NovelToon NovelToon
Ark Of Destiny

Ark Of Destiny

Status: sedang berlangsung
Genre:Mafia / Mengubah Takdir / Cinta Murni / Romansa
Popularitas:3.2k
Nilai: 5
Nama Author: Antromorphis

"Maka Jika Para Kekasih Sejati Telah Melewatinya, Cinta Tegak Berdiri sebagai Sebuah Hukum Pasti Dalam Takdir."


Sebuah novel yang mengisahkan perjalanan epik seorang pemuda dalam mengarungi samudera kehidupan, menghadirkan Hamzah sebagai tokoh utama yang akan membawa pembaca menyelami kedalaman emosional. Dengan pendalaman karakter yang cermat, alur cerita yang memikat, serta narasi yang kuat, karya ini menjanjikan pengalaman baru yang penuh makna. Rangkaian plot yang disusun bak puzzle, saling terkait dalam satu narasi, menjadikan cerita ini tak hanya menarik, tetapi juga menggugah pemikiran. Melalui setiap liku yang dilalui Hamzah, pembaca diajak untuk memahami arti sejati dari perjuangan dan harapan dalam hidup.


"Ini bukan hanya novel cinta yang menggetarkan, Ini juga sebuah novel pembangun jiwa yang akan membawa pembaca memahami apa arti cinta dan takdir yang sesungguhnya!"

More about me:
Instagram: antromorphis
Tiktok:antromorphis

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Antromorphis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Robi dan Pria Misterius

Telefon terhubung. Suara Hamzah yang hangat mengalir melalui speaker, “Halo dik, assalamu’alaikum?”

“Wa’alailumussalam,” jawab Ririn, suaranya pendek dan terkesan terburu-buru.

“Mmm... ada apa dik?” Hamzah melanjutkan, merasakan ketegangan yang tak biasa dalam nada suara Ririn.

Ririn menarik napas panjang, seolah mengumpulkan keberanian untuk mengungkapkan sesuatu yang berat. Hening menyelimuti mereka, hanya suara detak jam yang terdengar di latar belakang. Hamzah menunggu, berharap Ririn akan melanjutkan, tetapi keheningan semakin menyesakkan.

“Dik?” Hamzah memanggil lembut, mencoba memecah kebisuan yang kian membebani suasana.

“Iya mas,” Ririn menjawab, suaranya kini sedikit bergetar.

Hamzah merasa bingung, kata-kata yang ingin diucapkannya seolah tersangkut di tenggorokan. Ia pun terdiam, merasakan ketidaknyamanan yang sama dengan Ririn. Beberapa menit berlalu tanpa ada satu pun dari mereka yang berani membuka suara.

Akhirnya, Ririn memecah keheningan. “Mas, sebelumnya adik ingin meminta maaf yang sebesar-besarnya atas sikap adik beberapa hari ini,” ucapnya dengan nada penuh penyesalan.

“Iya dik, tidak apa-apa,” Hamzah menjawab lembut. “Namun, jika adik sedang ada masalah, bisa bercerita kepada mas. Mas siap kapanpun dik.” Suara Hamzah dipenuhi rasa empati, berharap bisa menjadi tempat curahan hati bagi Ririn.

“Terima kasih mas,” Ririn berkata pelan, merasakan hangatnya perhatian Hamzah.

“Adik kemarin menangis karena apa dik?” tanya Hamzah dengan canggung, berusaha menembus dinding ketidakpastian yang menghalangi mereka.

“Ririn sedang ada problem di rumah mas,” jawab Ririn dengan nada sedih.

“Astaghfirullah... mmm, memangnya masalah apa dik?” Hamzah melanjutkan pertanyaannya dengan hati-hati, khawatir akan jawaban yang mungkin menyakitkan.

“Ririn tidak ingin cerita sekarang mas,” jawab Ririn singkat, seolah menutup rapat pintu hatinya.

“Iya dik,” timpal Hamzah memahami situasi sulit yang dihadapi Ririn.

“Dan ada satu hal penting lagi mas,” lanjut Ririn, suara tegas namun bergetar di ujungnya.

“Apa itu dik?” tanya Hamzah penasaran, merasakan gelombang emosi yang tak terduga.

“Tentang hubungan kita mas....” Suara Ririn tiba-tiba menjadi sangat serius.

