Sebuah Seni Dalam Meracik Rasa
Diajeng Batari Indira, teman-teman satu aliran lebih suka memanggilnya Indi, gadis Sunda yang lebih suka jadi bartender di club malam daripada duduk anteng di rumah nungguin jodoh datang. Bartender cantik dan seksi yang gak pernah pusing mikirin laki-laki, secara tak sengaja bertemu kedua kali dengan Raden Mas Galuh Suroyo dalam keadaan mabuk. Pertemuan ketiga, Raden Mas Galuh yang ternyata keturunan bangsawan tersebut mengajaknya menikah untuk menghindari perjodohan yang akan dilakukan keluarga untuknya.
Kenapa harus Ajeng? Karena Galuh yakin dia tidak akan jatuh cinta dengan gadis slengean yang katanya sama sekali bukan tipenya itu. Ajeng menerima tawaran itu karena di rasa cukup menguntungkan sebab dia juga sedang menghindari perjodohan yang dilakukan oleh ayahnya di kampung. Sederet peraturan ala keraton di dalam rumah megah keluarga Galuh tak ayal membuat Ajeng pusing tujuh keliling. Bagaimana kelanjutannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nyai Gendeng, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Raden Ayu Laras Kancawati
Galuh melonggarkan dasi yang ia pakai di antara kerah kemeja ketatnya. Ia belum ingin pulang meski waktu sudah menunjukkan pukul lima sore.
"Paling males nih gue, mesti balik ke rumah." Galuh berdecak kesal. Wajahnya yang tampan nampak tertekuk.
Iseng, dia membuka ponsel. Dicarinya kontak Ajeng, gadis cantik bartender yang kemarin sudah sah jadi pacar bohongannya.
Dllihatnya foto profil Ajeng yang sedang tertawa menatap kamera sambil sibuk memegang botol minuman dan gelas kaca.
"Dilihat-lihat cantik beneran ya?" Galuh tertawa kecil, dia paling suka melihat bibir Ajeng yang penuh pada bagian bawah dan berbelah. Kalau dikecup-kecup pasti enak rasanya.
Eh! Mikir apa sih kuda sawah?! Galuh segera menepuk jidatnya sendiri. Iseng, dia segera mengirimkan pesan kepada gadis itu.
Lo lagi dimana?
Pesan pertama itu belum mendapat balasan dan Ajeng juga memang belum membuka pesan. Sekitar lima menit kemudian, ponselnya bergetar.
Mall. Ngapain sih pake kirim pesan segala?! Kangen ya?
Galuh tersentil, ia tertawa lebar mendapat balasan pesan dari bartender cantik dan seksi itu. Seksi? Iya, jelas Ajeng seksi badai. Badannya yang memang rajin ke gym berbentuk sempurna bak jam pasir, belum lagi dua benda indah menantang yang berukuran cukup besar dan padat. Ah, membayangkannya saja, Galuh jadi panas dingin seperti dispenser.
Tidak mau terlalu banyak berkhayal lagi yang tidak-tidak, akhirnya Galuh beranjak dari posisinya. Dia memutuskan untuk tidak kembali ke rumah. Biar saja kanjeng ibu yang lebih suka ia panggil bunda itu, merajuk dan marah.
Melenggang santai melewati setiap lorong perusahaan milik keluarganya, Galuh segera mencapai lift dan segera turun.
"Sore, Pak Galuh." Beberapa staff keamanan menyapanya hormat.
"Sore juga, oh iya tar kalo bokap gue nanya bilang aja gue udah balik."
"Pak Bagus sudah lebih dulu pulang tadi dijemput sopir, Pak Galuh."
Galuh mengangguk-angguk. Baguslah, jadi tidak ada alasan baginya untuk kembali ke rumah, karena kanjeng romo yang lebih suka dia panggil ayah itu memang sering sengaja mengajaknya pulang bersama agar Galuh lebih sering pula pulang ke rumah mereka.
"Gue balik dah ke apartemen." Galuh bersiul senang. Ia segera masuk ke dalam mobil mewahnya lalu tancap gas.
Galuh memutar kencang musik dj di dalam mobilnya. Kehidupan Galuh sebenarnya serba diatur. Sebagai keluarga berdarah ningrat yang memang masih ada keturunan dengan raja Jawa pada jaman dahulu kala, Galuh sudah terbiasa dengan kehidupan penuh aturan ala keraton. Begitu juga kakaknya yang ayu nan lembut yang mungkin kalau teriak gak akan bikin semut takut.
Berbeda dengan Sekarwangi, sang kakak yang patuh dan tidak pernah keluar lingkungan rumah, Galuh sendiri bisa mengikuti aturan ketika di rumah atau jika sedang berkumpul dengan keluarga besar mereka yang lain, tapi jika sudah di luar, dia akan menjalani kehidupan sekehendak hatinya. Pergi ke club malam, berpacaran dengan berbagai macam jenis perempuan dan sederet perilaku hedonis lainnya.
Seperti saat ini, ketika dia sudah sampai di apartemen, Galuh segera melakukan video call dengan seorang perempuan cantik yang sempat ia temui di club malam waktu itu.
"Hai, Sayang. Cantik banget sih pake baju merah." Sebagai pria tampan dengan julukan playboy, Galuh tetap mempesona. Ia juga pandai menggoda, membuat perempuan jadi kesemsem manja.
