"Menikahlah denganku, maka akan kutanggung semua kebutuhanmu!"
Karina Anastasya harus terjebak dengan keputusan pengacara keluarganya, gadis sebatang kara itu adalah pewaris tunggal aset keluarga yang sudah diamanatkan untuknya.
Karina harus menikah terlebih dahulu sebagai syarat agar semua warisannya jatuh kepadanya. Hingga pada suatu malam ia bertemu dengan Raditya Pandu, seorang Bartender sebuah club yang akan mengubah hidupnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fafafe 3, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Titik Terang
Seiring berjalannya waktu, Pandu dan Karin mulai menemukan titik terang dalam hidup mereka. Keseimbangan yang mereka perjuangkan mulai membuahkan hasil. Karin, berkat terapi dan dukungan Pandu, semakin mampu mengelola OCD-nya dengan lebih baik. Dia merasa lebih kuat dan lebih percaya diri, berkat pencapaian kecil yang selalu dia syukuri setiap harinya.
Di sisi lain, Pandu merasakan kebahagiaan yang sederhana dalam hidupnya. Hari-hari yang dihabiskan bersama Karin membuatnya menyadari betapa pentingnya waktu yang berkualitas dengan orang yang dicintainya. Di pagi hari yang cerah itu, mereka duduk bersama di meja makan, menikmati sarapan sambil tertawa kecil.
"Kau tahu, aku tidak pernah menyangka hidup bisa seindah ini," kata Pandu sambil mencicipi serealnya.
Karin tersenyum, menatap Pandu dengan hangat. "Semua ini berkat kita berdua. Kita sudah melewati banyak hal bersama."
Meskipun hidup mereka semakin seimbang, Pandu masih merasakan sedikit tekanan dari ekspektasi keluarganya. Dia menyadari bahwa meskipun ia telah berbicara dengan rekan-rekan bisnisnya, ada satu hal yang belum dia hadapi, ekspektasi dari keluarganya sendiri.
Suatu sore, saat sedang bersantai di rumah, Pandu menerima telepon dari ayahnya. Suaranya yang tegas langsung mengingatkan Pandu akan tanggung jawab yang selama ini membebani pikirannya.
"Pandu, kita perlu bicara. Ada banyak hal yang harus kita selesaikan di perusahaan, dan aku butuh kau untuk kembali fokus," ujar ayahnya, nada suaranya tidak bisa ditawar-tawar.
Pandu merasa sedikit tertekan, tetapi kali ini dia berusaha untuk tidak membiarkan ekspektasi itu menguasai hidupnya. "Pa, aku mengerti, tetapi aku juga harus menjaga hidupku dan Karin. Ini bukan hanya tentang bisnis."
"Ini tentang keluarga," balas ayahnya, nada sedikit menekan. "Kami semua mengandalkanmu."
Setelah menutup telepon, Pandu menatap Karin yang melihatnya dengan penuh perhatian. "Aku merasa terjebak, Karin. Papa tidak mengerti betapa pentingnya hidupku saat ini."
Karin meraih tangan Pandu. "Kau harus memberitahunya bahwa hidupmu juga berharga. Kau tidak bisa terus-menerus memikul semua beban ini sendirian."
Hari berikutnya, Pandu dan Karin memutuskan untuk memulai babak baru dalam hidup mereka dengan penuh optimisme. Mereka berdua duduk di taman dekat rumah, dikelilingi oleh suara burung berkicau dan aroma bunga yang mekar.
"Karin, aku ingin kita sama-sama melepaskan semua beban dari masa lalu," kata Pandu dengan serius. "Aku ingin kita fokus pada masa depan, bukan pada tekanan yang selalu ada."
Karin mengangguk, matanya bersinar. "Aku setuju. Kita sudah melalui banyak hal, dan sekarang saatnya untuk memulai sesuatu yang baru, yang lebih baik. Aku percaya kita bisa melakukannya bersama."
Mereka berdua berbagi visi untuk masa depan, membangun kehidupan yang lebih bahagia, di mana cinta dan dukungan menjadi pondasi utama. Mereka mengatur impian-impian kecil, seperti berlibur ke tempat yang mereka inginkan atau merencanakan waktu berkualitas bersama, tanpa terganggu oleh tekanan pekerjaan atau keluarga.
"Ini adalah awal baru bagi kita, Pandu," ujar Karin, semangatnya menular. "Kita bisa lebih dari sekadar menjalani hidup, kita bisa merayakannya."
Malam itu, setelah menyaksikan matahari terbenam bersama, Pandu dan Karin berbaring di halaman rumah, menatap langit yang penuh bintang. Mereka tahu bahwa perjalanan mereka masih panjang, dan tantangan mungkin masih menghadang.
Namun, mereka juga yakin bahwa mereka bisa menghadapi apapun yang datang. "Keluarga mungkin menuntut banyak, dan OCD-mu mungkin tidak akan hilang sepenuhnya," kata Pandu lembut, "tapi kita tahu bahwa cinta kita lebih kuat dari segalanya."
Karin menatap Pandu, senyum lebar menghiasi wajahnya. "Dan itu adalah hal terpenting. Selama kita bersama, kita akan selalu menemukan cara untuk saling mendukung."
