Malam itu langit dihiasi bintang-bintang yang gemerlap, seolah ikut merayakan pertemuan kami. Aku, yang biasanya memilih tenggelam dalam kesendirian, tak menyangka akan bertemu seseorang yang mampu membuat waktu seolah berhenti.
Di sudut sebuah kafe kecil di pinggir kota, tatapanku bertemu dengan matanya. Ia duduk di meja dekat jendela, menatap keluar seakan sedang menunggu sesuatu—atau mungkin seseorang. Rambutnya terurai, angin malam sesekali mengacaknya lembut. Ada sesuatu dalam dirinya yang memancarkan kehangatan, seperti nyala lilin dalam kegelapan.
"Apakah kursi ini kosong?" tanyanya tiba-tiba, suaranya selembut bayu malam. Aku hanya mengangguk, terlalu terpaku pada kehadirannya. Kami mulai berbicara, pertama-tama tentang hal-hal sederhana—cuaca, kopi, dan lagu yang sedang dimainkan di kafe itu. Namun, percakapan kami segera merambat ke hal-hal yang lebih dalam, seolah kami sudah saling mengenal sejak lama.
Waktu berjalan begitu cepat. Tawa, cerita, dan keheningan yang nyaman
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Achaa19, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
menyelami perasaan
Bab 6: Menyelami Perasaan
Kehangatan yang sempat muncul di malam itu masih membekas di hati Arya dan Reina. Percakapan mereka terasa seperti awal yang baru—langkah pertama menuju pemahaman yang lebih dalam tentang satu sama lain. Namun, jalan ini masih panjang. Perasaan yang mereka miliki seperti teka-teki yang harus mereka selesaikan perlahan.
Arya sering mengunjungi taman kecil ini ketika ia membutuhkan ketenangan. Ia menemukan bahwa tempat ini memiliki suasana yang sempurna untuk berpikir, untuk memahami diri dan perasaannya. Pagi itu, ia duduk di bawah pohon besar sambil menatap anak-anak yang berlarian bermain dengan riangnya. Angin sejuk meniup rambutnya, dan ia bisa merasakan ketenangan yang selalu ia cari di tempat ini.
Pikirannya masih tentang semalam. Reina. Perasaannya yang datang tanpa aba-aba, tanpa ia undang, tetapi kini menjadi bagian dari hari-harinya.
Arya mengeluarkan buku catatannya dan mulai menulis.
“Kadang perasaan datang tanpa kita undang. Kadang kita bertemu seseorang dan tanpa kita tahu, mereka menjadi bagian dari kita.”
Arya menulis kalimat itu sambil memikirkan Reina. Apakah ini perasaan yang benar? Atau hanya keinginan untuk memahami sesuatu yang belum ia pahami sepenuhnya?
Reina duduk di salah satu sudut perpustakaan sambil membaca buku. Tempat ini selalu membuatnya merasa aman. Dengan dinding penuh rak buku dan suasana yang sunyi, ia bisa menemukan ketenangan dan jawaban dari kebingungannya. Namun, sejak perbincangan semalam dengan Arya, ia sering merasa ada hal yang mengganggunya.
Reina berpikir tentang kata-katanya semalam. “Kita bisa mencoba memulai dengan saling memahami, tanpa perlu memaksa apa-apa.”
Apakah ini benar? Apakah ia bisa membuka hatinya pada seseorang yang ia temui secara kebetulan, seseorang yang ia rasakan memiliki banyak misteri?
Reina meletakkan buku yang ia baca dan menatap jendela yang mengarah ke halaman perpustakaan. Ia tahu bahwa ia memiliki banyak hal yang harus ia jelajahi di dalam dirinya sendiri sebelum bisa benar-benar memahami perasaannya.
Ia meraih ponsel di tasnya dan membuka pesan dari Arya yang ia simpan sejak malam itu.
Arya: Mari kita mulai dengan langkah kecil.
Reina menatap pesan itu lama. Kata-kata sederhana itu terasa sangat berarti, seperti undangan untuk memulai petualangan yang ia takuti.
