Pada abad ke-19, seorang saudagar China yang kaya raya membawa serta istri dan anaknya menetap di Indonesia. Salah satu anak mereka, Jian An, tumbuh menjadi sosok yang cerdas dan berwibawa. Ketika ia dewasa, orang tuanya menjodohkannya dengan seorang bangsawan Jawa bernama Banyu Janitra.
Pada malam pertama mereka sebagai suami istri, Banyu Janitra ditemukan tewas secara misterius. Banyak yang menduga bahwa Jian Anlah yang membunuhnya, meskipun dia bersikeras tidak bersalah.
Namun, nasib buruk menghampirinya. Jian An tertangkap oleh orang tidak dikenal dan dimasukkan ke dalam sumur tua. berenang di permukaan air sumur yang kini tidak lagi berada di abad ke-19. Ia telah dipindahkan ke kota S, tahun 2024. Dalam kebingungannya, Jian An harus menghadapi dunia yang jauh berbeda dari yang ia kenal, berusaha menemukan jawaban atas misteri kematian suaminya dan mencari cara untuk kembali ke masa lalu yang penuh dengan penyesalan dan rahasia yang belum terungkap.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NinLugas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
35
Jian An terisak, air matanya semakin deras mengalir. Setiap kenangan tentang ibunya, tentang masa lalu yang indah, kini terasa begitu jauh dan tak terjangkau. Seperti ada jurang besar yang memisahkan dirinya dengan masa itu, dan dia tidak tahu bagaimana cara menyeberangnya. "Tidak ada gunanya," ujar Jian An pelan, suara tercekat di tenggorokannya. "Aku hanya bisa menjalani hidup sekarang... meskipun aku ingin sekali kembali ke masa itu, kembali ke saat-saat bahagia bersama ibu."
Saka yang mendengar kata-kata itu merasa hatinya tergerak. Dia tahu betapa beratnya kehilangan seseorang yang begitu berarti dalam hidup, dan melihat Jian An menangis seperti ini membuatnya merasa tak berdaya. Tanpa berpikir panjang, Saka melangkah mendekat, menepuk pelan bahu Jian An, dan duduk di sampingnya.
"Jian An," suara Saka terdengar lembut, penuh empati. "Aku tidak tahu apa yang kamu rasakan, tapi aku di sini. Jika kamu ingin berbicara, aku akan mendengarkan. Jika kamu ingin menangis, aku akan ada untukmu."
Jian An menatap Saka dengan mata yang penuh air mata, merasa ragu-ragu antara ingin membuka diri atau tetap menahan semuanya sendirian. Namun, untuk pertama kalinya, dia merasa ada seseorang yang benar-benar peduli. Ada ketenangan dalam kata-kata Saka yang, meski sederhana, terasa seperti pelukan hangat yang menenangkan hatinya.
"Aku... aku rasa aku sudah terlalu lama menahan semuanya," Jian An berbisik, suaranya terdengar serak. "Tapi, aku tidak tahu bagaimana cara menghadapinya lagi. Semua ini terlalu berat."
Saka hanya mengangguk, memberikan ruang bagi Jian An untuk berbicara, meskipun dia tahu tak ada kata-kata yang bisa menghapus rasa sakit yang sedang dirasakan oleh wanita itu. Dalam keheningan, mereka duduk bersama, dan meskipun tak ada yang berkata-kata lebih lanjut, kehadiran Saka cukup memberi sedikit kenyamanan bagi Jian An yang merasa hancur.
Jian An dan Saka saling bertukar pandang sejenak setelah mendengar permintaan itu. Meskipun Saka masih tampak ragu, dia tahu bahwa ini adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari, mengingat posisi ibu tiri dan keluarganya dalam hidupnya. Namun, di sisi lain, Saka juga merasa khawatir tentang niat sebenarnya dari pertemuan ini.
