yang pernah ia bayangkan.

Aksara kembali mengetik, membuka jalur-jalur data yang hanya bisa diakses oleh orang dengan keahlian luar biasa. Ia masuk ke sistem yang kompleks, memodifikasi perangkat lunaknya sendiri untuk melewati berbagai firewall.

“Apa ini?” Aliyah memberanikan diri bertanya saat melihat layar penuh dengan kode dan nama-nama asing.

“Sumber informasi. Aku mencari dokumen rahasia, catatan komunikasi, dan jejak transaksi. Mereka mungkin cerdas, tapi aku lebih cerdas.”

Aliyah tidak paham sepenuhnya apa yang dilakukan Aksara, tetapi ia memilih untuk percaya. Ia mengambil posisi di kursi dekat jendela, membiarkannya bekerja.

Beberapa jam berlalu hingga akhirnya Aksara berhenti mengetik. “Gotcha,” gumamnya, setengah tersenyum.

Aliyah mendekat, penasaran dengan apa yang ditemukan Aksara. “Apa itu?”

“Data dari perusahaan lamaku. Ada nama-nama yang tidak sesuai di sini. Orang-orang yang tidak seharusnya memiliki akses ke informasi sensitif, tapi entah bagaimana mereka tahu segalanya.”

“Jadi, ini pengkhianatan internal?”

Aksara mengangguk. “Kelihatannya begitu. Tapi ini baru permukaan. Aku perlu menggali lebih dalam.”

Ia melanjutkan pekerjaannya dengan intensitas yang lebih besar, hingga tiba-tiba layar monitornya berkedip merah dengan sebuah pesan besar: "WARNING: SYSTEM TRACKING DETECTED."

Wajah Aksara berubah tegang. Ia segera mematikan koneksi internet dan memblokir semua jalur masuk.

“Apa yang terjadi?” Aliyah bertanya panik.

“Mereka mencoba melacakku,” jawab Aksara singkat, tangannya terus bergerak cepat di keyboard.

“Siapa?!” Aliyah menatap layar dengan napas tertahan.

“Mereka yang tidak ingin aku tahu kebenarannya.” Aksara menutup laptopnya dengan gerakan tegas, lalu berdiri. “Kita harus pergi. Sekarang.”

Aliyah tergagap. “Pergi? Ke mana?”

“Ke tempat yang lebih aman. Mereka mungkin sudah tahu aku ada di sini.”

Aliyah mulai membereskan barang-barang mereka dengan panik, sementara Aksara mengamati jendela dengan seksama, memastikan tidak ada yang mencurigakan.

“Ini bukan hanya tentangku lagi, Aliyah,” katanya serius. “Jika mereka tahu kau bersamaku, kau juga dalam bahaya.”

Aliyah berhenti sejenak, menatap Aksara. “Aku tidak peduli. Aku sudah memilih untuk ikut denganmu. Jadi, katakan apa yang harus kita lakukan sekarang.”

Aksara terdiam beberapa detik sebelum akhirnya memberikan arahan. “Kita keluar malam ini. Jangan bawa terlalu banyak barang. Hanya yang penting.”

Namun, sebelum mereka sempat bergerak, suara langkah kaki terdengar dari lorong di luar kamar mereka. Aksara menoleh cepat ke arah pintu, memberi isyarat pada Aliyah untuk diam.

Ketegangan memuncak saat pintu diketuk keras. "Buka pintunya! Kami tahu kalian ada di dalam!"

Aliyah memandang Aksara dengan panik. “Apa yang harus kita lakukan?”

Aksara meraih tas kecilnya dan menyelipkan pisau lipat ke dalam sakunya. “Tetap di belakangku.”

Ketukan itu berubah menjadi gedoran yang semakin keras, membuat Aliyah memeluk dirinya sendiri ketakutan. Sementara itu, Aksara berdiri di depan pintu, bersiap menghadapi apa pun yang ada di baliknya.

Ketukan di pintu semakin keras, diiringi suara lantang yang terdengar seperti ancaman. "Kami tahu kalian ada di dalam! Jangan coba-coba kabur, atau kami akan masuk dengan paksa!"

Aliyah semakin gelisah, tangannya gemetar saat mencengkeram ujung bajunya. “Aksara… siapa mereka?” bisiknya.

Aksara menoleh cepat ke arah Aliyah, matanya tajam namun penuh ketenangan. “Tidak ada waktu untuk bertanya. Kau harus percayakan ini padaku.”