Malam itu, mereka bertemu lagi di kafe yang sama. Kafe yang sama seperti sebelumnya, dengan lampu lembut dan aroma kopi yang selalu memanggil hati mereka. Arya sudah duduk ketika Reina datang dengan senyumannya yang sama—hangat, lembut, namun memiliki rahasia yang tak bisa ia ungkapkan.
“Arya,” kata Reina sambil duduk di kursi yang berhadapan dengannya.
“Hai, Reina,” sambut Arya dengan senyum.
Reina memegang kopi di tangannya. “Aku berpikir bahwa kita perlu membiarkan diri kita mengeksplorasi ini perlahan-lahan.”
Arya mengangguk, menyadari maksud dari kata-kata itu. “Aku tahu. Kadang langkah kecil adalah cara terbaik untuk memahami sesuatu.”
Keduanya mulai membicarakan berbagai hal—mimpi, impian, kehidupan, serta hal-hal kecil yang mereka sukai. Obrolan mereka mengalir dengan alami, tanpa beban atau ekspektasi. Kadang tawa mereka terdengar dalam percakapan itu, dan Arya menyadari bahwa ia menikmati setiap detiknya.
Reina membiarkan hatinya sedikit demi sedikit terbuka. Ia tahu ia memiliki masa lalu, banyak keraguan, tetapi ada hal yang ia rasakan bersama Arya yang membuatnya ingin lebih terbuka.
Arya juga merasakan hal yang sama. Setiap kata dari Reina membuatnya semakin memahami bahwa perasaan ini adalah sesuatu yang bisa ia jelajahi dengan waktu dan kepercayaan.
“Reina,” kata Arya ketika pembicaraan mereka mulai melambat.
“Iya?” Reina menoleh padanya dengan tatapan lembut.
“Aku ingin tahu lebih banyak tentang dirimu. Tanpa paksaan, tanpa terburu-buru. Jika kamu merasa nyaman.”
Reina tersenyum kecil dan mengangguk. “Kita bisa mulai dengan berbicara seperti ini.”
Dan mereka tertawa ringan, membiarkan perasaan mereka mengalir seperti kopi yang masih panas di tangan mereka—perlahan, tanpa tekanan, tanpa terburu-buru.
Hari-hari setelah itu terasa lebih ringan bagi keduanya. Mereka mulai lebih sering bertemu untuk berbicara, berbagi cerita, dan memahami diri masing-masing. Setiap pertemuan selalu diwarnai dengan ketulusan, kejujuran, dan ketertarikan yang perlahan-lahan tumbuh.
Arya menemukan bahwa perasaannya terhadap Reina bukan sekadar ketertarikan semata. Ini lebih dalam—sebuah koneksi yang ia tak bisa jelaskan, namun ia tahu ini benar adanya.
Reina juga mulai membiarkan dirinya lebih terbuka. Meski masa lalu selalu menjadi bayangan yang ia takuti, kehadiran Arya memberinya kekuatan untuk melangkah maju.
Mereka tahu ini adalah perjalanan yang masih panjang. Namun, langkah kecil yang mereka pilih—berbagi percakapan, senyum, dan kepercayaan—adalah langkah yang tepat.
Mungkin ini adalah awal dari sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang mereka tak tahu akan berakhir seperti apa.
Namun, untuk saat ini, mereka menikmati perjalanan ini—dengan langkah kecil yang membangun perasaan mereka, tanpa perlu memaksakan jawaban pada segalanya.
Dan perjalanan ini baru saja dimulai...
Setelah percakapan mereka semalam, Arya dan Reina semakin sering bertemu tanpa beban. Pertemuan itu seakan membentuk rutinitas yang mereka nikmati—berbincang tentang banyak hal tanpa perlu berpura-pura, tanpa perlu menutupi ketertarikan yang mulai mereka pahami. Namun, keduanya sadar bahwa ini bukan perjalanan yang mudah.
Setiap pertemuan membuka ruang untuk memahami diri masing-masing lebih dalam, tetapi perasaan yang mereka miliki masih berada di tepi teka-teki yang belum mereka selesaikan.
Arya duduk di beranda rumahnya sambil menikmati kopi hangat dan angin pagi yang berhembus lembut. Pagi itu cukup cerah, dan pikirannya berputar tentang apa yang ia rasakan akhir-akhir ini. Kehadiran Reina mengisi banyak ruang di kepalanya, seperti alur yang tak habis-habisnya ia coba pahami.