“Sudah dulu ya mas, Assalamu’alaikum,” kata Ririn cepat sebelum mematikan telefon tanpa memberi kesempatan bagi Hamzah untuk merespons.

“Dik, tunggu dik... halo, dik! Tunggu jangan ditutup dulu teleponnya... Dik! Dik!” suara Hamzah menggema dalam keramaian setelah panggilan terputus.

Sejurus kemudian, Hamzah berusaha menghubungi kembali Ririn. Namun setiap panggilan tak terjawab; hingga tujuh kali ia mencoba dan tetap tidak ada respons dari Ririn. Setiap dering telefon yang tak terjawab semakin menambah kesedihan di hati Hamzah.

“Ririn ada apa? Kenapa dia seperti itu?” gumamnya dalam kebingungan dan kepanikan.

“Apakah karena aku melanjutkan kuliah di Inggris? Tapi sepertinya itu bukan alasan kenapa dia menjadi seperti ini; buktinya sewaktu berpamitan ia merestui kepergianku.”

Hamzah mulai merenung lebih dalam. “Pasti ada hal lain… tapi apa? Dia bilang sedang ada masalah keluarga. Apakah karena itu?”

Dengan harapan yang tersisa, ia berdoa dalam hati agar semua ini segera terjawab. “Aku tunggu saja nanti penjelasan dari Ririn; semoga semuanya baik-baik saja, aamiin.”

Tiba-tiba ia terkejut melihat Elizabeth sudah berdiri di sampingnya. Wajah Elizabeth menunjukkan kekhawatiran mendalam; seolah ia juga merasakan beban yang dipikul Hamzah saat ini.

“Zah?” sapa Elizabeth lembut, suaranya seperti embun pagi yang menyejukkan. Ia memperhatikan Hamzah, yang tampak gelisah, wajahnya menyiratkan sebuah cerita yang belum terungkap.

“Eh iya Liz, ada apa? Eh mmm, sudah selesai?” timpal Hamzah kikuk, berusaha menyembunyikan kegundahan yang menggelayuti pikirannya.

“Sedang memikirkan apa Zah?” lanjut Elizabeth, matanya tajam meneliti ekspresi wajah Hamzah yang tampak murung. Ia tahu betul bahwa ada sesuatu yang mengganggu sahabatnya itu.

“Tidak ada apa-apa kok Liz,” ucap Hamzah menutupi, namun nada suaranya tidak meyakinkan.

“Beneran lho ya?” Elizabeth menatapnya dengan penuh perhatian, seolah ingin menembus dinding ketidakjujuran yang dibangun Hamzah.

“Iya Liz, tidak ada apa-apa,” Hamzah berusaha tersenyum, tetapi senyumnya tampak dipaksakan.

Elizabeth tersenyum lembut. “Tapi, jika ada sesuatu, cerita saja Zah. Nanti aku akan membantu sebisaku, aku berjanji,” ucapnya dengan nada yang penuh kasih sayang. Ia ingin Hamzah tahu bahwa ia selalu ada untuknya.

“Hehehe, iya Liz, terimakasih banyak,” jawab Hamzah, sedikit lega mendengar tawaran tulus dari sahabatnya.

Setelah beberapa saat menunggu dalam antrean yang panjang, tibalah giliran mereka. Hamzah yang sedari tadi mengantri sudah memiliki menu yang akan dipesannya. “Beri aku satu cup Arabica,” ucap Hamzah kepada penjual dengan percaya diri.

Penjual mengangguk dan mulai menyiapkan pesanan Hamzah. “Kamu pesan apa Liz?” tanya Hamzah sambil melirik Elizabeth yang masih terlihat bingung memilih menu.

“Mmm, aku pilih....” Elizabeth menjawab sambil mengernyitkan dahi.

“Apa Liz?” tanya Hamzah dengan rasa ingin tahu yang makin mendalam.

“Aku pilih sama seperti mu saja Zah,” timpal Elizabeth akhirnya.

“Okey,” jawab Hamzah dengan senyuman lebar.

“Tambah satu cup Arabica ya,” ucap Hamzah kepada penjual sebelum mereka melanjutkan obrolan ringan.

Setelah menunggu sekitar sepuluh menit, pesanan mereka pun siap. “Ini kopinya,” ucap penjual seraya menyerahkan dua cup kopi Arabica dengan senyum ramah.

