Tahu masa lalunya yang sangat menyakitkan hati satu minggu sebelum hari pernikahan. Sayang, Zoya tetap tidak bisa mundur dari pernikahan tersebut walau batinnya menolak dengan keras.
"Tapi dia sudah punya anak dengan wanita lain walau tidak menikah, papa." Zoyana berucap sambil terisak.
"Apa salahnya, Aya! Masa lalu adalah masa lalu. Dan lagi, masih banyak gadis yang menikah dengan duda."
Zoya hanya ingin dimengerti apa yang saat ini hatinya sedang rasa, dan apa pula yang sedang ia takutkan. Tapi keluarganya, sama sekali tidak berpikiran yang sama. Akankah pernikahan itu bisa bertahan? Atau, pernikahan ini malahan akan hancur karena masa lalu sang suami? Yuk! Baca sampai akhir.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
*Episode 30
"Terima kasih banyak, Des."
....
Satu minggu berlalu, semua berjalan dengan baik. Namun, memasuki minggu kedua, hal buruk mulai terjadi. Pertemuan Arya dengan Kinan mulai tercium oleh beberapa pihak. Terutama, pihak Zoya.
Gilang yang merasa semakin tidak kuat akan ulah Kinan, langsung berusaha untuk menghubungi Zoya. Sebelumnya, dia sudah berusaha untuk mencegah usaha Kinan yang ingin terus mendekati Arya. Namun sayang, tidak ada hasilnya. Kinan yang keras kepala terlalu sulit untuk dia cegah. Mana dirinya tidak pernah dianggap ada lagi oleh si Kinan ini.
"Desi, tolong pikirkan cara agar aku bisa bertemu Zoya. Aku sangat kasihan padanya," ucap Gilang sambil menatap langit-langit dari rumah sepupunya itu.
Sontak, Desi yang sedang sibuk dengan ponselnya itu langsung terdiam. Sesaat kemudian, barulah gadis itu menoleh.
"Kamu ingin bertemu kak Zoya buat apa? Ingin bilang padanya kalau istrimu mendekati suaminya? Atau, istrimu berselingkuh dengan suaminya, kak Gilang?"
"Jika benar, kamu bukan kasihan padanya. Melainkan, ingin menyakiti hatinya, kak."
Sontak, Gilang langsung menoleh.
"Dia berhak tahu, Desi. Aku sungguh kasihan padanya. Karena aku merasa, dirinya dan diriku itu sama. Kami sama-sama berada di satu posisi saat ini. Kami sama-sama dikhianati."
"Ayolah! Cari cara buat bertemu dengannya. Aku ingin bicara dengannya sekarang." Gilang mencoba membujuk Desi lagi.
Dia tahu, sepupunya sekarang sedikit dekat dengan Zoya. Sejak hari itu, sepupunya saling kontak dengan Zoya. Saling menghubungi satu sama lain. Jadi, dia ingin Desi mengajak Zoya bertemu. Lalu, dia akan ikut dengan pertemuan itu.
Desi langsung membenarkan duduknya setelah melihat Gilang sesaat.
"Kak, aku bisa ajak kak Zoya bertemu. Tapi, apa kamu yakin ingin bicara soal pasangan kalian dengan kak Zoya?"
"Aku ... sedikit tidak yakin. Tapi, aku rasa aku perlu bicara dengannya. Karena dia berhak tahu apa yang sebenarnya sudah terjadi."
Sesaat berpikir, akhirnya Desi menyanggupi permintaan Gilang. Pesan singkat dia kirimkan pada Zoya. Setelah berbasa-basi sedikit, dia pun langsung mengajak Zoya bertemu. Tentu saja Zoya langsung setuju. Karena sebelumnya, mereka juga sudah pernah bertemu sekedar untuk mengisi kekosongan waktu.
"Kak Zoya sudah setuju untuk bertemu, kak Gilang. Nanti siang, kita akan bertemu di cafe biasa."
"Oke. Baiklah."
"Terima kasih atas bantuanmu, adik sepupuku."
"Apaan sih."
Seulas senyum Desi perlihatkan.
Sejujurnya, dia cukup salut pada kakak sepupunya ini. Pria ini terbilang sangat kuat dalam menghadapi badai rumah tangga yang terlalu besar. Masih pula sempat bercanda di sela-sela kegundahan hati yang sedang dia alami. Sungguh luar biasa.
Sementara itu, di sisi lain, Zoya sedang terdiam di taman samping rumah. Ingatannya kembali mengembara. Chat singkat yang dia terima dua hari yang lalu sangat mengganggu.
Pesan singkat yang sudah susah payah ia abaikan. Sayangnya, masih tetap bersarang diingatan. Mengganggu pikiran tanpa bisa dia hilangkan. Chat dari seseorang yang tidak ia ketahui siapa. Pesan singkat itu mengatakan kalau dirinya harus bersiap-siap untuk kehilangan Arya.
