NovelToon NovelToon
Sebuah Titik Di Horizon

Sebuah Titik Di Horizon

Status: sedang berlangsung
Genre:Diam-Diam Cinta / Cinta Seiring Waktu / Romansa
Popularitas:976
Nilai: 5
Nama Author: Gama Lubis

Seorang gadis yang tidak percaya cinta karena masa lalunya, tidak percaya dengan dirinya sendiri. Kemudian dihadapkan dengan seseorang yang serius melamarnya.


Jika dia akhirnya menerima uluran tangannya, akankah dia bisa lepas dari masa lalunya atau semakin takut ?"

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gama Lubis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Aku Serius

Malik merasa gelisah. Selama beberapa waktu, matanya terus terfokus pada pasangan sejoli yang tadi siang mengetahui hubungan absurdnya dengan Naima. Tawa mereka yang menyebar di udara seperti menguatkan ketegangan yang sudah lama mengendap. Malam ini, dia begitu was-was, cemas, dan tidak tahu apa yang harus dilakukan ketika dua sejoli itu bersikap begitu dekat dengan Naima. Rasa khawatirnya meluap begitu saja. Baginya, tidak ada tanda-tanda kegilaan yang akan mereka lakukan, namun ketidakpastian itu lebih membebani.

Hujan yang mereda sore tadi telah membawa kesegaran. Udara yang lebih segar membuat sebagian besar dari mereka merasa sedikit lebih tenang. Petugas pos telah menyarankan untuk bermalam di sini, memberi mereka waktu untuk menyegarkan tubuh sebelum melanjutkan perjalanan keesokan hari. Semua setuju. Malam ini mereka akan menikmati kebersamaan dengan bakar-bakaran sederhana, mencoba menyudahi ketegangan yang sempat melanda mereka siang tadi.

Malik, yang baru saja menyalakan kayu bakar bersama beberapa pendaki pria, secara refleks menoleh. Pandangannya tertahan saat melihat Naima yang sedang sibuk bersama beberapa pendaki perempuan, menyiapkan makanan untuk kelompok. Senyumnya tak tampak lagi; wajah Naima yang tenang membuat Malik merasa cemas. Dia memandanginya lebih lama dari yang seharusnya. Ada yang mengganjal, namun dia tak tahu bagaimana harus mengungkapkannya.

Susi, yang sejak tadi sadar akan arah pandangan Malik, menatapnya dengan senyum nakal. Sesaat kemudian, dia berjalan mendekat ke Naima dan berbisik sesuatu yang membuat wajah Naima berubah drastis. Senyumnya yang sebelumnya ramah memudar begitu saja, berganti dengan ekspresi yang lebih tertutup dan cemas. Pernahkah dia melihat Naima seperti itu sebelumnya? Malik tak bisa menahan rasa penasaran yang semakin membuncah.

Namun sebelum Malik sempat memikirkan lebih jauh tentang perubahan itu, pandangannya terganggu. Sebuah daun pisang basah tiba-tiba melayang dan menutup pandangannya. Malik mendongak, terkejut, dan mendapati Rizal berdiri di depannya.

Malik merasa udara sekitarnya tiba-tiba terasa begitu sesak. Rizal terus menatapnya dengan tatapan yang tajam dan tak tergoyahkan. “Apa yang Lo liat, Malik?” tanya Rizal, nada suaranya semakin berat.

Malik menggaruk tengkuknya yang sebenarnya tak gatal, cemas karena terpergok. Matanya berkeliling, mencoba mencari cara untuk menghindari konfrontasi ini. “Ah, ga ada.” jawabnya cepat, berusaha terdengar biasa saja meski hatinya berdebar.

Rizal, seolah tidak puas dengan jawaban itu, mengalihkan pandangannya. Ia melihat Naima yang sedang berbincang dengan Susi dan Bimo, tawa mereka terdengar samar di udara malam. “Hem, Naima?” Rizal bertanya lagi, namun kali ini suaranya lebih rendah, seolah ada berat yang tak terungkapkan.

Malik merasa dadanya sesak. Dia menghindar menatap Rizal, merasa dirinya semakin terpojok. Rizal menghela napas panjang. “Dua bulan sejak kedatangan Lo ke rumah gue. Lo melamar adik angkat gue. Tapi gak ada perubahan yang berarti. Semua stagnan.” Rizal akhirnya melontarkan apa yang selama ini mengganggu pikirannya. “Lo yakin Lo udah siap?”

