NovelToon NovelToon
University Prestige School

University Prestige School

Status: sedang berlangsung
Genre:Reinkarnasi / Playboy / Percintaan Konglomerat / Crazy Rich/Konglomerat / Mengubah Takdir / Romansa
Popularitas:2.6k
Nilai: 5
Nama Author: Farhan Akbar

Ketika Akbar tiba-tiba terbangun dalam tubuh Niko, ia dihadapkan pada tantangan besar untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan baru yang sama sekali berbeda. Meskipun bingung, Akbar melihat kesempatan untuk menjalani hidup yang lebih baik sambil berusaha mempertahankan identitasnya sendiri. Dalam prosesnya, ia berjuang meniru perilaku Niko dan memenuhi harapan keluarganya yang mendalam akan sosok Niko yang hilang.

Di sisi lain, keluarga Trioka Adiguna tidak ada yang tau kalau tubuh Niko sekarang bertukar dengan Akbar. Akbar, dalam upayanya untuk mengenal Niko lebih dalam, menemukan momen-momen nostalgia yang mengajarinya tentang kehidupan Niko, mengungkapkan sisi-sisi yang belum pernah ia ketahui.

Seiring berjalannya waktu, Akbar terjebak dalam konflik emosional. Ia merasakan kesedihan dan penyesalan karena mengambil tempat Niko, sambil berjuang dengan tanggung jawab untuk memenuhi ekspektasi keluarga. Dengan tekad untuk menghormati jiwa Niko yang hilang.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Farhan Akbar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Di balik Sofa Merah? & Pertemuan dengan Si Kembar Jenius

Vin dan Roni, dengan piring makanan di tangan, bergerak menuju Akbar yang duduk di sudut kantin. Roni, dengan senyumnya yang ceria, segera menyapa, "Nik! Ayo, kenapa lu masih di sini bengong aja? Kenapa nggak ke room VIP? Ada sofa merah yang nyaman, Kan!"

Vin menambahkan dengan nada sarkastis, "Iya, Nik kan lu yang punya akses kesana. Jangan bilang lu dah lupa yah gara-gara jarang masuk sekolah!" Ia tertawa, tanpa menyadari bahwa Akbar sebenarnya sudah berpindah tubuh dengan Niko.

Akbar, berusaha berpura-pura percaya diri, hanya mengangkat bahu. "Sofa merah, ya? Maybe... gue lagi merenung di sini," jawabnya, meski di dalam hati, ia merasa bingung. Ia tidak tahu apa-apa tentang sofa merah itu dan mengapa itu begitu spesial.

Roni menepuk punggung Akbar. "Ayo, jangan buang waktu! Kita harus nikmati suasana! Room VIP itu tempatnya para elit, dan kita harus ada di sana!"

Vin mengangguk setuju. "Iya, hidup ini harus dinikmati daripada lu duduk di sudut kantin. Yuk, kita ke sana dan nikmati sofa merah itu!"

Akbar merasakan sedikit kecemasan, tetapi ia juga merasa dorongan untuk bergabung dengan teman-temannya. "Oke, ayo kita ke room VIP!" katanya, berusaha terdengar antusias meskipun di dalam hati, ia masih merasa terjebak dalam kebingungan tentang identitas barunya.

Saat mereka menuju ruang VIP, Akbar melihat sesuatu yang aneh dari kejauhan. Di dekat sofa merah yang terkenal itu, sekelompok siswa - siswi berkumpul dengan ekspresi serius. Mereka tampak terlibat dalam diskusi yang intens, dan ada beberapa gestur tangan yang menunjukkan ketegangan.

"Nik lihat itu!" Roni berkata, menarik perhatian Akbar. "Ada yang tidak beres, ya?"

Akbar mengernyitkan dahi, berusaha menunjukkan ketenangan. "Iya, sepertinya ada sesuatu yang penting di sana," jawabnya, meskipun di dalam hatinya ia merasa bingung. Dia sama sekali tidak tahu apa yang sedang terjadi dan mengapa situasi itu tampak begitu mendesak.

Vin melanjutkan, "We must Checking. Mungkin mereka membahas sesuatu yang berhubungan dengan loe."

Sebelum mereka melangkah masuk ke ruang VIP, Akbar merasa sedikit cemas dan ingin mengalihkan perhatian. Dengan senyuman yang berusaha terlihat natural, ia mengusulkan, "Gengs, kita ke outdoor aja deh. Makan di sana, ajah. Gua lagi mual butuh udara segar."

