Lilyana Belvania, gadis kecil berusia 7 tahun, memiliki persahabatan erat dengan Melisa, tetangganya. Sering bermain bersama di rumah Melisa, Lily diam-diam kagum pada Ezra, kakak Melisa yang lebih tua. Ketika keluarga Melisa pindah ke luar pulau, Lily sedih kehilangan sahabat dan Ezra. Bertahun-tahun kemudian, saat Lily pindah ke Jakarta untuk kuliah, ia bertemu kembali dengan Melisa di tempat yang tak terduga. Pertemuan ini membangkitkan kenangan lama apakah Lily juga akan dipertemukan kembali dengan Ezra?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lucky One, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Keinginan yang terpendam
Saat duduk di bangku SMA, impian itu semakin menguat. Ketika banyak teman-temannya berbicara tentang rencana kuliah di kota-kota besar, Lily pun tak ingin ketinggalan. Jakarta adalah tujuannya. Setiap kali ia melihat brosur universitas ternama, hatinya bergetar. Ia ingin merasakan hiruk-pikuk Jakarta, menaklukkan tantangan yang ada di sana, dan menemukan jati dirinya di kota besar itu.
Namun, ada satu hal yang menghalangi langkahnya orang tuanya.
Lily tahu, meskipun mereka selalu mendukung setiap langkah yang ia ambil, ada kekhawatiran besar dalam hati kedua orang tuanya, terutama ketika ia mengutarakan niatnya untuk kuliah di Jakarta. Pak Andi, ayah Lily, adalah sosok yang protektif, selalu memastikan anak satu-satunya tumbuh dengan baik dan terlindungi. Bu Santi, ibunya, meski lebih lembut dan terbuka, juga tak bisa menyembunyikan rasa cemasnya tentang kehidupan anak perempuannya di kota sebesar Jakarta.
Suatu malam, ketika makan malam selesai, Lily memutuskan untuk berbicara. Setelah berbulan-bulan menyimpan keinginan itu dalam hati, ia merasa ini adalah waktu yang tepat.
“Bu, Pak, aku ingin bicara sesuatu,” ucap Lily dengan nada serius, meski hatinya berdebar.
Ayah dan ibunya menatapnya dengan rasa penasaran. “Ada apa, Nak?” tanya Pak Andi sambil menurunkan sendok dari tangannya.
Lily menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan, “Aku ingin melanjutkan kuliah di Jakarta.”
Ruangan makan yang semula dipenuhi dengan obrolan ringan mendadak hening. Pak Andi dan Bu Santi saling bertukar pandang, seolah berusaha mencerna apa yang baru saja didengar. Mata Bu Santi melembut, tapi raut wajahnya jelas menunjukkan kekhawatiran.
“Kuliah di Jakarta?” ulang Pak Andi, mencoba memastikan.
Lily mengangguk pelan. “Iya, Pak. Aku sudah memikirkan ini sejak lama. Ada banyak universitas bagus di sana, dan aku ingin mengejar karierku di bidang Ilmu Komunikasi. Aku rasa, Jakarta adalah tempat terbaik untuk itu.”
Pak Andi menyandarkan tubuhnya ke kursi, ekspresinya masih terlihat serius. “Lily, Jakarta itu kota yang besar. Hidup di sana tidak mudah, terutama bagi kamu yang belum pernah tinggal jauh dari rumah. Kamu yakin bisa mandiri di sana?”
Lily sudah menduga pertanyaan itu akan muncul. Ia menatap ayahnya dengan tekad yang kuat. “Aku tahu, Pak. Tapi aku ingin belajar untuk mandiri. Ini adalah kesempatan besar buat aku berkembang dan belajar banyak hal baru. Aku percaya bisa melakukannya.”
Namun, Bu Santi segera angkat bicara. “Lily, kami tidak meragukan kemampuanmu. Tapi tinggal sendirian di kota sebesar Jakarta... itu bukan hal yang mudah. Kami hanya khawatir, Nak. Kamu satu-satunya anak kami, dan Jakarta itu...”
Suara Bu Santi perlahan memudar, tergantikan oleh nada cemas. “Di sana banyak godaan, banyak bahaya yang tidak kamu duga.”
Lily mencoba menenangkan dirinya, meskipun di dalam hati ia memahami kekhawatiran itu. “Aku paham, Bu. Tapi aku tidak akan sendirian. Aku bisa cari teman sekamar, atau tinggal di asrama. Banyak mahasiswa lain yang juga kuliah jauh dari rumah, dan aku yakin aku bisa beradaptasi. Ini adalah langkah penting buat masa depanku.”
Namun, Pak Andi tetap terlihat ragu. “Kami tahu kamu punya mimpi besar, Lily, tapi ayah tidak bisa membiarkanmu begitu saja pergi ke kota asing sendirian.”