Ia mendekati meja dan mengambil laptopnya yang masih tertutup, lalu memasukkannya ke dalam tas dengan gerakan cepat. Setelah itu, ia membuka lemari kecil dan mengeluarkan benda yang tampak seperti alat kecil berbentuk bulat.

“Apa itu?” Aliyah bertanya, masih berbisik.

“Distraksi,” jawab Aksara singkat.

Ia memasang alat itu di bawah jendela, kemudian menarik Aliyah ke sudut ruangan. “Duduk di sini. Apa pun yang terjadi, jangan keluar sampai aku bilang aman.”

“Tapi bagaimana denganmu?” Aliyah mencoba protes, tapi Aksara sudah menatapnya tajam.

“Percayalah. Aku tidak akan membiarkan mereka menyentuhmu.”

Ketukan di pintu berubah menjadi gedoran yang menggema, diiringi suara yang lebih memaksa. “Kami masuk hitungan tiga! Satu... dua...”

Namun, sebelum hitungan ketiga selesai, suara keras terdengar dari arah luar jendela. Alat kecil yang dipasang Aksara meledakkan suara keras seperti kaca pecah, membuat perhatian di luar langsung teralih.

“Cepat, ikut aku!” Aksara menarik Aliyah dari sudut ruangan, menuju pintu belakang yang langsung terhubung ke lorong sempit.

“Apa itu tadi?” Aliyah bertanya dengan napas tersengal, berlari mengikuti Aksara.

“Hanya suara palsu. Mereka akan berpikir kita kabur lewat jendela.”

Mereka terus berlari menyusuri lorong gelap hingga keluar di jalan belakang, di mana sebuah motor tua sudah menunggu. Aksara menyalakan mesin motor dengan cepat, memberi isyarat agar Aliyah naik.

“Pegangan erat,” perintahnya.

Aliyah menurut tanpa banyak tanya, memeluk Aksara erat saat motor melaju kencang menembus malam. Hawa dingin menusuk, tapi ketegangan di dada mereka jauh lebih menguasai.

Setelah beberapa menit, mereka berhenti di sebuah gang sepi. Aksara mematikan mesin motor dan menoleh ke arah Aliyah. “Kita aman untuk saat ini. Tapi ini hanya sementara.”

Aliyah mengangguk pelan, masih mencoba mengatur napasnya. “Mereka… mereka itu siapa sebenarnya?”

“Mungkin orang-orang yang mempekerjakan para preman pasar, atau mungkin lebih dari itu,” jawab Aksara, suaranya rendah namun penuh kehati-hatian. “Tapi satu hal yang pasti, mereka ingin aku mati sebelum aku menemukan apa yang aku cari.”

Aliyah menggigit bibirnya, mencoba menahan ketakutan yang menguasainya. “Apa kau yakin ini masih bisa dihentikan?”

Aksara terdiam sesaat, menatap lurus ke kegelapan gang. “Aku tidak tahu. Tapi aku tidak akan berhenti. Kalau mereka ingin bermain, aku akan pastikan mereka kehilangan semua yang mereka miliki.”

Namun, saat ia berkata demikian, suara pelan dari ponselnya berbunyi. Bukan panggilan, melainkan pesan masuk dengan kata-kata yang membuat darah Aksara membeku.

“Kami tahu kau ada di sini. Selamat menikmati sisa waktumu, Aksara.”

Wajahnya berubah tegang, sementara Aliyah yang membaca pesan itu di atas bahunya langsung pucat. “Mereka… mereka tahu?”

Aksara meremas ponsel itu dengan keras, matanya penuh kemarahan. “Mereka ingin main-main denganku. Baiklah, kita lihat siapa yang akan tertawa terakhir.”

Ia menghidupkan kembali motor, mengisyaratkan Aliyah untuk naik. Kali ini, tatapan Aksara lebih tajam daripada sebelumnya. Mereka tidak lagi hanya melarikan diri—mereka menuju pertempuran yang tidak terhindarkan.

Bersambung.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Hi semuanya, jangan lupa like dan komentarnya ya

Terima kasih.

1
Aleana~✯
hai kak aku mampir....yuk mampir juga di novel' ku jika berkenan 😊
Erik Andika: mampir di channel ku kak kalo berkenan juga
ziear: oke kak
total 2 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!