Dijual oleh ayah tirinya pada seorang muncikari, Lilyan Lutner dibeli oleh seorang taipan. Xander Sebastian, mencari perawan yang bisa dinikahinya dengan cepat. Bukan tanpa alasan, Xander meminta Lily untuk menjadi istrinya agar ia bisa lepas dari tuntutan sang kakek. Pernikahan yang dijalani Lily kian rumit karena perlakuan dingin Xander kepadanya. Apa pun yang Lily lakukan, menjadi serba salah di mata sang suami. Xander seakan memiliki obsesi dan dendam pribadi pada hidupnya. Bagaimanakah nasib Lily yang harus menjalani pernikahan dengan suami dinginnya? Haruskah ia bertahan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lilyxy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12
"T-tentu saja tidak, Tuan. Bagaimana bisa Anda berpikiran seperti itu? Aku sama sekali tidak mengenalnya. Aku hanya kasihan padanya. Aku... aku hanya penasaran kenapa Tuan harus bersikap seperti itu?! Setidaknya bersikaplah baik sedikit pada orang lain! Bukankah sebagai sesama manusia kita harus saling menghargai! Hanya itu yang ingin aku sampaikan,Tuan! Jangan malah menuduhku yang tidak-tidak!"
Namun kalimat Lily itu justru memantik amarah yang lebih besar. Xander kesal karena gadis di depannya itu dengan lancang malah mengajarinya.
"Jangan mendikte aku gadis kecil! Aku tahu siapa yang pantas dihargai, dan siapa yang tidak pantas dihargai, termasuk dirimu!"
"A-apa maksud Tuan?" tanya Lily terbata akibat semburat rasa perih di hatinya.
Xander tersenyum miring. Kalau ada orang yang pantas aku hargai, maka aku akan menghargainya dengan kehormatan. Berbeda dengan dirimu, yang mana kehormatanmu bisa dihargai dengan uang. Tahukah kamu? Manusia yang bisa dibeli kehormatannya itu termasuk golongan manusia apa?" tanya Xander yang tidak mendapat jawaban.
"Ya, golongan manusia murahan. Mereka akan lebih memilih jalan pintas dan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan apapun yang mereka inginkan. Bukankah dirimu termasuk ke dalam golongan manusia seperti itu?" tanya Xander yang jelas menyindir.
Pria itu menatap lekat kedua mata Lily yang sudah memerah. Dia tidak peduli lagi walaupun wanita itu akan berderai air mata di hadapannya. Pikirannya sudah tidak bisa diubah saat itu.
"Murahan!" ucap pria itu tajam. "Jadi, jangan pernah coba-coba mengajariku tentang apapun."
Setelahnya, Xander melepaskan cengkraman tangannya pada lengan gadis itu dan masuk ke dalam mobil. Sedangkan, Lily tertampar oleh kata-kata pedas dari mulut Xander.
Dia merasa sakit hati dengan ucapan pria yang sebetulnya tidak mengetahui apapun tentang dirinya itu.Namun tetap saja, ucapan Xander begitu menusuk di dada Lily.
Hingga tanpa sadar, gadis itu meneteskan air matanya. Lily sangat kecewa karena baginya pria itu bukanlah manusia. Bahkan binatang pun lebih punya hati daripada sosok suami barunya itu.
"Cepat masuk!" teriak Xander dari dalam mobil melalui kaca yang terbuka.
Lily yang berdiri memunggungi mobil tentu enggan berbalik. Dia masih terpaku di tempatnya dengan air mata berderai. Sulit rasanya menerima ucapan menyakitkan hati dari pria yang kini adalah suaminya itu.
"Apa aku perlu menyeret mu?" tanya pria itu sekali lagi.
Lily tetap enggan bergerak. Sudah tidak peduli lagi dia pada pernikahan palsu itu. Dia malah bergerak menjauh dari mobil itu. Namun Xander yang sudah kehilangan kesabaran, seketika turun dari mobilnya.
Dia segera mengejar langkah Lily dan kini berdiri tepat di depan gadis itu. Kemudian memberi perintah dengan kata yang singkat, padas, dan jelas.
"Masuk!"
"Minggir," ucap Lily sambil menyeka air matanya sembarangan. "Apa?!" tanya Xander tidak suka.
"Menyingkir lah! Apa kamu tuli?!" ucap Lily mulai berteriak.
Dia sudah tidak bisa menahan rasa amarah di dalam dirinya. Pria itu jelas sudah mempermalukannya dengan menginjak harga dirinya. Tentu saja Lily tidak bisa menerimanya begitu saja.
"Berani-beraninya kamu-"
"Cukup!
Cukup Tuan Sebastian yang terhormat. Aku bisa pergi sendiri. Aku tidak butuh tumpangan mu. Aku harus pergi ke kantor untuk menemui atasanku. Apa kamu lupa! Kita tidak akan saling mengatur dalam hal lain. Jadi, jangan seenaknya memerintah ku!"
Xander yang geram hanya bisa mengepalkan kedua tangannya di sisi tubuh. Masalahnya gadis itu benar. Perjanjian mereka hanya tentang pernikahan, kehamilan, dan anak.
