Tak terima lantaran posisi sebagai pemeran utama dalam project terbarunya diganti sesuka hati, Haura nekat membalas dendam dengan menuangkan obat pencahar ke dalam minuman Ervano Lakeswara - sutradara yang merupakan dalang dibaliknya.
Dia berpikir, dengan cara itu dendamnya akan terbalaskan secara instan. Siapa sangka, tindakan konyolnya justru berakhir fatal. Sesuatu yang dia masukkan ke dalam minuman tersebut bukanlah obat pencahar, melainkan obat perang-sang.
Alih-alih merasa puas karena dendamnya terbalaskan, Haura justru berakhir jatuh di atas ranjang bersama Ervano hingga membuatnya terperosok dalam jurang penyesalan. Bukan hanya karena Ervano menyebalkan, tapi statusnya yang merupakan suami orang membuat Haura merasa lebih baik menghilang.
****
"Kamu yang menyalakan api, bukankah tanggung jawabmu untuk memadamkannya, Haura?" - Ervano Lakeswara.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 20 - Di Ujung Penantian
Tanpa menjawab, Ervano berlalu masuk lebih dulu. Diikuti dengan Haura yang terus meminta penjelasan atas tindakannya.
"Pak, jawab dulu apa maksud ucapan Anda yang terakhir?" tanya Haura tanpa lelah terus mengekor di balik punggung pria itu.
Sudah berkali-kali dengan pertanyaan yang sama dan Ervano masih diam, seakan menganggap Haura batu kali.
"Pak ...."
"Pak Vano."
"Bapak."
"Ck, Ervano Lakeswara!!"
Tiga kali dipanggil dengan cara baik-baik dan masih gagal, Haura kehilangan kesabaran hingga nekat memanggil Ervano tanpa embel-embel pak atau semacamnya.
Hal itu berhasil, Ervano tergerak untuk menjawab, tapi bukan menjelaskan segera.
"Apa, Haura?" sahutnya tetap tenang dan semakin membuat Haura naik darah.
"Jangan pura-pura bodoh, jawab saja pertanyaanku apa susahnya?"
"Pertanyaan yang mana? Hem?" Ervano mendekat dan balik bertanya seakan memang tidak mengerti arah pembicaraan Haura.
Terpaksa, mau tidak mau Haura harus mengulang kembali pertanyaannya. Meski dengan emosi yang sudah tak tertahankan, Haura masih berusaha bersikap sopan.
"Oh, itu? Kurang jelaskah?" Kembali Ervano melayangkan pertanyaan menyebalkan semacam itu.
Tidak hanya pertanyaan, tapi ekspresinya juga demikian. Alih-alih menjawab, pria itu justru menghela napas panjang seolah baru saja melepaskan beban berat di pundaknya.
"Sepertinya kita tidak perlu terlalu formal karena kita bukan di lingkungan pekerjaan ... lagi pula_"
"Terserah, langsung jawab saja jangan kebanyakan kata pengantarnya," celetuk Haura memotong pembicaraan Ervano hingga pria itu terkekeh pelan.
Galak sekali, begitu pikirnya sembari menggelengkan kepala. "Baiklah, tentang pertanyaanmu itu kurasa tidak perlu dijelaskan harusnya sudah tahu."
"Apa susahnya jelaskan? Aku bodoh kebetulan," aku Haura secara terang-terangan lantaran memang tak sabaran.
"Ehm, begini ... sesuai dengan kesepakatan kita tadi malam, jika kamu hamil maka di antara kita harus ada pernikahan, ingat?"
"I-iya, terus?"
"Yang namanya pernikahan tentu saja perlu dihadiri orangtua, terutama papa dan mamamu ... iya, 'kan?"
Gleg
Haura meneguk salivanya pahit, tidak dia duga bahwa Ervano sudah melangkah begitu jauh.
"Kamu memberitahukan ini pada orang tuaku?" tanya Haura dengan suara yang kini terdengar lesu, takut sekali andai benar karena bisa dipastikan baik papa dan mamanya akan kecewa setengah mati.
"Bukan."
"Lalu?"
"Abimanyu," jawabnya seketika membuat tubuh Haura lemas tak bertenaga.
Memang benar-benar pengkhianat, Haura sungguh murka sampai ingin menghancurkan kepalanya. Jiwa pemberontaknya masih berpikir positif dan yakin bahwa Abimanyu tidak mungkin segila itu.
"Tidak mungkin, pasti semua ini karanganmu, 'kan?"
"Untuk apa aku mengarang cerita? Aku hanya menyampaikan pengakuannya padaku kemarin, itu saja."
"Abimanyu bilang apa memangnya sama Papa?" tanya Haura ingin tahu lebih jelasnya, kebetulan memang penasaran.
"Kurang tahu jelasnya bagaimana, tapi yang pasti Abimanyu mengatakan sebelum menemuiku dia sudah berdiskusi bersama papamu lebih dulu," ungkap Ervano kian membuat Haura lemas. "Dan itu artinya kedua orang tuamu tahu lebih dulu tentang kehamilanmu jauh sebelum aku," tambahnya kemudian.