Kalimat itu bagaikan petir yang menyambar. Malik terdiam, tak bisa menjawab. Semua yang ada di sekitarnya mendadak terasa menghilang. Rizal meragukan keinginannya. Itu adalah kenyataan yang tak bisa dia hindari lagi. Malik merasa seluruh usahanya selama ini sia-sia, dan rasa bingung yang sudah lama terpendam mulai memuncak.

"Masih stagnan?" tanya Rizal lagi, kali ini dengan nada ejekan yang tajam. Malik tidak bisa menahan dirinya lagi dan membuang muka, berjalan menjauh dari Rizal, tetapi langkahnya terhenti saat Rizal berbicara lagi.

"Naima menganggap Lo cuma penasaran sama dia." Rizal melanjutkan, tanpa ragu. "Karena itu, dia menunggu perasaan Lo pudar, dan semuanya selesai." Rizal menghentikan langkah Malik, berdiri tegak di depannya dengan tatapan penuh keyakinan.

Kata-kata itu menghujam ke jantung Malik. Pernahkah dia benar-benar memahami apa yang Naima rasakan? Keinginannya yang terpendam, yang sepertinya hanya dimiliki Malik, ternyata tak sekuat yang dia kira. Naima tidak lagi melihatnya sebagai seseorang yang berkomitmen. Malik merasakan dinding yang dibangun Naima semakin tebal, semakin jauh.

“Lo ga bisa terus begini, Malik.” Rizal berkata lagi dengan suara yang lebih serius. "Pada akhirnya, Naima akan menjauhi Lo." Kata-kata itu menggelora dalam pikirannya, seolah menembus relung hatinya yang terdalam. Apakah benar? Apakah selama ini dia hanya berlarut-larut dalam ketidakpastian?

Rizal berhenti sejenak, memberi waktu bagi Malik untuk meresapi kata-katanya. "Anggap aja itu ucapan terima kasih karena Lo menyelamatkan kita," lanjut Rizal, nada suaranya lebih tenang, namun tetap penuh makna. Dia melenggang menghampiri yang lainnya.

Malik berdiri terpaku di tempatnya, matanya menatap kosong ke arah Naima yang sedang tertawa bersama teman-temannya. Setiap detik terasa begitu berat. Rizal benar, semuanya tampak seperti kebingungan yang tak berujung. Namun, satu hal yang jelas—Naima adalah pilihannya. Keinginannya untuk berada di sampingnya, meski penuh dengan ketidakpastian, tak akan surut begitu saja.

Dia mengerang pelan, merasakan beratnya dilema ini. Tangannya terkepal, mencengkeram udara seolah ingin menghancurkan ketakutan dan keraguan yang melilit hatinya. Naima adalah pilihannya, dan itu lebih dari sekedar perasaan yang datang begitu saja. Itu adalah keputusan yang harus dia pegang teguh.

Dia melangkah maju, tidak bisa lagi mengabaikan dorongan hatinya. Meskipun jalan ini penuh dengan duri, meskipun dia tahu ada banyak rintangan yang menghadang, Malik tidak akan mundur. Naima adalah pilihannya, dan dia akan berjuang untuk itu, meski harus menghadapi keraguan, meski harus menghadapi kenyataan bahwa mungkin Naima tidak merasakannya dengan cara yang sama.

Langkahnya mantap. Ketegasan dalam setiap jejak kakinya seakan menjadi bukti bahwa dia tidak akan ragu lagi. Ini adalah saatnya. Dia harus mendekatkan diri kepada Naima, bukan dengan sekedar keraguan atau ketakutan yang menahan, tapi dengan keyakinan yang penuh.

Malik menarik napas dalam-dalam, kemudian menatap lurus ke depan. Kali ini, bukan sekadar langkah biasa. Kali ini, langkahnya adalah langkah yang membawa tekad dan keputusan yang sudah lama disembunyikan. Dia akan mengungkapkan semuanya pada Naima.