"Kenapa tiba-tiba?" tanya Saka, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada orang kepercayaan ibu tiri yang ada di hadapannya.
Orang kepercayaan ibu Sarimukti itu, yang sudah lama bekerja dengan keluarga, hanya memberi isyarat bahwa dia tidak tahu pasti alasan di balik undangan tersebut. "Saya hanya membawa pesan dari Ny. Sarimukti, Pak Saka."
Saka menghela napas panjang, mencoba meredakan perasaan tak menentu yang mulai menguasai dirinya. "Baiklah, beri tahu ibu Sarimukti bahwa kami akan datang malam ini," jawabnya tegas, meski ada perasaan gelisah yang tak bisa ia pungkiri.
Jian An, meskipun merasa tak nyaman dengan undangan itu, bisa merasakan kecemasan yang ada pada Saka. Ia tidak tahu apa yang diharapkan ibu tiri Saka, namun dia merasakan ada sesuatu yang tidak beres dengan situasi ini. "Kamu yakin kita harus pergi?" tanya Jian An dengan nada lembut, matanya sedikit cemas.
Saka mengangguk perlahan, meskipun dalam hatinya dia mempertanyakan niat ibu tirinya. "Ya, kita harus pergi. Ini bukan hanya tentang kita. Ibu Sarimukti juga memiliki pengaruh besar dalam keluarga dan bisnis. Tidak pergi bisa menjadi masalah."
Jian An hanya mengangguk, meskipun dalam hatinya ada kekhawatiran yang terus membayangi. "Baiklah, aku akan ikut," jawabnya dengan suara yang sedikit berat.
Setelah itu, mereka berdua bersiap untuk pergi, dengan perasaan cemas yang menyelubungi mereka. Meski demikian, malam itu mereka tahu bahwa apa pun yang akan terjadi, mereka harus menghadapinya bersama.
Di restoran mewah yang telah dipilih oleh ibu tiri Saka, suasana terlihat mewah dan elegan. Lampu gantung yang berkilauan, meja yang tertata rapi, dan pelayanan yang sangat profesional menciptakan suasana yang hampir tidak terasa personal. Di tengah kesibukan itu, Ny. Sarimukti sudah menunggu dengan senyum yang tampak dipaksakan.
Saat Saka dan Jian An masuk, ibu tiri Saka berdiri dengan anggun, wajahnya dihiasi senyum yang terlihat jauh dari kehangatan seorang ibu. "Saka, Jian An, akhirnya kalian datang juga," ucapnya dengan suara yang terdengar ramah namun penuh perhitungan.
Saka hanya memberikan senyum tipis, sedikit cemas dengan situasi ini. "Iya, Bu. Maafkan kami kalau terlambat," jawabnya sambil melirik sekilas pada Jian An yang tampak tidak begitu nyaman.
Jian An tersenyum tipis, mencoba tidak menunjukkan perasaan tidak nyamannya, meskipun hatinya merasa tidak tenang dengan kedatangan ini. "Senang bisa bertemu, Bu Sarimukti," katanya sopan.
Ny. Sarimukti mengangguk, gerakannya halus dan penuh kontrol. "Tentu saja. Saya senang kalian akhirnya bisa meluangkan waktu untuk makan malam bersama saya. Duduklah, mari kita nikmati malam ini."
Mereka duduk di meja yang telah disiapkan. Makanan mewah mulai disajikan, namun percakapan di meja itu terasa canggung, penuh dengan kalimat-kalimat yang terdengar formal dan penuh dengan tujuan tersembunyi. Ny. Sarimukti memulai percakapan dengan menyatakan betapa bahagianya dia melihat hubungan antara Saka dan Jian An. Namun, Jian An bisa merasakan adanya tekanan di balik setiap kata yang diucapkan.
"Bagaimana kehidupan kalian berdua? Saka, saya dengar bisnis keluarga kita berjalan sangat baik belakangan ini," ucap Ny. Sarimukti, mencoba untuk membuka pembicaraan, meskipun matanya tidak bisa sepenuhnya menyembunyikan ketajaman yang ada di dalamnya.
