Tujuannya untuk membalas dendam sakit hati 7 tahun lalu justru membuat seorang Faza Nawasena terjebak dalam pusara perasaannya sendiri. Belum lagi, perasaan benci yang dibawa Ashana Lazuardi membuat segalanya jadi semakin rumit.
Kesalahpahaman yang belum terpecahkan, membuat hasrat balas dendam Faza semakin menyala. Ashana dan perusahaan ayahnya yang hampir bangkrut, tak memiliki pilihan selain berkata 'ya' pada kesepakatan pernikahan yang menyesakkan itu.
Keduanya seolah berada di dalam lingkaran api, tak peduli ke arah mana mereka berjalan, keduanya akan tetap terbakar.
Antara benci yang mengakar dan cinta yang belum mekar, manakah yang akan menang?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hernn Khrnsa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
LYTTE 29 — Determine
Ashana terbangun lagi, entah mengapa tidurnya malam ini jadi gelisah. Melirik jam di atas nakas, jam sudah menunjukkan pukul setengah sebelas malam.
Mengecek ponselnya, ia dapati banyak sekali pesan dan beberapa panggilan tak terjawab dari Vanya. “Ada apa ini? Kenapa banyak sekali panggilan tak terjawab?”
Ashana mulai mengecek dan membaca pesan dari Vanya, ia tertegun sesaat, seolah tak yakin dengan pesan yang baru dibacanya itu.
Merasa harus pergi, Ashana mencoba menelepon Vanya untuk menanyakan keadaan pria itu. Tak perlu waktu lama baginya untuk menunggu, pada dering pertama, panggilannya langsung dijawab.
“Halo, Kak? Akhirnya aku bisa menghubungimu,” kata Vanya di ujung telepon. Ashana menangkap nada lega dalam suaranya dan sayup-sayup suara pria itu yang terus menyebut namanya.
Ashana bangkit dari posisi tidurnya, berjalan ke arah mandi dan membasuh wajah untk menyegarkan diri, ia meletakkan ponselnya di samping wastafel. “Bagaimana kondisinya sekarang? Kau sudah membaringkannya?” tanya Ashana.
“Aku sudah melakukannya, aku bahkan sudah memberinya air putih, Kak, Tapi Kak Faza terus saja meracau, ia menyebut namamu terus.”
Ashana pun mengangguk kecil, “Aku akan segera ke sana, kau tenang ya. Aku akan mengemudi secepat yang aku bisa.”
“Baik, Kak, hati-hati, ya. Aku akan menunggumu.” Vanya lalu memutus panggilan iu sementara Ashana bergegas bersiap.
***
Butuh waktu beberapa lama bagi Ashana untuk memarkir mobilnya dan berjalan ke arah pintu utama. Ia mulai bertanya-tanya apa alasan pasti ia datang ke sini. Untuk apa?
Merasa tak perlu membuang-buang waktu lagi, Ashana akhirnya turun. Mengetuk pintu beberapa kali, Vanya muncul dengan perasaan lega yang menyelimuti wajahnya.
“Kak! Akhirnya kau datang!” Vanya langsung menariknya masuk ke ruang tamu.
Di sana, Faza terbaring lemah dengan kondisi yang sangat berantakan. Bau alkohol menguar keluar saat Ashana mendekatinya.
“Ashana … Ashana, kau di mana,” racau Faza tak sadar. Satu tangannya terayun ke bawah sedangkan tangannya yang lain menutupi wajahnya sendiri.
“Apakah dia sering mabuk seperti ini?” tanya Ashana pada Vanya. Satu tangannya sibuk memeriksa denyut nadi pria itu, lalu kornea hingga detak jantung. Memastikan bahwa tak ada hal serius yang terjadi.
“Biasanya Kakak tidak sampai mabuk berat seperti ini. Tapi hari ini entah mengapa dia minum melebihi batas kemampuannya sendiri. Aku sangat cemas, Kak.”
“Aku mengerti,” sahut Ashana. “Bisa kau bantu aku memindahkan dia ke kamar? Aku akan mengurus dan memeriksa keadaannya.”
Kemudian, dengan tergopoh-gopoh, keduanya memapah tubuh Faza yang beratnya dua kali lipat dari berat badan mereka.
“Astaga, bahuku sakit, Kakak berat sekali,” keluh Vanya setelah membantu Ashana membaringkan Faza di atas tempat tidurnya.
“Sebaiknya aku ke luar sekarang, panggil aku atau Luna jika kau membutuhkan sesuatu, Kak.” setelahnya, Vanya langsung berjalan ke luar setelah memastikan kakaknya akan baik-baik saja bersama Ashana.