***

Semuanya telah kembali tenang. Api unggun yang tadi menyala kini sudah dipadamkan, menyisakan bara yang perlahan memudar dalam gelap. Malam itu seakan menenangkan alam sekitarnya, memandu mereka semua kembali ke tempat tidur. Namun, di tengah ketenangan itu, Malik masih berdiri di bawah cahaya rembulan, menatap kayu-kayu yang terbakar, membereskan sisa-sisa yang terlupakan.

Langkah Naima terasa berat saat ia berjalan, tubuhnya sedikit terpisah dari rombongan yang sudah kembali ke tenda masing-masing. Tanpa disadari, ia mendapati Malik menghadangnya.

“Naima, aku ingin bicara sebentar,” ujar Malik, suaranya dalam dan penuh ketegasan.

Naima mendelik, tatapannya tajam, namun suaranya datar. “Mau bicara apa?” tanyanya, seolah menganggap percakapan ini tak lebih dari rutinitas yang harus dilewati.

Malik menatapnya, terdengar sedikit frustrasi dalam suaranya. “Selama dua bulan ini tidak ada yang berubah, kan?” ucapnya, sedikit ragu, namun tetap berani. “Apa kamu menganggap aku sebagai perusak hidup kamu? Kamu sering menghindar setiap kali kita bertemu pandang atau berpapasan. Apa kamu menganggap lamaranku main-main?”

Naima menunduk, bibirnya rapat, perasaan yang sudah lama terpendam kini datang begitu saja. Dia tak tahu harus berkata apa. Rasa bingung dan marah bercampur dalam dadanya, namun ia tetap diam.

Malik menghela napas, menyusun kata-kata seakan itu adalah satu-satunya kesempatan yang ia punya. “Aku serius. Lamaran itu juga serius, Naima. Aku ingin bersama kamu.”

Mendengar kata-kata itu, Naima merasa seolah dunia berhenti berputar. Setiap kalimat itu menampar keras perasaan yang selama ini ia pendam. Ia merasa seolah terjebak di antara dua dunia yang tak bisa ia pilih. Setelah menarik napas dalam-dalam, Naima menghembuskan napasnya dengan keras, seperti ingin melepaskan semua kekacauan yang memenuhi pikirannya.

“Kamu cuma penasaran, Malik.” Naima berkata pelan, namun ada ketegasan dalam suaranya. Matanya menghindar dari tatapan Malik, dan dengan langkah cepat, dia melenggang pergi meninggalkan lelaki itu dalam kebingungannya.

“Aku tidak sekadar penasaran, aku ingin menjadi teman kamu,” Malik melangkah maju, suara penuh tekad menggema di malam yang hening, “bukan hanya sekedar teman, tapi teman hidupku.”

Kalimat itu seperti terpahat dalam dada Naima. Ada sesuatu dalam suara Malik yang mengguncang ketenangannya, membuatnya terhenti beberapa langkah. Naima merasa ada sesuatu yang menempel di hatinya, perasaan yang sulit dijelaskan. “Teman hidup?” gumamnya pelan, matanya berusaha menghindar dari tatapan Malik.

Teman hidup—kata-kata itu membawanya kembali ke masa lalu, saat kata yang sama hanya menjadi janji kosong yang akhirnya hancur. Berapa banyak orang yang datang dan pergi dengan janji yang serupa? Hati Naima merasa sedikit tergores, namun ia menahan semuanya. Kata-kata itu tidak akan bisa mengubah kenyataan yang sudah dia alami.

Naima menghela napas dalam-dalam, menarik dirinya kembali dari keraguan. Dengan sedikit usaha, ia melangkah maju, meninggalkan tatapan Malik di belakangnya.

Naima kembali melangkah memasuki bascame pos penjaga, pintu yang sedikit bergemerincing saat ia membukanya. Tubuhnya terasa kaku, namun di balik itu, hatinya berdegup lebih cepat. Seolah ada sesuatu yang tak terungkapkan, sebuah keraguan yang kini tumbuh di dalam dirinya.

1
sSabila
Hai kak aku udah baca beberapa part dan sudah aku like, ceritanya bagus banget kak

Jangan lupa mampir juga di novel terbaru aku "Bertahan Luka"

Ditunggu ya kak
Beerus
Wow, nggak nyangka sehebat ini!
gamingmato channel
Aku udah jatuh cinta dengan karakter-karaktermu. Keep writing! 💕
☯THAILY YANIRETH✿
Mantap jiwaa!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!