Setelahnya, Lily langsung berjalan melewati Xander yang hanya terdiam. Pria itu sendiri bingung kenapa harus kehilangan kendali seperti tadi.
Dia tahu kalau Lily pasti akan terluka dengan kata-katanya. Xander diam-diam merasa bersalah juga sudah berkata demikian. Walau sejurus kemudian, dia membenarkan dirinya sendiri.
Lily faktanya adalah gadis yang menjual kehormatannya hanya demi uang. Dia dan ayahnya telah menghalalkan segala cara untuk mendapatkan kekayaan secara instan apapun alasannya.
Lama ber kemelut antara hati dan otaknya, Xander berbalik dan melihat Lily sudah menaiki taksi. Begitu juga Xander yang memilih pergi dengan mobilnya sendiri menuju perusahaannya.
**
'Ibu,' batin Lily. Gadis itu menangis di dalam taksi yang sedang ditumpangi. Hatinya sudah hancur lebur dengan segala penghinaan yang dia terima dari seorang pria yang kini sudah bergelar suaminya.
'Aku harus bagaimana, bu? Semua jalanku buntu. Aku benar-benar terpaksa melakukan ini, Bu. Apakah aku salah ingin menyelamatkan ibu? Kenapa pria itu berbicara seperti itu, Bu?'
'Dia benar-benar merendahkan ku. Aku ingin pergi darinya sekarang juga. Aku sangat menyesal telah menyetujui pernikahan ini.
Tapi, kalau aku tidak menerimanya, dari mana aku akan mendapatkan uang untuk melunasi semua hutang-hutang kita dan membayar biaya operasi ibu?'
Lily masih merasakan amarah yang meluap. Pikiran untuk menampar keras wajah Xander bahkan masih terlintas dalam benaknya. Beruntung saja pria itu memilih diam.
Lily yang masih kesal sekaligus sedih, hanya bisa melampiaskan kemarahan nya dengan menangis tergugu. Tidak peduli lagi meskipun sang supir taksi terus memeriksanya sedari tadi.
"Apa anda baik-baik saja, Nona?" tanya sang supir taksi yang menaruh rasa empati pada Lily.
Mendapat pertanyaan sederhana itu, tangis Lily semakin meledak. Setidaknya, dia merasa diperhatikan oleh seseorang. Di tengah kemelut orang-orang yang berusaha menghancurkannya.Lily melirik sekilas ke arah sang pria tua yang membuat Lily ingat pada sosok ayah kandungnya. Ditambah lagi dengan nama lembut dan khawatir yang menguar dari suara sang supir.
Sang supir rupanya tidak kehabisan ide. Begitu mereka melewati sebuah lokasi yang cukup lengang di tepian sungai, pria itu menepikan mobilnya.
"Keluarlah, Nona. Berteriak lah ke arah sungai itu. Berteriak semampu mu sampai hatimu merasa lega. Aku yakin ini akan bekerja. Tenang saja, tidak ada siapa-siapa. Aku juga berjanji bahwa ini akan menjadi rahasia antara kita berdua. Aku tidak akan membocorkannya pada siapapun. Aku akan menunggumu di sini," ucap pria paruh baya itu.
"T-terima kasih, Pak," ucap Lily sekilas.
Gadis itu membuka pintu tanpa ragu. Dia berjalan cepat menuju ke tepian sungai. Lily berhenti di satu titik, merasakan hembusan angin sepoi dan mendengar suara daun ber gemerisik karena angin.
Sesaat, Lily menatap jauh ke depan. Berusaha mengosongkan pikirannya sendiri. Menarik nafas panjang lewat hidung dan membuangnya melalui mulut.
Namun, tangisannya kembali meledak lagi saat bayangan ibunya yang sedang terbaring tidak berdaya di rumah sakit tersirat jelas di dalam pikirannya
Aaaaarrrrrrrggggggghhhhhh!!!" teriak gadis itu sekencang yang ia bisa.
Dia berusaha menumpahkan seluruh amarah yang mengganjal setiap nadi. Dia hanya ingin lepas dari pria jahat bernama Sebastian itu, tapi dia tidak tahu bagaimana caranya.
Semakin lama memikirkannya, maka hanya kebuntuan yang dia dapatkan.Lily tahu masalah baru akan muncul kalau dia nekat pergi dari hidup pria mengerikan itu.
"Ibu...! Aku harus bagaimana, Bu! Aku benar-benar ingin Ibu sembuh. Aku benar-benar rela melakukan apapun demi menyelamatkan Ibu. Tapi pria itu benar-benar menyakitiku, Bu! Pria itu benar-benar menginjak harga diriku!"
Lily bicara dengan sesenggukan.
"Kalau saja dia bisa menahan semua ucapannya dan tidak menghinaku, aku tidak akan berpikir dua kali untuk melakukan semua ini demi Ibu. Sungguh, yang ku inginkan hanyalah kesembuhan Ibu, tidak ada yang lain. Tolong aku, Bu. Aku harus bagaimana?!"
**