Ashana mulai melepaskan pakaian pria itu satu per-satu, mengelap tubuh Faza yang berkeringat dan membersihkan sisa muntahan. Kemudian mengompres keningnya dengan air.
Saat Ashana hendak beranjak dari sana, tiba-tiba Faza memegang tangannya. “Jangan tinggalkan aku … aku … aku tak bisa hidup tanpamu.”
“Dia meracau lagi,” gumam Ashana, ia mengurungkan niatnya untuk beranjak. “Aku akan di sini sampai kau bangun. Tidurlah yang nyenyak.”
Ashana memposisikan tubuhnya tepat di samping Faza. Berjaga sampai tengah malam untuk memastikan pria itu baik-baik saja. Pria itu sudah tak meracau lagi, tapi sesekali masih Ashana dengar suara geramannya yang pelan.
“Kau terlihat lebih tenang saat kau tertidur,” kata Ashana menelisik wajah pria itu yang meskipun sedang tertidur tetap terlihat tampan. Wajahnya bersih tanpa noda, agaknya pria itu mulai merawat dirinya dengan baik.
Kedua alisnya yang hitam legam menambah kesan angkuhnya saat menatap orang. Hanya satu hal yang baru Ashana tahu, pria itu memiliki jambang tipis.
“Ashana … Ashana … “ panggil Faza dalam tidurnya. Kepalanya bergerak ke kanan dan kiri. Sepertinya pria itu mulai gelisah dalam tidurnya.
“Aku di sini, jangan khawatir.” Ashana kembali mengecek suhu tubuh pria itu, mengganti kompresnya dengan telaten. “Jika kau mudah mabuk seperti ini, kenapa kau minum-minum?” omel Ashana.
“Jangan tinggalkan aku … aku … aku tidak pernah mengkhianatimu … aku tidak pernah mengkhianatimu, Ashana … kenapa kau pergi.”
Ashana tak ingin memercayai perkataan orang yang berada di bawah pengaruh alkohol. Tapi untuk kali ini, ia ingin memercayai perkataan pria itu. Sekali saja. Ia ingin percaya bahwa Faza tak pernah mengkhianatinya.
Mungkin, apa yang Faza katakan dalam keadaan seperti ini adalah sebuah kebenaran yang tak bisa Faza katakan padanya. Dan Ashana harus memastikan kebenarannya. Bagaimana pun, ia juga harus memikirkan tentang hubungan mereka dan memutuskan dengan segera kelanjutan hubungan mereka.
Ashana tak mungkin membiarkan dirinya terus hanyut dalam pernikahan yang mengikat tanpa cinta dan penuh kebencian seperti ini. Ia harus memutuskan, antara melanjutkan atau melepaskan.
“Aku tidak tahu apakah yang kau katakan itu benar atau tidak. Tapi katanya, orang yang mabuk bisa saja mengatakan sesuatu yang jujur, sesuatu yang tak dapat ia katakan lewat lisan.”
Ashana terjaga hingga dini hari, hingga tanpa sadar ia terlelap dalam posisi duduknya. Di saat yang bersamaan, Faza mulai membuka kedua matanya dan merasakan kepalanya yang terasa berat.
“Sudah berapa lama aku tidur?” gumamnya seraya menyandarkan kepalanya sedikit agak lebih tinggi. “Ah, kepalaku berat sekali, bagaimana aku bisa pulang?”
Faza merasakan matanya berkunang-kunang saat mencoba menyesuaikan pandangannya dengan suasana kamar yang terang. Masih bingung dengan bagaimana ia bisa berakhir di tempat tidurnya dan bukan di bar.
Ia hanya ingat bahwa pikirannya kalut memikirkan perkataan Indira, merasa perlu melampiaskannya, Faza lalu pergi ke sebuah bar. Entah berapa banyak minuman yang ia teguk. Faza pun tak mengingatnya.
“Sepertinya semalam aku bermimpi Ashana merawatku,” lirihnya menatap langit-langit kamar. Ia tertawa getir, “Tapi mana mungkin kan?”
Faza masih tak menyadari keberadaan Ashana di sisi tempat tidurnya. Saat ia bangun untuk ke kamar mandi, barulah ia sadar bahwa ia tak bermimpi.
“Ashana? Astaga, aku tidak bermimpi lagi kan?” monolognya sambil mengucek matanya beberapa kali untuk memastikan bahwa pandangannya tidak salah. “Kenapa dia tertidur dalam posisi seperti ini? Apakah dia menjagaku semalaman?”