Arya meraih ponsel dan memeriksa pesan yang ia simpan dari Reina semalam. Pesan itu mengingatkan kembali pada percakapan mereka.
Reina: Kau tahu, kadang aku takut untuk memulai sesuatu yang baru.
Arya menghela napas. Baginya, memahami perasaan seseorang yang sedang bergumul dengan ketakutannya adalah hal yang bukan mudah. Tetapi ia tahu satu hal: ia harus menjadi pendukung bagi Reina, sama seperti Reina memberinya ruang untuk memahami dirinya.
Arya membalas pesan dengan singkat namun tulus:
Arya: Aku akan selalu ada jika kamu membutuhkanku.
Ia menekan tombol kirim dan menatap secangkir kopinya yang mulai mendingin.
Reina duduk di salah satu bangku taman yang sama seperti tempat ia pertama kali bertemu dengan Arya. Udara sejuk dan warna hijau daun yang bergoyang lembut memberinya ketenangan. Namun, hatinya tetap bergejolak.
Ada keraguan yang selalu datang setiap kali ia berpikir tentang perasaannya. Apakah ini benar? Apakah aku harus membiarkan diriku semakin dalam?
Reina mengeluarkan ponsel dari tasnya dan membaca kembali pesan dari Arya semalam. Aku akan selalu ada jika kamu membutuhkanku.
Kalimat itu sederhana, tetapi memiliki kekuatan yang membuat hati Reina berdebar. Keberadaan Arya, dukungan yang ia berikan, dan ketulusannya membuat Reina merasa bahwa mungkin ia bisa memulai perjalanan ini tanpa merasa sendiri.
Ia menarik napas dan menatap ke depan, menatap anak-anak yang berlarian dan pasangan yang duduk di bangku taman yang sama. Perlahan-lahan, ia membiarkan perasaannya terbuka sedikit demi sedikit.
Malam itu, mereka bertemu lagi. Kafe kecil yang sama, dengan lampu kuning lembut yang menyoroti setiap sudut. Keduanya duduk berhadapan seperti biasa. Reina menatap kopi di tangannya, sementara Arya menatapnya dengan sabar.
Reina membuka percakapan dengan suara yang pelan, “Aku ingin jujur padamu tentang sesuatu.”
Arya menatapnya serius. “Tentang apa?”
Reina menghela napas dalam-dalam, lalu berkata, “Kadang aku takut jika aku terlalu terbuka. Ada masa lalu yang selalu aku bawa, dan aku takut jika masa lalu itu akan merusak segalanya.”
Arya mendekatkan dirinya dengan lembut. “Kita bisa membicarakannya jika kamu siap. Tanpa paksaan, tanpa harus terburu-buru.”
Reina memandangnya lama. Senyum kecil muncul di wajahnya. “Kau selalu sabar,” ujarnya. “Itu yang aku sukai darimu.”
Arya tersenyum balik. “Kau tidak sendirian, Reina. Apapun yang terjadi, aku akan selalu mendengarkan dan ada untukmu.”
Reina menunduk, lalu mengangguk. Perasaannya seperti mulai mekar perlahan—rindu yang ia simpan dalam diam mulai menemukan tempatnya.
Percakapan mereka malam itu membuka pintu bagi mereka untuk mulai membangun kepercayaan. Mereka belajar bahwa memahami diri sendiri adalah proses yang memerlukan waktu, tetapi mereka juga memahami bahwa berbagi adalah langkah pertama yang penting.
Reina mulai membuka diri sedikit demi sedikit, mengizinkan dirinya mendengarkan suara hatinya tanpa harus menutupi semuanya. Arya terus menjadi pendukungnya, memberikan ruang dan ketenangan tanpa memaksa.
Perjalanan mereka bukan hanya tentang memecahkan teka-teki perasaan atau memahami satu sama lain—ini tentang membangun kepercayaan, menanamkan pengertian, dan membiarkan hati mereka belajar memahami tanpa perlu terburu-buru.
Dan dengan setiap pertemuan, mereka tahu bahwa ini adalah langkah kecil menuju sesuatu yang belum mereka pahami sepenuhnya, tetapi cukup berarti untuk mereka jalani.