"Kamu lagi ngapain sih?" tanya si perempuan sambil menggigit bibir bawahnya, melihat otot-otot perut Galuh yang ah ... mantap.
"Baru pulang kerja dong. Lo lagi ngapain? Lo yang namanya Sintia kan?"
Perempuan itu jadi mengerutkan dahi lalu wajahnya manyun. "Apaan sih, gue Mirna! Makanya jangan kebanyakan gombal ke semua cewek! Dasar cowok bajingan!"
Eeh, kenapa marah-marah? Galuh menatap sebal layar ponselnya yang sudah tidak lagi terhubung dengan perempuan seksi tadi. Ia membanting benda itu ke atas ranjang. Baru saja ingin bersenang-senang, tapi malah apes kena semprot.
"Harusnya gue nih yang nyemprot. Malah gue yang kena sembur! Dasar ular betina!" Galuh keluar dari kamar, membanting pintu dengan sama kesal.
Sembari meredakan rasa sebalnya, Galuh membuka balkon. Apartemennya cukup luas dan nyaman. Viewnya langsung menghadap kota metropolitan yang penuh debu dan polusi.
Baru saja ia menghidupkan api rokok, bel apartemennya berbunyi. Galuh mengerutkan dahi, siapa kiranya yang hendak bertamu sudah hampir maghrib begini? Dengan malas ia kembali meletakkan sebatang rokok yang belum sempat disesapnya lalu bergerak ke depan.
Galuh membuka pintu, menemukan perempuan anggun dengan dress selutut dan rambut lurus panjang hitam. Perempuan itu nampak tersenyum malu-malu. Namun, kemudian perempuan itu terdengar berteriak tertahan sambil menutup mata. Galuh mendelik saat menundukkan pandangan dan menyadari ia hanya memakai sempak berwarna hitam bermerk Crocodile. Galuh menjelma menjadi buaya malu-maluin.
"Mas Galuh, kenapa gak pake celana sih?" Laras Kancawati berteriak lagi sembari membuka matanya perlahan.
Galuh segera menarik gadis itu ke dalam agar ia tak segera jadi perhatian penghuni gedung apartemen yang lain yang kebetulan sedang lewat pula.
"Lo ngapain ke sini?" Galuh menuntun Laras ke dalam, ia sendiri segera masuk kamar dan memakai celana.
"Tadi Laras ke rumah kamu, tapi kata kanjeng ibu, kamu gak pulang lagi. Terus sama yunda Sekarwangi, aku dikasih alamat ini."
Galuh berdecak sebal. Bisa-bisanya kakaknya tersayang itu berkhianat dengan memberi alamat apartemennya kepada Laras.
"Lo sendiri?" tanya Galuh kemudian sambil memberikan segelas minuman dingin untuk tamu cantik tapi tak diharapkannya itu.
"Iya, Laras kan gak bisa bawa mobil, Mas. Jadi Laras ke sini naik taksi."
Galuh manggut-manggut sok mengerti. Ia memperhatikan perempuan yang akan dijodohkannya itu secara seksama. Gadis dari kalangan yang sama dengannya, sama-sama berdarah ningrat dan ada keturunan bangsawan. Bisa dikatakan mereka adalah versi modern.
Sebenarnya, Laras Kancawati itu cantik sekali. Meski ia lebih banyak di rumah, tapi dandanannya sama sekali tak kuno. Dia cukup elegan bila melihat dari cara berpenampilan. Ya, seperti para gadis muda saat ini. Hanya saja, hidupnya pun penuh aturan, sampai urusan jodoh pun keluarga yang harus menentukan. Sama halnya dengan Galuh, bedanya, Galuh menentang hal itu. Dia tidak mau dijodohkan dengan siapapun. Galuh masih ingin bersenang-senang. Jadi, ketertarikan Galuh kepada Laras hanya seperti kawan atau lebih ke kakak saja. Sungguh tak ada cinta.
"Terus, Laras ngapain ke sini? Mau dugem bareng?" Galuh menggoda Laras yang wajahnya bersemu merah.
"Ngaco. Laras ke sini karena ingin bertemu calon suami Laras. Tentu saja."
Tenggorokan Galuh rasanya jadi tercekat. Bisa-bisanya Laras bikin dongeng sebelum tidur seperti ini. Entah bagaimana caranya menjelaskan pada Laras kalau dia tidak mau perjodohan itu benar terjadi.
"Ras, emangnya lo gak kepikiran buat cari laki-laki lain. Gue gak sebaik yang lo pikir. Sama sekali bukan laki-laki seperti di kalangan kita."
"Laras yakin kok, Mas Galuh yang terbaik karena memang sudah digariskan untuk Laras."
"Percuma, Laras. Lo setuju karena lo gak bisa menentang keluarga kita kan?"
"Mas Galuh salah, selain karena perjodohan, Laras memang sudah suka Mas Galuh. Laras memang mencintai Mas Galuh diam-diam selama ini. Karena itu, Laras tidak menolak sewaktu kedua orangtua kita menjodohkan kita berdua."
Galuh menganga, menatap Laras tak menyangka. Tenggorokan sekarang bukan hanya tercekat, tapi dia juga jadi sesak nafas. Galuh menggeleng, Laras boleh saja menghendaki perjodohan itu, tapi dia tidak mau. Kan dia sudah punya Ajeng, pacar bohongan yang seksinya mirip artis Hollywood.