Pembicaraan itu berakhir tanpa keputusan pasti. Meski Lily terus berusaha meyakinkan orang tuanya, kekhawatiran mereka tetap tidak berkurang. Setiap malam, Lily sering terdiam di kamar, memikirkan cara untuk meyakinkan mereka. Ia tahu bahwa jika tidak segera membuat keputusan, waktu untuk mendaftar universitas akan habis.
Suatu hari, saat Lily sedang duduk di ruang tamu, Pak Andi mendekatinya dengan ekspresi yang berbeda dari biasanya. Ada sesuatu yang lembut dalam tatapannya, seolah ia sudah memikirkan sesuatu yang mendalam.
“Lily,” panggil Pak Andi pelan.
Lily menoleh. “Iya, Pak?”
“Ayah dan Ibu sudah memikirkan soal keinginanmu kuliah di Jakarta,” kata Pak Andi sambil duduk di sebelahnya. “Kami tidak ingin menghancurkan mimpimu. Tapi kami juga tidak bisa tenang kalau kamu tinggal sendirian di sana.”
Lily merasakan harapan tumbuh di hatinya. “Jadi... apakah itu berarti...?”
Pak Andi mengangguk pelan. “Ya, kami mengizinkan kamu kuliah di Jakarta. Tapi ada satu syarat.”
Lily menatap ayahnya dengan penuh antusias. “Apa pun syaratnya, Pak, aku akan terima!”
Pak Andi tersenyum kecil. “Kami akan ikut pindah ke Jakarta bersamamu.”
Kata-kata itu mengejutkan Lily. Ia tidak pernah membayangkan orang tuanya rela pindah dari Surabaya hanya untuk menemaninya kuliah. “Pindah? Pak, Bu, ini terlalu besar. Aku bisa...”
Bu Santi yang baru saja datang dari dapur segera ikut dalam percakapan. “Kami sudah memikirkan ini dengan matang, Lily. Jika ini bisa membuatmu mengejar mimpimu tanpa kami harus terus khawatir, maka kami siap untuk pindah. Lagi pula, ayahmu bisa mencari pekerjaan di sana, dan kita bisa memulai hidup baru di Jakarta.”
Lily merasa terharu. Ia tidak menyangka orang tuanya akan mengambil keputusan sebesar itu demi dirinya. “Aku... terima kasih, Bu, Pak. Tapi aku tidak ingin merepotkan kalian. Ini mimpi aku, bukan kalian.”
Bu Santi menggeleng sambil tersenyum. “Nak, apa yang menjadi mimpimu adalah kebahagiaan kami. Jika ini yang terbaik untukmu, kami akan mendukungmu sepenuhnya.”
Setelah percakapan itu, keluarga Lily mulai merencanakan kepindahan mereka ke Jakarta. Meski awalnya terkejut dengan keputusan orang tuanya, Lily merasa sangat bersyukur. Dengan orang tuanya di sampingnya, ia merasa lebih yakin dan tenang untuk memulai perjalanan barunya di kota yang penuh tantangan.
Bulan demi bulan berlalu, dan persiapan pindah ke Jakarta pun semakin dekat. Lily tahu, ini adalah awal dari babak baru dalam hidupnya. Tapi ada satu hal yang tak pernah ia duga di kota baru ini, hidupnya akan kembali bertautan dengan masa lalunya, sebuah kenangan yang tak pernah benar-benar hilang dari hatinya.
***Acara Kelulusan ***
Acara kelulusan adalah momen yang selalu dinantikan oleh setiap siswa, termasuk Lilyana Belvania. Setelah tiga tahun melewati suka duka masa SMA, hari itu akhirnya tiba hari di mana ia dan teman-temannya merayakan pencapaian yang selama ini mereka perjuangkan. Di aula sekolah yang dihiasi dengan balon-balon warna-warni, para siswa berseragam putih abu-abu berkumpul, merayakan keberhasilan mereka dalam mengakhiri satu babak kehidupan dan bersiap memasuki dunia yang lebih luas.
Lily duduk di deretan kursi bersama teman-teman sekelasnya, mengenakan seragam yang sudah ditandatangani penuh coretan dan pesan perpisahan. Di wajahnya terpancar kebahagiaan bercampur dengan sedikit kesedihan. Momen kelulusan ini bukan hanya perpisahan dari sekolah, tetapi juga dari kota yang sudah menjadi rumahnya sejak kecil Surabaya. Dalam beberapa minggu, ia dan keluarganya akan pindah ke Jakarta, mengikuti mimpinya untuk melanjutkan kuliah di sana.
Lily cpt move on syg, jgn brlarut larut dlm kesdihan bgkitlh fokus dgn kuliamu. aku do'akn smoga secepatnya tuhan mngirim laki" yg mncintai kmu dgn tulus. up lgi thor byk" 😍💪