Hamzah mengeluarkan lima poundsterling dari dalam dompetnya dan menyerahkan uang itu. Setelah menerima pesanan mereka, mereka berjalan keluar meninggalkan kerumunan orang yang terus berlanjut di belakang mereka.

“Terimakasih,” sahut Hamzah dan Elizabeth bersamaan seraya melangkah menjauh dari keramaian.

“Kita langsung kesana ya Zah,” ucap Elizabeth penuh semangat, menunjukkan arah tujuan mereka dengan tangan.

Hamzah mengangguk setuju. Mereka berdua berjalan menyusuri jalanan kota yang mulai hidup dengan aktivitas pagi. Di tengah perjalanan, Hamzah melihat jam di tangannya dan bergumam pelan, “Sudah hampir jam sepuluh.”

Kata-katanya menggantung di udara seolah membawa pertanda bahwa malam ini akan menjadi lebih dari sekadar malam biasa; ada harapan dan cerita baru yang menunggu untuk ditulis bersama.

Jalanan kota Oxford masih terlihat ramai, dipenuhi oleh orang-orang yang tampak begitu bahagia. Suara tawa dan percakapan hangat mengisi udara, menciptakan suasana yang ceria. Hamzah, dengan mata yang berbinar, menatap lampu-lampu berwarna-warni yang tergantung seperti lampion di atas jalan. Setiap lampu bergetar lembut tertiup angin, seolah ikut merayakan kebahagiaan malam itu.

“Masih jauh, Liz?” tanya Hamzah, suaranya penuh rasa ingin tahu, meski senyumnya tak pernah pudar.

“Tidak kok Zah, sebentar lagi kita sampai. Kamu capek ya?” jawab Elizabeth dengan nada menggoda, matanya menyipit sambil tersenyum lebar. Ada sesuatu yang ceria dalam suaranya, seolah ia sedang membagi kebahagiaan kepada Hamzah.

“Hehehe, engga kok Liz, Cuma ingin bertanya.” Hamzah tertawa kecil, merasa nyaman dalam kebersamaan mereka.

Sejurus kemudian, langkah mereka membawa ke area taman yang luas. Taman itu dipenuhi oleh berbagai aktivitas; anak-anak bermain bola, pasangan muda bercengkerama di bangku-bangku taman, dan beberapa orang tua duduk santai sambil membaca buku. Di pinggir taman, sungai mengalir tenang, menciptakan suara gemericik air yang menenangkan. Taman ini terletak di samping kota, menjadi oasis di tengah hiruk-pikuk kehidupan.

“Kita duduk disitu ya,” ucap Elizabeth seraya menunjuk bangku kayu yang menghadap ke arah sungai. Ada kehangatan dalam tawanya saat ia mengajak Hamzah.

“Iya Liz, ayo kita segera kesana.” Hamzah mengangguk setuju, merasakan semangat yang mengalir di antara mereka.

Mereka berjalan menuju bangku tersebut dan segera mendudukinya. “Aahhh... Nikmat sekali bisa duduk,” ucap Hamzah sambil menyandarkan badannya ke sandaran bangku. Ia menutup matanya sejenak, menikmati angin malam yang lembut.

Elizabeth lalu membuka bungkus makanan yang telah dibelinya sebelumnya. Bakewell flapjack itu terbungkus rapi dengan kertas berwarna cerah. Di bagian atas bungkusnya terdapat tulisan "Bakewell flapjack" disertai gambar menggugah selera dari makanan tersebut.

Saat Elizabeth membukanya, aroma harum dan gurih langsung menyeruak ke udara. “Huumm, enak sekali aroma nya... wahh, pasti sangat lezat,” ucap Hamzah dengan mata berbinar-binar.

“Tentu saja Zah, ayo kita santap bersama-sama.” Elizabeth tersenyum lebar, penuh harapan agar Hamzah menikmati makanan tersebut bersamanya.

Elizabeth mengambil sepotong flapjack dan berniat menyuapi Hamzah. Namun, Hamzah langsung menolaknya dengan lembut. “Biarkan aku sendiri Liz,” katanya sambil mengambil potongan makanan yang sudah berada di depan mulutnya.

Elizabeth menurut meski raut wajahnya menunjukkan sedikit kekecewaan. Dia ingin berbagi momen itu lebih dekat dengan Hamzah. Namun ia segera mengesampingkan perasaannya demi kebahagiaan sahabatnya.