Saka mengangguk, meskipun di dalam dirinya ia merasa tidak nyaman dengan setiap kata ibu tirinya. "Ya, alhamdulillah. Kami terus berusaha menjalankan bisnis dengan baik," jawabnya singkat.
Jian An, yang merasa canggung, memutuskan untuk hanya mendengarkan, namun dia bisa merasakan bahwa pertemuan ini bukan sekadar makan malam biasa. Ada sesuatu yang tersembunyi di baliknya, dan dia hanya bisa menunggu untuk melihat apa yang akan terjadi selanjutnya.
"Ibu sudah bertemu dengan wanita yang harus kamu nikahi, kenapa memilih Jian An yang tidak jelas asal usulnya," ucap Ibu titi Saka sambil memotong daging stiek.
Ucapan ibu tiri Saka itu menghangatkan suasana makan malam yang sudah terasa canggung. Saka yang tengah meminum wine terkejut, hampir tersedak mendengar kalimat tersebut. Dia menatap tajam ibunya, merasa semakin tidak nyaman dengan arah pembicaraan yang tiba-tiba menjadi pribadi dan kritis.
Jian An yang duduk di samping Saka merasakan ketegangan yang semakin mencuat, dan matanya beralih ke ibu tiri Saka yang tampak memotong steaknya dengan penuh ketenangan, seakan tidak menyadari atau bahkan tidak peduli dengan ketegangan yang tercipta di meja makan.
"Ibu," Saka akhirnya membuka suara, suaranya tegas namun terkendali. "Jian An adalah pilihan saya. Dia bukan hanya wanita yang saya nikahi, tetapi dia adalah seseorang yang penting bagi saya. Tidak ada yang perlu dipermasalahkan mengenai asal-usulnya."
Jian An yang semula diam menatap ibu tiri Saka, mencoba untuk tetap tenang meskipun kata-kata itu cukup menyentuh hatinya. Namun, dia tahu ini bukan waktu yang tepat untuk membela diri. Lebih baik jika dia tetap diam dan membiarkan Saka menyelesaikan percakapan ini.
Ibu tiri Saka tetap dengan ekspresi tenangnya, meski kata-katanya jelas mengandung sebuah kritik tajam. "Saka, jangan terlalu terbawa emosi. Saya hanya ingin yang terbaik untukmu. Kamu tahu sendiri bagaimana keluarga kita, bagaimana cara kita menjaga nama baik. Tidak semua orang bisa kita terima begitu saja." Ny. Sarimukti memiringkan kepalanya sedikit, seakan menekankan poinnya dengan lebih halus.
Jian An menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Meskipun dia merasa tidak nyaman, dia tahu tidak ada gunanya membalas ucapan yang lebih banyak datang dari kekhawatiran dan kontrol ibunya terhadap Saka. Namun, hatinya sedikit terluka mendengar sindiran yang jelas-jelas merendahkan dirinya.
Saka menatap ibunya dengan tatapan yang lebih tegas, namun kali ini ada sedikit keraguan di matanya. "Saya sudah cukup dewasa, Bu. Saya bisa membuat keputusan sendiri. Dan Jian An adalah pilihan saya."
Ny. Sarimukti hanya mengangkat bahu dan melanjutkan memotong makanannya dengan santai, meskipun ekspresinya kini terlihat lebih dingin. "Baiklah, kalau begitu. Tapi ingat, saya hanya ingin memastikan bahwa pilihanmu tidak akan membawa masalah pada masa depan keluarga ini."
Saka menundukkan kepala, merasa sedikit frustrasi. Namun dia tahu ini adalah pertarungan yang harus dia hadapi, dan mungkin ini adalah pertemuan pertama dari banyak pertemuan yang penuh tekanan seperti ini.