Sudah susah payah dia meyakinkan hatinya kalau dia tidak lagi membutuhkan Arya. Jika suaminya itu hilang, maka dia akan baik-baik saja. Sayang, hati yang diyakinkan malah tidak bisa menerima. Sebaliknya, malah merasa sangat terganggu akan kata-kata yang orang itu kirimkan.
Hati itu merasa sangat tidak nyaman. Padahal, Zoya sudah memastikan sebelumnya, kalau pernikahan ini terjadi hanya karena terpaksa. Tapi pada kenyataannya, dia malah tidak bisa menutupi perasaan kalau rasa cinta itu masih ada. Rasa yang membuat hati tidak ingin melepaskan Arya. Rasa yang membuat pemaksaan agar dia terus mempertahankan rumah tangganya. Rasa yang ingin rumah tangganya tetap baik-baik saja. Oh, rasa itu sungguh sangat nyata.
"Tidak."
"Zoya. Ayolah," gumam Zoya dengan nada yang sangat pelan.
Saat ini, hatinya merasa sangat sakit. Hatinya sedang terluka. Luka itu terlalu perih sampai tiba-tiba saja air matanya jatuh.
'Lepaskan. Ayo lepaskan. Sejak awal, kamu juga sudah mewanti-wanti hatimu, bukan? Dia sudah punya anak. Maka kemungkinan untuk kembali bersama anaknya adalah hal yang bisa saja terjadi. Cobalah untuk mengerti,' kata hati Zoya berkata.
Ya. Ketika dia putuskan untuk tidak menikah dengan Arya, dia sudah memikirkan hal ini akan terjadi. Dia bisa rela saat itu. Dia tidak ingin terluka terlalu dalam. Karena, statusnya sebagai seorang istri pasti akan dia pertaruhkan.
Namun, pernikahan itu terjadi. Dan, hal yang dia takutkan pun terjadi. Rumah tangga mereka ada di ambang kehancuran. Dia sangat menyayangkan hal itu sekarang.
"Zoya."
Suara yang tidak asing terdengar dari arah depan rumah. Sontak, Zoya langsung menyeka air mata yang tumpah.
Siapa lagi si pemilik suara kalau bukan sang suami. Arya tetap memperlihatkan sikap dan tingkah laku yang manis seperti biasanya. Tidak ada yang berubah dari pria itu sedikitpun. Hanya dalam satu minggu terakhir, dia jadi sering pulang terlambat beberapa kali.
Meski begitu, sikapnya pada Zoya tidak ada yang berubah sama sekali. Perhatiannya masih dia tumpukan buat Zoya. Tapi sayang, naluri seorang wanita itu terlalu kuat. Sedikit saja hatinya disentuh, maka perasaannya akan langsung berubah seketika.
"Kamu kok di sini?" Arya yang baru tiba langsung mengambil posisi duduk di samping Zoya. "Lagi mikirin apa sih, Aya?"
"Kata bi Nari, akhir-akhir ini kamu sering melamun. Ada apa? Apa ada yang tidak nyaman dengan hatimu?"
"Ah, apa kamu rindu rumah mama papa? Kalo iya, kita bisa pulang besok."
"Aku gak papa. Baik-baik saja."
"Beneran? Kamu beneran baik-baik saja, Aya?"
"Ya."
"He ... syukurlah kalo gitu. Jika bener baik-baik saja, aku bisa lega."
Karena sudah terbiasa cuek dan dingin, jadinya, Arya tidak sedikit pun menyadari kalau sikap itu karena ulahnya yang sudah ketahuan bertemu dengan si mantan di belakang Zoya. Dia masih beranggapan kalau Zoya belum bisa memaafkan dirinya karena masa lalunya sebelum menikah.
"Ha, ya sudah, Aya. Aku ke restoran dulu. Jika ada apa-apa, hubungi aku langsung yah."
"Oh iya, aku mungkin akan pulang terlambat hari in, Aya. Gak papa 'kan?"
"Ya."
Arya menatap Zoya dengan tatapan lekat.
'Kapan kamu bisa membuka hati lagi, Aya? Kapan kamu bisa memaafkan aku, lalu bersikap hangat seperti waktu itu. Aku sangat menantikannya.'
'Ha, tapi gak papa. Aku bisa menunggu. Aku akan terus berusaha. Hanya tinggal tiga minggu saja lagi, masa lalu itu akan sepenuhnya hilang. Setelahnya, aku bisa fokus untuk membuat kamu jatuh cinta padaku lagi.'
'Ayolah, Arya. Semangat. Kamu bisa,' kata hati Arya lagi. Dia pun langsung mengukir senyum. Wajah lelahnya berubah seketika.
Guratan perubahan dari wajah itu tentu saja terlihat oleh Zoya. Yang tentunya langsung membuat pikiran wanita itu salah salah mengartikan maksud dan arah dari perubahan wajah si suami.
si arya jadi laki kurang tegas,,, dn tdak mau terbuka dn jujur...
, kan jahat q 😣