Ello, seorang dokter pediatri yang masih berduka atas kehilangan kekasihnya yang hilang dalam sebuah kecelakaan, berusaha keras untuk move on. Namun, setiap kali ia mencoba membuka hati untuk wanita lain, keponakannya yang usil, Ziel, selalu berhasil menggagalkan rencananya karena masih percaya, Diana kekasih Ello masih hidup.
Namun, semua berubah ketika Ello menemukan Diandra, seorang gadis misterius mirip kekasihnya yang terluka di tepi pantai. Ziel memaksa Ello menikahinya. Saat Ello mulai jatuh cinta, kekasih Diandra dan ancaman dari masa lalu muncul.
Siapa Diandra? Apakah ia memiliki hubungan dengan mendiang kekasih Ello? Bagaimana akhir rumah tangga mereka?
Yuk, ikuti ceritanya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
29. Kejujuran
Ello dan Diandra saling berpandangan, sementara Elin dan Zion hanya bisa menghela napas panjang, memahami sifat keras kepala putra mereka.
Di tengah keheningan yang mencekam, Zion akhirnya angkat bicara, suaranya tenang namun tak terbantahkan. “Diandra, kita bicarakan lagi semuanya besok. Sebaiknya kamu kembali dulu ke kamarmu.”
Diandra mengangguk pelan. “Iya, Kak,” sahutnya, berusaha menyembunyikan rasa malu. Ia melangkah kembali ke kamarnya dengan kepala tertunduk, menyadari kekeliruannya. "Kenapa aku harus menyelinap pergi seperti maling? Terasa seolah aku tidak menghargai semua kebaikan mereka," batinnya penuh penyesalan. "Bodohnya aku," gumamnya pelan.
Setelah Diandra menghilang di balik pintu, Zion menatap Ello. “Kamu juga, El. Kembalilah ke kamarmu.”
Ello mengangguk lesu. “Iya, Kak.”
Setelah kembali ke kamarnya, Ello menatap langit-langit kamarnya dengan tangan dilipat di belakang kepala sebagai bantal. "Bagaimana ini? Aku tahu betul keras kepalanya Ziel. Kalau aku tidak menuruti keinginannya, dia benar-benar akan mogok makan dan bicara. Tapi menikah dengan Diandra... ini bukan keputusan yang mudah. Meski aku menyukainya, aku belum bisa memastikan apakah perasaanku ini karena dia mirip Diana atau karena aku memang menyukainya, tanpa bayang-bayang masa laluku bersama Diana. Aku merasa nyaman bersamanya, sama seperti saat aku bersama Diana dulu. Tapi di sisi lain, aku juga tidak tahu apakah dia punya perasaan yang sama. Aku tidak ingin melukai perasaannya dengan ketidakpastian ini, dan juga tak mau memaksanya menikah hanya karena Ziel." Pikirannya terus bergelut, bingung antara keinginan Ziel dan ketidakpastian perasaannya sendiri.
Sementara itu, di kamar Zion dan Elin, keheningan terasa nyaman. Elin merebahkan kepalanya di dada Zion, mendengarkan detak jantungnya yang selalu menenangkan. Zion dengan lembut membelai rambut Elin, membiarkan suasana damai mengalir di antara mereka.
“Sayang,” Elin akhirnya memecah keheningan, suaranya lembut. “Kamu tahu sifat Ziel, 'kan? Kita tak bisa memaksa Ello dan Diandra menikah hanya karena Ziel merajuk. Pernikahan adalah ikatan suci di hadapan Tuhan, bukan permainan yang dijalani satu atau dua hari, tapi kalau bisa selamanya.”
Zion menghela napas panjang. "Aku tahu, Sayang. Ziel belum mengerti apa arti pernikahan yang sesungguhnya. Dia hanya ingin Diandra tetap bersamanya. Kita harus coba memberikan pengertian padanya."
***
Keesokan harinya, suasana di meja makan terasa canggung. Zion, Elin, Ello, Diandra, dan Ziel sudah duduk untuk memulai sarapan. Namun, Ziel duduk dengan tangan terlipat di dada, menatap kosong ke arah piringnya tanpa berniat menyentuh makanan di hadapannya.
Zion bicara pada putranya dengan nada lembut namun tegas. “Ziel, ayo mulai sarapannya, Nak.”
Ziel menggeleng keras, ekspresinya serius. “Aku tidak mau makan, minum, atau bicara sebelum Om Ello dan Tante Diandra menikah.”
Ello tersenyum tipis, mencoba melunakkan hati Ziel. “Ziel, menikah itu bukan hal yang sederhana. Om butuh waktu untuk berpikir.”
Elin pun menatap Ziel dengan lembut. “Sayang, mendesak seseorang untuk menikah itu tidak boleh, karena pernikahan tidak bisa dipaksakan. Kamu makan dulu, ya?”
Namun, Ziel tetap bersikukuh, menunduk dengan wajah tegas dan diam membisu. Tanpa sepatah kata lagi, dia bangkit dari kursinya, meninggalkan meja makan dan berjalan menuju kamarnya. Pintu kamarnya tertutup dengan bunyi yang tak terlalu keras, namun cukup menegaskan keteguhannya.
Di meja makan, semua orang hanya bisa saling bertukar pandang, merasa kebingungan dan sedikit frustasi, mencoba mencari cara terbaik untuk menghadapi Ziel tanpa melukai perasaannya.
Zion menghela napas panjang, lalu menatap Ello dan Diandra bergantian. "Ello, Diandra, kalian jangan sampai terpengaruh oleh Ziel. Anak itu memang keras kepala, tapi kami akan berusaha membujuknya perlahan."
