Bukan salah Anggun jika terlahir sebagai putri kedua di sebuah keluarga sederhana. Berbagai lika-liku kehidupan, harus gadis SMA itu hadapi dengan mandiri, tatkala tanpa sengaja ia harus berada di situasi dimana kakaknya adalah harta terbesar bagi keluarga, dan adik kembar yang harus disayanginya juga.
"Hari ini kamu minum susunya sedikit aja, ya. Kasihan Kakakmu lagi ujian, sedang Adikmu harus banyak minum susu," kata sang Ibu sambil menyodorkan gelas paling kecil pada Anggun.
"Iya, Ibu, gak apa-apa."
Ketidakadilan yang diterima Anggun tak hanya sampai situ, ia juga harus selalu mengalah dalam segala hal, entah mengalah untuk kakak ataupun kedua adik kembarnya.
Menjadi anak tengah dan harus selalu mengalah, membuat Anggun menjadi anak yang serba mandiri dan tangguh.
Mampukah Anggun bertahan dengan semua ketidakadilan karena keadaan dan situasi dalam keluarganya?
Adakah nasib baik yang akan mendatangi dan mengijinkan ia bahagia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YoshuaSatrio, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
TUJUH
Dokter Wirya menghela napas dalam setelah selesai memeriksa Anggun, "Semua kondisi vitalnya aman, berikan cairan vitamin c, panggilkan orang tuanya," ucapnya.
Tak lama pak Hendra dan Bu Maryani pun masuk ke ruangan dokter wirya setelah seorang perawat memanggil mereka, dokter Wirya kembali menghela napas.
"Pak, bisa tolong beritahukan apa yang terjadi pada putri anda sebelumnya?"
"Yang saya tahu, putri saya habis jatuh dari sepeda motor karena boncengan dengan kawannya, Dok," sahut bu Maryani.
"Hmmm ... saya menemukan luka lebam yang sedikit aneh, bolehkah kami melakukan visum pada putri anda?"
"Jika menurut dokter hal-hal itu diperlukan, kami percaya dengan semua tindakan kebijakan anda, Dok." Pak Hendra menjawab dengan bijak dan pasrah.
Tanpa banyak lagi menunda, dokter Wirya melakukan semua prosedur berdasarkan praduga yang ia temukan.
Anggun pun akhirnya perlahan membuka mata, "Aku dimana, kenapa rasanya lemas sekali." pikirnya. "Ayah ... ibu ... kalian dimana? Bau apa ini?"
Anggun merasakan tubuhnya begitu lemas dan sakit di beberapa tempat. Ia menelisik ruangan itu mulai dari langit-langit, dan mengingat aroma khas obat pembersih lantai itu berasal.
Bu Maryani dan pak Hendra yang baru saja dari ruangan dokter, segera menghampiri Anggun yang terlihat masih linglung dengan keadaannya.
"Nggun, kamu sudah siuman?" sapa Bu Maryani seraya mengelus perlahan kepala anaknya.
"Apa yang kamu rasakan, Nak?" imbuh pak Hendra khawatir.
Anggun menggeleng lembut, tatapan matanya masih terlihat linglung, namun bayangan senyum keji pak Tono tiba-tiba kembali melintas di pikirannya, sontak napasnya kembali sesak, detak jantung kembali terpacu.
Anggun memiringkan badan membelakangi kedua orang tuanya, meringkuk dengan kedua tangan menutupi telinga, air mata pun kembali bebas menjelajahi wajah gadis belia itu.
"Ada apa, Nak ... Kalau kamu tidak cerita, bagaimana ayah dan ibu akan membantumu?" bujuk Bu Maryani mengelus perlahan lengan Anggun.
"Apa ada yang berbuat jahat padamu? Ceritakan pada Ayah, pasti akan ayah balas perbuatannya, Nak."
Anggun tengah kalut dengan pikirannya sendiri, ia tak bisa mendengar baik ucapan kedua orang tuanya. Di satu sisi ia benar-benar merasa takut dan kotor. Ia merasa kecewa dengan nasib yang membuat tubuhnya telah disentuh-sentuh bebas oleh pria jahat, ia merasakan tekanan itu begitu menyiksa dan menyesakkan.
Namun di satu hal lain, ia tak tega jika kedua orang tuanya harus tahu kenyataan pahit itu, ada rasa malu dan takut yang tak bisa ia ungkapkan. Berbagai pertanyaan mulai hadir mengacak-acak seluruh kesadaran gadis itu.
"Jika aku menceritakan kejahatan pak Tono, pasti ayah dan ibuku sedih dan marah, lalu apa yang akan terjadi jika orang tuaku melaporkan kejahatannya? tidak ada bukti, tidak ada saksi. Aku malu jika semua orang tahu aku tidak lagi suci, tubuhku telah kotor oleh tangan pria jahat itu! Terkutuklah dia! Juga anaknya!" batin Anggun yang begitu sesak dan bingung menggerogoti kekuatannya sendiri.
"Bagaimana jika Deni juga membela ayahnya, dia bahkan melemparkan fitnahnya yang lain untukku. Semua orang akan mencemoohku, menghujatku dan menyalahkanku. Lalu bagaimana ayah dan ibu akan bertahan dengan semua itu? Apa yang akan dikatakan orang-orang terhadap keluargaku?"
"Aku harus bagaimana ya Tuhan! Kenapa harus aku yang menerima semua ini? Aku ... seharusnya aku mati saja ... Aku tidak sanggup menahan semua ini ...."