Roni mengernyit, sedikit bingung. "Mual? Why, Nik? You baik-baik saja Kan?"

Akbar mengangguk, berusaha meyakinkan. "Iya, I'm Fine. Tapi rasanya lebih enak kalau kita makan di luar. Suasana outdoor lebih santai, kan?"

Vin menatapnya sejenak sebelum mengangguk. "Hmm, ada benarnya juga. Kadang-kadang kita butuh suasana yang berbeda," katanya sambil tersenyum. "Ayo, kita cari tempat duduk di luar."

Roni mengangguk setuju. "Oke, mungkin di luar lebih seru! Kita bisa duduk di bawah pohon dan menikmati udara segar."

Akbar merasa lega melihat teman-temannya setuju dengan idenya. Mereka berempat berbalik arah dan menuju area outdoor, sementara di dalam hati, Akbar berusaha menenangkan diri dan berharap suasana baru ini bisa membantu mengalihkan perhatiannya dari semua yang membuatnya bingung.

Dengan langkah yang lebih ringan, mereka berjalan menuju area yang lebih terbuka, dan Akbar berharap suasana segar bisa membantunya merasa lebih nyaman dengan situasi yang tidak familiar ini.

Akbar berfikir dalam hatinya, Gue nggak bisa kalau harus kesana sekarang tanpa mengetahui apa-apa tentang yang ada di dalam ruangan VIP tersebut. Dia merasa cemas membayangkan dirinya terjebak dalam diskusi yang pernah Niko lakukan di sana. Kalau sampai mereka membahas sesuatu yang penting dan gua harus ikut ngomong, gua bisa terjebak dalam kebohongan!

Dia mengingat kembali berbagai momen yang mungkin terjadi di ruang VIP—obrolan serius, rencana yang dibuat, dan tentu saja, segala hal yang berhubungan dengan status dan kekuasaan. Sementara gue di sini, cuma berpura-pura jadi dia. Gua tidak tahu apa-apa!

Merasa tertekan, Akbar berusaha menyembunyikan ekspresi wajahnya. Dia tahu bahwa jika dia pergi ke sana, ada kemungkinan dia akan terjebak dalam situasi yang tidak bisa dia kendalikan. Bagaimana kalau mereka bertanya tentang sesuatu yang Niko lakukan? Gue nggak bisa menjawab!

Karena Akbar sedang kebingungan dan sedikit cemas, dia tanpa sadar menabrak seorang murid sekolah berkacamata dengan rambut seperti mangkuk belah tengah. Pria remaja itu tampak ketakutan ketika melihat Akbar. Akbar, dalam keadaan panik, hanya memberikan tatapan dingin kepadanya, berusaha menutupi ketidakpastian yang dirasakannya.

Pria itu segera berkata, "Maafkan aku, Nik. Aku bener-bener nggak sengaja." Wajahnya menunjukkan rasa takut, dan dia tampak sangat ingin menghindari konfrontasi lebih lanjut.

Roni, yang melihat kejadian itu, langsung merangkul pria tersebut. "You makanya kalau jalan, lihat-lihat! Lu kan tau siapa Niko! Jangan macem-macem!" katanya dengan nada bercanda, tetapi ada sedikit ketegasan di dalam suaranya.

Akbar merasa semakin tidak nyaman. Ia tidak mengenal orang ini, tetapi reaksi Roni seolah memberikan sinyal bahwa pria itu seharusnya tahu lebih banyak tentang Niko. Apa yang terjadi di sini? pikirnya, merasakan tekanan untuk berpura-pura mengetahui situasi tersebut.

Pria berkacamata itu hanya mengangguk, tampak bingung dan sedikit ketakutan. Akbar, merasa perlu untuk keluar dari situasi ini.

Akbar berpura-pura menunjukkan sikap dingin, berusaha menjaga penampilannya tetap tenang meskipun hatinya bergejolak. "Sudahlah, Ron, tinggalkan saja bocah tidak jelas itu," katanya dengan nada datar, berusaha terlihat acuh tak acuh.

Roni mengangkat alis, sedikit terkejut dengan respons Akbar. "Oke, oke, Nik. Tapi jangan terlalu keras, ya. Dia kan juga teman kita," jawabnya sambil menarik pria berkacamata itu menjauh.