Dengan semangat baru, mereka berdua memejamkan mata, bersyukur atas setiap langkah kecil yang telah mereka ambil. Titik terang baru ini membawa harapan dan cinta, dan mereka siap untuk menghadapi apapun yang akan datang di masa depan.
Suatu pagi, saat sarapan, Pandu menerima pesan dari ayahnya yang membuat jantungnya berdegup kencang. Pesan tersebut berisi undangan untuk menghadiri pertemuan penting di perusahaan, di mana ia diharapkan untuk memberikan presentasi tentang proyek baru.
"Pandu, ada apa?" tanya Karin, melihat ekspresi wajah suaminya yang mendadak serius.
"Aku baru dapat pesan dari Papa. Dia ingin aku hadir di pertemuan besar minggu depan," jawab Pandu, suaranya sedikit cemas. "Sepertinya ada yang tidak beres di perusahaan."
Pandu merasa terjebak antara tanggung jawab terhadap keluarganya dan keinginan untuk menjaga keseimbangan dalam hidupnya. Dia tahu bahwa ini akan menjadi tekanan tambahan yang bisa memengaruhi kesehatan mentalnya dan membuatnya jauh dari Karin.
"Pandu, kamu tidak harus merasa terpaksa untuk memenuhi harapan mereka," kata Karin, berusaha meyakinkan suaminya. "Kamu telah berjuang keras untuk mencapai keseimbangan ini. Jangan biarkan mereka merusaknya."
"Tapi aku tidak bisa mengecewakan keluarga. Mereka sangat berharap padaku," Pandu menghela napas. "Aku merasa seperti aku berutang budi pada mereka."
Karin menggenggam tangan Pandu, menatapnya dengan penuh perhatian. "Ingat, kita sudah berkomitmen untuk saling mendukung. Jika kamu merasa ini tidak baik untukmu, katakan saja. Keluargamu juga harus memahami batasanmu."
Pandu merenung sejenak, memikirkan perkataan Karin. Namun, rasa kewajibannya terhadap keluarga terus membebani pikirannya.
Hari pertemuan pun tiba, dan Pandu merasa gugup. Di ruang konferensi yang megah, semua mata tertuju padanya. Ia berdiri di depan rekan-rekannya, merasakan tekanan dari harapan yang ada di pundaknya.
"Terima kasih telah hadir, semuanya. Hari ini kita akan membahas proyek baru yang bisa menjadi langkah besar bagi perusahaan kita," mulai Pandu, meskipun suara dan tangannya sedikit bergetar.
Namun, di tengah presentasinya, Pandu merasakan pusing yang mendalam. Bayangan wajah Karin dan percakapan mereka sebelumnya muncul dalam pikirannya. Dia ingat betapa mereka berkomitmen untuk saling mendukung dan tidak membiarkan ekspektasi orang lain menguasai hidup mereka.
"Maaf, saya perlu istirahat sebentar," ucapnya, suaranya pecah. "Saya tidak dapat melanjutkan."
Pandu meninggalkan ruangan dengan cepat, berusaha menenangkan dirinya. Di luar, ia menghirup napas dalam-dalam, menyadari bahwa ia tidak ingin kembali ke situasi yang membuatnya merasa tertekan dan cemas.
Setelah pertemuan, Pandu kembali ke rumah, merasa bingung dan lelah. Karin menunggu dengan cemas, melihat betapa wajah suaminya pucat dan matanya berkaca-kaca.
"Pandu, apa yang terjadi?" tanya Karin, menghampirinya dan menggenggam tangannya.
"Aku… aku tidak bisa melakukan ini. Aku merasa tertekan, dan ini semua salah. Aku tidak ingin kembali ke tempat di mana aku merasa terjebak," jawab Pandu, suaranya bergetar.
Karin memeluknya erat, memberikan kenyamanan yang sangat dibutuhkan. "Kamu tidak sendiri. Kita bisa menghadapi ini bersama. Jika itu artinya tidak mengambil tawaran dari mereka, maka kita akan menemui jalan lain."
Pandu merasa lega mendengar dukungan Karin. Dia tahu bahwa apapun yang terjadi, mereka akan menghadapinya bersama.
Malam itu, saat mereka berdua berbaring di tempat tidur, Pandu merenung. "Apa yang terjadi selanjutnya? Bisakah kita benar-benar menemukan cara untuk menjalani hidup tanpa tekanan dari luar?"
Karin tersenyum, "Kita akan menemukan jalannya, Pandu. Selama kita bersama, tidak ada yang tidak mungkin."
Mereka berdua memejamkan mata, merasakan kekuatan cinta yang menyatukan mereka. Namun, saat tidur, pandangan Pandu tiba-tiba teralihkan oleh suara ponselnya. Pesan masuk dengan cepat. Dia membuka pesan tersebut, dan aliran perasaan cemas kembali merayap ke dalam dirinya.
"Pandu, kita butuh kamu. Ada masalah besar di perusahaan, dan hanya kamu yang bisa membantu. Jika tidak, kita mungkin harus menutupnya."
Pesan itu dari ayahnya. Dalam sekejap, rasa tenang yang mereka rasakan lenyap, digantikan oleh ketidakpastian baru yang akan segera mengguncang hidup mereka.