Begitu berisik kepala Anggun, hingga ia hanya bisa terus meringkuk tanpa bisa mendengar kedua orang tuanya yang terus membujuknya untuk berbicara.
"Tidak! Aku tidak boleh mati! Jika aku mati orang itu tidak akan pernah mendapatkan balasannya! Aku harus tetap hidup dan baik-baik saja. Tuhan!!! Aku bersumpah akan membalas perbuatan orang itu!" sumpah serapah Anggun yang akhirnya membuatnya perlahan kembali pada kesadarannya.
Anggun tiba-tiba duduk, mengusap peluh dan air mata. Pak Hendra dan Bu Maryani menatap heran pada sang putri, namun segera tersadar dan kembali menghampirinya.
"Nggun ...." hanya itu ucapan kelu Bu Maryani, seakan ada rasa takut anaknya akan merasa tak nyaman dengan omelan atau pertanyaan banyak lainnya.
"Ayah, ibu, aku sudah pulih, ayo kita pulang," ucap Anggun yang sangat tiba-tiba.
Pak Hendra dan Bu Maryani saling pandang sejenak, "Tunggu dokter dulu, tunggu itu cairan infusmu juga habis," ucap pak Hendro mencegah Anggun yang akan turun dari brangkar.
"Kenapa Yah?" Anggun menatap tajam pada sang ayah.
"Bukan apa-apa Nduk. Kamu yakin nggak ada yang mau diceritakan pada ayah dan ibu?" sambung Bu Maryani.
"Enggak, memangnya apa?"
Perubahan ekspresi Anggun juga perilakunya yang tadi terlihat sangat sedih dan tertekan, sekarang tampak biasa-biasa saja, membuat pak Hendra dan Bu Yani semakin yakin ada sesuatu hal yang menimpa putri mereka, tepat seperti yang disampaikan dokter Wirya sebelumnya.
......🌾
"Saya tidak mau berpikir buruk lebih dulu, Pak, Bu ... Namun bekas luka di beberapa tempat di tubuh, lengan kaki dan lengan tangan putri anda bukan karena jatuh. Sekilas saya menemukan bentuk seperti cekalan jari-jari manusia."
"Hah?! Apa maksud dokter dengan cekalan jari manusia?" tuntut pak Hendra yang tak paham dengan maksud dokter Wirya.
"Jadi di lengan tangan kanan, ada semacam bekas pola jari manusia yang mencengkeramnya dengan sangat kuat. Melihat bekas lebam itu, dipastikan pelaku adalah orang dewasa dengan kekuatan amarah atau napsu diluar batas, kasihan sekali putri kalian, pasti itu sangat menyakitkan baik secara fisik maupun psikisnya," terang dokter Wirya satu demi satu agar orang tua Anggun bis lebih mudah mengerti.
........🌾
Mengingat kembali penjelasan dari dokter Wirya, membuat batin dua orang tua yang memandangi wajah putrinya itu semakin kalut.
Bu Maryani tak bisa lagi menahan air matanya. Ia terisak memeluk Anggun yang duduk termangu di pinggir brangkar. "Nggun, Ibu mohon ceritakan siapa yang menyakitimu sampai kamu jadi seperti ini." Bu Maryani sesenggukan merasa hancur akan nasib sang putri.
Pak Hendra pun bergabung dalam pelukan, ia kecup kepala sang putri, "Kita hidup di negara hukum, Nggun, jangan takut apapun, kita pastikan orang yang berani berbuat jahat padamu, akan dihukum setimpal oleh pihak yang berwajib."
Percaya atau tidak, meski Anggun masih tertutup rapat mulutnya, namun kegetiran dan amarah serta kekecewaan besar telah membuat kedua orang tua itu berpikir keras mencari semua kemungkinan siapa yang akan mereka mintai bantuan seandainya mereka akan melaporkan penjahat yang tega menyakiti putri mereka.
"Ayah dan ibu kenapa?" begitu jelas Anggun masih tak ingin membuka mulutnya untuk menceritakan betapa ia sengsara.
Kedua orang tua itu pun tak memaksa, mereka berusaha memberi waktu bagi putrinya untuk pulih dari trauma, seraya menunggu bagaimana hasil visum yang tadi dilakukan oleh dokter Wirya.
"Aku mau jalan-jalan keluar, Yah. Bolehkan?" pinta Anggun beberapa saat kemudian.
Tentu saja hal itu direstui oleh kedua orang tua tekun itu. Bu Maryani memapah langkah sang putri, sedangkan pak Hendra memegangi kantong infus putrinya .
Ketiganya berjalan-jalan santai di lobi rumah sakit. Namun hal tak terduga, Anggun tiba-tiba kembali menghentikan langkahnya, menatap tajam ke depan. Hal mengejutkan kembali terjadi, Anggun tiba-tiba kembali berubah menjadi seseorang yang tengah ketakutan.
Anggun merosot duduk dilantai, satu tangan memukul-mukul kepalanya, satunya lagi meremas bajunya, dan menangis pilu dengan tubuh yang gemetar hebat. Tangis Anggun kali ini terdengar begitu pilu dan menyakitkan.
"Dia harus mati! Hiks ... hiks ... Kenapa dia ada dimana-mana ... Aaaargk!!!" teriak anggun sekencangnya, sesak itu hanya dia yang bisa melepaskannya.
...****************...
To be continue....
Ini Anisa sama temennya kan 😮💨
Apa ig nya 🤭
lebih cocok jadi anaknya Tono dia 😩