Hamzah mulai memakan flapjack itu dan setelah menelannya berkata dengan semangat, “Waah, MasyaAllah... benar-benar enak makanan ini! Makanan khas Inggris enak-enak ya Liz.” Suara kekaguman menggema di antara mereka.

“Iya Zah,” jawab Elizabeth sambil tersenyum bangga. “Ini adalah salah satu makanan favorit aku.”

Keduanya terdiam sejenak menikmati suasana malam yang damai dan hangat. Dalam keheningan itu, mereka merasakan kedekatan yang tak terucapkan—sebuah ikatan persahabatan yang kuat di tengah keramaian kota Oxford.

“Oh iya Liz, kamu pernah memakan makanan khas dari Indonesia belum?” tanya Hamzah, matanya berbinar penuh rasa ingin tahu. Suasana sore itu hangat, dengan sinar matahari yang merembes lembut melalui jendela, menciptakan nuansa yang akrab di antara mereka.

“Sayang sekali belum, Zah. Makanan Asia, baru dari Jepang yang pernah aku makan. Itupun satu tahun yang lalu, saat aku berlibur ke Jepang,” jawab Elizabeth dengan nada sedikit menyesal, seolah-olah mengingat kembali kenangan manis dari perjalanan itu.

“Waah, kalau begitu, besok aku akan buatin kamu makanan khas dari Indonesia. Aku jamin kamu pasti akan ketagihan,” lanjut Hamzah dengan semangat yang menggebu, membayangkan betapa senangnya Elizabeth saat mencicipi masakan yang penuh cita rasa.

“Yang bener Zah? Waah, terimakasih ya Zah,” sahut Elizabeth kegirangan, senyumnya merekah seperti bunga di musim semi. Dia bisa merasakan betapa istimewanya momen itu.

“Iya, nanti kita makan bersama. Oh iya, sebelum itu, besok boleh kan aku minta di anter untuk berbelanja bahan makanan? Tapi, jika kamu sedang tidak ada kegiatan ya; kalau ada kegiatan lebih baik jangan. Biar aku sendiri yang mencari bahan,” lanjut Hamzah dengan nada hati-hati, mempertimbangkan kemungkinan kesibukan Elizabeth.

“Mmm, besok ya... Aku ada kegiatan tidak ya?” sahut Elizabeth sambil mengerutkan dahi, berusaha mengingat jadwalnya.

“Sepertinya tidak ada Zah. Besok aku akan menemanimu mencari bahan. Eh bentar-bentar, memangnya kamu bisa memasak Zah?” lanjut Elizabeth seraya menggoda Hamzah, matanya berkilau penuh canda.

“Tentu saja bisa! Ibuku yang mengajari aku memasak Liz,” jawab Hamzah dengan bangga, mengenang momen-momen saat dia belajar di dapur bersama ibunya.

“Wah, hebat banget kamu Zah. Aku sendiri ya, jujur tidak bisa memasak, huhuhu,” ungkap Elizabeth dengan nada bercanda namun sedikit menyedihkan.

“Lhoh, kamu tidak bisa memasak? Ya sudah besok aku ajari kamu memasak sekalian,” timpal Hamzah dengan antusiasme yang tulus. Dia merasa senang bisa berbagi pengetahuan dan keterampilan.

“Huumm, terimakasih ya Zah. Aku begitu beruntung memiliki teman seperti kamu,” ucap Elizabeth tulus, merasakan kedekatan yang semakin mendalam antara mereka.

“Sudah, tenang saja... aku juga beruntung kok mempunyai teman seperti kamu Liz. Oh iya, aku mau tanya, kok kamu baik banget sih sama aku? Padahal kita baru kenal, tapi kamu sudah sebaik itu denganku,” lanjut Hamzah dengan rasa ingin tahu yang tulus.

“Nyatanya, kamu juga sangat baik kepada ku Zah, walaupun kita baru kenal,” jawab Elizabeth enteng sambil tersenyum manis. “Bagaimana ya menjelaskannya. Pokoknya waktu pertama kali bertemu, aku seperti bisa mengetahui kepribadianmu. Dan kepribadianmu terlihat jelas saat kita berlima di kafe,” ucap Elizabeth sebelum kalimatnya terpotong oleh Hamzah.