Pria itu tampak lega, tetapi wajahnya masih menunjukkan kebingungan. "I'm so sorry, Nik. Aku bener-bener nggak mau mengganggu," ucapnya sebelum melangkah mundur.

Akbar hanya meliriknya sekilas, lalu berbalik, berusaha menanggalkan rasa cemas yang menghinggapi pikirannya. "Ayo, kita ke luar aja," katanya kepada Roni dan Vin, berusaha mengalihkan perhatian mereka dari insiden tadi.

Akbar sedikit menoleh dan melihat pria berkacamata tadi berlari ke arah seorang remaja lain yang terlihat sangat mirip dengannya. Apakah mereka kembar? pikirnya, merasa bingung.

Pria yang tidak berkacamata itu langsung menatap Akbar dengan tatapan sinis, seolah-olah dia menyimpan dendam terhadap Niko. Ekspresi wajahnya membuat Akbar merasa tidak nyaman. Apa yang terjadi antara mereka? Akbar berusaha mengingat, tetapi semua informasi tentang Niko terasa samar.

Akbar hanya melangkah dengan sikap dingin, berusaha mengabaikan keberadaan pria kembar itu. Dia tahu bahwa bertindak seolah-olah semuanya baik-baik saja adalah cara terbaik untuk menghadapi situasi ini, meskipun dalam hati, dia merasakan kecemasan yang mendalam.

Dia tidak ingin terjebak dalam drama yang tidak dia pahami, jadi dia memutuskan untuk tetap fokus pada Roni dan Vin, yang sedang menunggu di depan. Dengan langkah mantap, Akbar berusaha terlihat tenang, walaupun di dalam pikirannya, banyak pertanyaan tak terjawab yang berkeliaran.

Siapa pria itu? Apa hubungannya dengan Niko? pikirnya, sambil terus melangkah. Dia merasa lebih baik jika bisa menjauh dari ketegangan yang baru saja terjadi.

...****************...

Ketika dia bergabung kembali dengan Roni dan Vin, mereka tidak memperhatikan ketegangan di wajahnya. "Ayo, kita cari tempat duduk di luar!" seru Roni, mencoba mencairkan suasana. Akbar mengangguk setuju, berusaha menyembunyikan semua kebingungan yang sedang melanda dirinya.

Roni tertawa dan berkata, "Hahaha, tuh bocah kembar sekarang jadi pendiam. Lu parah sih, Nik! Ntah apa yang lu bilang ke mereka pas awal masuk sekolah. Mereka jadi takut sama lu sekarang, padahal mereka anak yang berprestasi!"

Akbar hanya tersenyum kaku, mencoba menyembunyikan rasa tidak nyaman yang ia rasakan. "Gua nggak bilang apa-apa, Ron. Mungkin merekanya ajah cuma sensitif," jawabnya, berusaha terdengar santai.

Vin ikut menimpali, "Mungkin mereka cuma kagum sama lu. Siapa yang tidak takut sama Niko, si raja di sini?" dia tersenyum, tetapi nada sinisnya tidak bisa sepenuhnya menyembunyikan kebingungan Akbar.

Di dalam hati, Akbar merasa semakin tertekan. Dia tidak ingin dicap sebagai sosok yang menakutkan, terutama ketika dia sendiri tidak tahu apa yang terjadi di sekitar Niko. "Yah, mungkin kita harus lebih santai aja, ya?" ujarnya, berusaha mengalihkan pembicaraan.

Roni mengangguk, tetapi senyumnya tetap menyiratkan kebingungan. "Oke, tapi kita harus cek apa yang sebenarnya terjadi di antara lu dan mereka. Nanti kita cari tahu," katanya, seolah-olah memperhatikan setiap gerak-gerik Akbar.

Akbar merasa gelisah, tetapi dia tahu bahwa dia harus tetap berperan sebagai Niko, terlepas dari ketidakpastian yang melingkupinya. "Ayo kita nikmati makanan dulu," katanya, berusaha mengubah fokus percakapan.

1
Delita bae
salam kenal 👋jika berkenan mampir juga😇🙏
Delita bae: sip mangat ya😁🙏
neerxlight: salam kenal juga kak
total 2 replies
arfan
semangat up terus bos
neerxlight: makasih kak
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!