Elin menimpali dengan nada lembut namun tegas, "Siapa yang akan kalian nikahi, itu adalah pilihan dan hak kalian. Tak seorang pun, bahkan Ziel, berhak memaksa kalian."
Ello dan Diandra saling melirik dengan tatapan penuh kebingungan. Ello tahu betul sifat Ziel, begitu keras kepala dan sulit mengalah. Demikian pula dengan Diandra, meski baru mengenal Ziel, ia pun bisa merasakan hal yang sama. Mereka sama-sama menghela napas berat, menyadari situasi sulit yang dihadapi.
Namun, kekhawatiran mereka bertambah saat hari berlalu. Sehari semalam Ziel benar-benar tak mau makan, minum, atau bicara. Zion dan Elin mencoba membujuknya berkali-kali, namun Ziel tetap kukuh dalam pendiriannya. Di hari kedua, kesehatan Ziel mulai memburuk, dan keluarganya terpaksa membawanya ke rumah sakit karena kondisinya yang lemah akibat dua hari menolak makan dan minum.
Di rumah sakit, Ziel masih keras kepala, bahkan mencoba mencabut selang infus yang dipasang untuknya. Zion dan Elin sudah kehabisan akal untuk membujuk anak itu agar makan dan minum.
Sementara itu, di ruang kerjanya di rumah sakit, Ello yang baru selesai shift dikejutkan dengan kedatangan Diandra. Ia menatap Diandra dengan bingung. Namun beberapa saat kemudian ia mempersilahkan Diandra duduk, baru setelah itu memulai pembicaraan.
"Ada apa? Kenapa kamu tiba-tiba datang ke sini?" tanya Ello, sedikit penasaran.
Diandra menghela napas berat, lalu berbicara dengan nada pelan namun terdengar jelas kegelisahannya. "Aku merasa bersalah melihat keadaan Ziel. Aku...aku tahu, seorang gadis dengan latar belakang tak jelas seperti aku ini mungkin tidak pantas untuk siapa pun, apalagi untukmu." Ia menggigit bibirnya, terlihat ragu. "Bahkan... aku merasa tidak layak untuk bersaing mendapatkanmu dengan seorang perawat di sini yang jelas-jelas lebih pantas."
Ello terdiam, menatap Diandra yang kini menunduk dengan cengkeraman di gaun yang ia kenakan. Melihat Ello yang hanya terdiam, Diandra kembali menarik napas, berusaha menguatkan dirinya untuk melanjutkan.
"Aku bersedia menikah denganmu demi Ziel," ujarnya dengan suara lirih. "Meskipun... aku merasa tak pantas untukmu."
Ello tertegun mendengar kata-kata Diandra. Tak pernah terbayang olehnya bahwa Diandra akan menyatakan sesuatu seperti ini. Ia menghela napas panjang, mencoba mengumpulkan keberanian untuk menjawab.
“Diandra,” ucap Ello lembut. “Aku... aku tidak ingin kamu merasa terpaksa. Ini bukan keputusan yang bisa diambil hanya karena Ziel keras kepala.” Ello berhenti sejenak, menatap Diandra dengan tatapan penuh ketulusan. “Ada hal yang perlu kamu tahu. Sebenarnya, dulu aku punya seseorang yang sangat mirip denganmu, namanya Diana... Ziel sangat menyayanginya seperti ia menyayangimu saat ini. Diana adalah cinta pertama dan kekasihku, kami hampir menikah. Dan aku… kehilangan dia dalam sebuah kecelakaan, di depan mataku.”
Diandra mengangkat wajahnya, terkejut mendengar nama itu dan cerita yang Ello sampaikan. Sudah lama ia penasaran dengan cerita tentang orang yang bernama Diana ini, namun setiap ia menanyakan nama Diana pada orang di rumah Zion, mereka semua menghindar seolah ingin menutupi segala sesuatu tentang Diana, hingga akhirnya Diandra tak lagi mencari tahu tentang Diana.
“Diandra, ini bukan tentang siapa yang pantas atau tidak. Aku... aku sendiri bingung dengan perasaanku sekarang. Kadang aku merasa nyaman berada di dekatmu, sama seperti ketika aku bersama Diana dulu. Tapi aku juga belum yakin... apakah perasaanku padamu adalah perasaan yang tulus untukmu, ataukah karena kamu mengingatkanku pada Diana.”
Diandra mendengarkan dalam keheningan, lalu mengangguk pelan. “Aku mengerti, Ello,” jawabnya dengan lembut. “Aku bisa memahami kebingunganmu. Aku sendiri... juga merasa bingung dengan semua ini. Aku tak ingin kamu terbebani oleh masa lalu atau Ziel. Aku hanya... ingin membantu agar Ziel tidak bersikap keras kepala. Karena aku menyayanginya. Dia adalah orang pertama yang menghangatkan hatiku saat aku sendiri tak tahu siapa diriku.”
Ello tersenyum tipis, lega mendengar pemahaman dari Diandra. “Terima kasih, Diandra. Aku menghargai apa yang kamu lakukan untuk Ziel. Tapi aku ingin hubungan kita... tetap berjalan secara alami. Tanpa tekanan, tanpa beban. Aku ingin kita berdua yakin, bukan karena dipaksa keadaan.”
Diandra tersenyum, meskipun masih ada keraguan di matanya. "Baik, Ello. Aku akan mencoba bertahan, demi Ziel, dan untuk mencari jawaban dari perasaan kita masing-masing."
Mereka berdua saling menatap sejenak, menemukan pengertian dalam keheningan itu.
...🌸❤️🌸...
.
To be continued