“Eh tunggu sebentar. Aku baru ingat,” potong Hamzah tiba-tiba.

“Ingat apa Zah?” tanya Elizabeth penasaran.

“Robi! Dia pergi sejak siang tadi dan sampai sebelum kita keluar aku belum melihatnya. Semoga saja ia tidak kesasar,” lanjut Hamzah dengan nada khawatir.

“Robi...” ucap Elizabeth tampak mengingat sesuatu yang penting.

“Oh iyaa! Robi! Aku lupa Zah bilang sama kamu,” lanjut Elizabeth dengan ekspresi bingung.

“Robi kenapa Liz? Jangan bilang kalau dia kesasar beneran ya,” sahut Hamzah dengan nada panik mulai merayap di suaranya.

“Enggak, bukan itu Zah. Jadi tadi sebelum aku berjalan menuju apartemen, aku sempat melihat Robi memasuki sebuah bar di sini dengan seorang laki-laki. Tadi kupikir laki-laki itu kamu Zah, tapi seharusnya tidak karena kamu sudah ada janji dengan ku,” jawab Elizabeth sambil menggelengkan kepala seolah menepis pikiran buruk.

“Laki-laki Liz? Dia seperti apa Liz ciri-ciri nya?” timpal Hamzah dengan wajah serius penuh perhatian.

“Mmm, sebentar... aku ingat-ingat dulu,” lanjut Elizabeth sembari memejamkan mata sejenak untuk mengingat detailnya.

Hamzah kemudian membuka tutup cup kopi yang sedari tadi masih tertutup dan meminumnya dalam-dalam sebelum kembali bertanya. “Bagaimana Liz? Kamu sudah ingat seperti apa ciri-cirinya?” ucap Hamzah penasaran sambil menatap wajah Elizabeth yang tampak berpikir keras.

“Mmm... kalau tidak salah... dia bersama laki-laki yang tingginya hampir sama dengan Robi sekitar seratus delapan puluh cm. Laki-laki itu memakai jaket berwarna hitam dan di bagian leher terdapat bulu yang melingkarinya; lalu ia memakai celana jeans berwarna hitam. Akan tetapi, aku tidak bisa melihat wajahnya Zah; maafkan aku,” jawab Elizabeth setelah beberapa saat mengingat detail tersebut.

Sontak Hamzah terkejut mendengar penjelasan itu. “Apaaa?” sahut Hamzah dengan suara tinggi penuh ketidakpercayaan dan kekhawatiran yang mendalam.

...****************...

1
Hana Inumaki
sabar ya om robi. nanti mabar sm aku 🤣🤣
Hana Inumaki
keren sajaknya. mungkin klo dibuatin lagu bakalan lebih indah wkwk
Antromorphis: Makasih banyak yha
total 1 replies
Hana Inumaki
alurnya sangat bagus. tapi masih ada beberapa kata yang kurang sesuai dengan PUEBI. kalo ada waktu di revisi ya kk
Hana Inumaki: udah sih beberapa. btw maaf aku bukan editormu jir
Antromorphis: Engga di benerin sekalian? Btw makasih ya untuk koreksinya🤩
total 2 replies
Antromorphis
Hamzah gugup itu, salting brutal🤣
Hana Inumaki
bukannya segera masuk malah curi² pandang. gimana sii Hamzah?😭
Hana Inumaki
keren banget penyusunan katanya. penulis senior emang gaada obat 👏👏
xloveycious
Tata bahasanya bagus banget.. mantep kak
eterfall studio
keburu telatt
eterfall studio
menarik
Perla_Rose384
Aku tahu pasti thor punya banyak ide kreatif lagi!
Antromorphis: Hehehe, stay tune yha kk, masih banyak misteri di depan sana yang harus kakak pecahkan🙌🏼
total 1 replies
yongobongo11:11
Ga nyangka bisa terkena hook dari karya ini. Jempol atas buat author!
Antromorphis: Hehehe, terimakasih banyak kk, nantikan Bab selanjutnya yha, masih banyak misteri yang harus kakak pecahkan🙌🏼
total 1 replies
Heulwen
Ngerti banget, bro!
Hana Inumaki: maaf mungkin cuman aku. tapi paragrafnya ada yang kepanjangan. jadi agak pusing mataku.
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!