Tamat, pupus sudah harapan Haura untuk pergi. Sia-sia dia melarikan diri ke Bali karena ternyata kedua orangtuanya juga sudah tahu. Kemungkinan, keluarganya yang lain juga begitu.
Matanya sontak mengembun dan terduduk lesu. Isak tangis tak mampu lagi dia tahan, Haura ingin meraung agar puas. Akan tetapi, sadar bahwa tangisan takkan menyelesaikan masalah, Haura segera menyeka kasar air matanya.
"Soal kesepakatan kita tadi malam, apa bisa ditarik ulang?" tanya Haura menatap Ervano penuh harap.
Setelah sebelumnya dia terlihat tegar bahkan berani membentak, sekarang mendadak cuit dan berharap belas kasihan Ervano.
"Ditarik ulang?"
"Hem, kan aku juga belum setuju semalam."
"Terlambat, kamu telah menyetujui kesepakatan itu tanpa sadar."
Haura mengusap kasar wajahnya. Mimpi apa dia dihadapkan dengan Ervano yang sama sekali tidak tertebak dan egois juga jalan pikirannya.
"Tapi_"
"Tapi apa?"
"Ck, aku tidak mau jadi istrimu, titik!!" Dengan sisa-sisa keberaniannya Haura masih berusaha mempertahankan haknya untuk menolak.
"Heum? Kenapa jadi plin-plan begitu?"
"Persetan mau dianggap plin-plan atau semacamnya, tapi yang pasti sebagai wanita aku tidak mau menjadi yang kedua!! Titik!!"
"Terus maunya gimana? Jadi satu-satunya?" Ervano balik bertanya dan dengan penuh keberanian memberikan tawaran yang ternyata tetap tidak melunakkan hati Haura.
"Tetap tidak mau, jadi yang kedua, ketiga, keempat maupun satu-satunya bagimu pun tidak!!" cerocos Haura mempertegas seberapa keberatannya dia saat ini.
Dadanya sampai naik turun, berharap Ervano akan paham dan mengalah. Namun, alih-alih mengalah, keyakinan Ervano justru terlihat semakin bulat saja.
"Jangan buang tenagamu ... ada baiknya masuk ke kamarmu, masih ada waktu untuk istirahat," tutur Ervano mempersilakan Haura untuk masuk ke kamar yang telah disediakan untuknya.
"Aku tidak mau," jawabnya dengan mental pembangkang yang masih begitu menyala hingga detik ini.
"Kenapa? Mau langsung tidur sekamar denganku?"
Pertanyaan Ervano seketika membuat Haura terperanjat. Segera dia berdiri dan berlari keluar begitu sadar bahwa kini dia memang tengah berada di tempat peristirahatan Ervano.
Secepat kilat Haura berlari pergi meninggalkan Ervano yang kini tersenyum penuh kelegaan.
Brugh
Dia menghempaskan tubuh ke atas tempat tidur. Setelah cukup lama mengatur strategi dan mencari peluang, hari ini Ervano baru bisa menghela napas lega.
"Finally ... aku mendapatkannya meski harus memaksa, Ma."
.
.
Jika di kamarnya Ervano tengah menghela napas lega atas pencapaiannya, berbanding terbalik dengan penghuni kamar sebelah.
Alih-alih istirahat sebagaimana yang Ervano katakan, Haura masih tetap berpikir cara melarikan diri. Ya, masih seputar itu-itu saja, Haura belum menyerah.
Meski tahu papanya akan semakin marah, tapi ketakutan tentang menjadi istri kedua Ervano lebih besar rasanya.
"Duh, kenapa juga pakai dijagain segala ... mana sepi tempat ini, mau minta tolong ke siapa? Abimanyu saja sudah tidak dapat dipercaya," gumam Haura dalam hati sembari menatap beberapa pria di luar yang kemungkinan diperintahkan untuk mengawasi dirinya.
Tidak hanya diawasi dari luar, tapi satu wanita juga diperintahkan memantaunya di dalam. Sementara yang satu bertanggung jawab memenuhi kebutuhannya seperti makan, minum dan semacamnya.
Diperlakukan bak ratu seperti ini sebenarnya memang menyenangkan. Namun, Haura sama sekali tidak senang mengingat orang yang ada di balik ini adalah Ervano.
Tak terasa, penantian Haura kini berujung hingga senja menjelang. Tidak ada jalan keluar untuk pergi bahkan setelah dirinya mandi dan diminta berpakaian rapi. Sampai akhirnya, mata Haura dibuat berbinar dengan kedatangan seseorang yang dia saksikan di balik jendela.
"Papa? Mama?" Jantung Haura sontak berdegup tak karu-karuan.
Dia hampir berteriak saking bahagianya. Akan tetapi kebahagiaan itu hanya sesaat dan berganti cemas tatkala Haura ingat apa tujuan kedua orangtuanya datang ke sini.
"Ce-laka, tamat sudah riwayatmu, Ra."
.
.
- To Be Continued -