Selama 10 tahun lamanya, Pernikahan yang Adhis dan Raka jalani terasa sempurna, walau belum ada anak diantara mereka.
Tepat di ulang tahun ke 10 pernikahan mereka, Adhis mengetahui bahwa Raka telah memiliki seorang anak bersama istri sirinya.
Masihkah Adhis bertahan dalam peliknya kisah rumah tangganya? menelan pahitnya empedu diantara manisnya kata-kata cinta dari Raka?
Atau, memilih meladeni mantan kekasih yang belakangan ini membuat masalah rumah tangganya jadi semakin pelik?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon moon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#27•
#27
Raka berjalan gontai kembali ke rumahnya, wajah dan penampilannya benar-benar menyedihkan.
Setelah semua ini, apakah mungkin Adhis tetap mau bertahan disisinya?
Sungguh, jika dibandingkan Adhis masihlah mendominasi tempat dihatinya, perjuangannya meraih cinta seorang Adhisty juga tak begitu saja Raka peroleh dengan mudah.
Namun kini, dirinya pun tak bisa sepenuhnya meninggalkan Anggita, karena ada Qiran diantara mereka.
Terlebih, ia masih harus bertanggung jawab dengan biaya pengobatan Bu Ema, Raka benar-benar dalam dilema besar.
Tiba kembali di rumahnya, Raka Melihat Anggi sudah kembali berpakaian rapi, “Mas, maaf,” cicit Anggita, wajahnya menunduk.
Raka menghembuskan nafas kesal, hendak marah, tapi dirinya dan Anggi juga terikat pernikahan yang sah. “Harusnya aku tak menuruti perintah Ibu, untuk datang kesini,” sambung Anggi.
“Bagaimana kamu bisa masuk kemari?” tanya Raka datar.
“Mas sepertinya lupa mengunci gerbang dan pintu depan,” jawab Anggi.
Barulah Raka ingat, sejak sore ia sudah kehabisan tenaga karena beberapa hari tak makan dengan benar, jadi ketika sampai di rumah Raka merasa kepalanya sangat berat, hingga ia hanya menutup pintu gerbang seadanya, pun demikian dengan pintu utama.
Raka merebahkan tubuhnya di sofa, sama sekali tak ada rona bahagia usai melepas hasrat, ia justru menyesal telah melakukannya beberapa saat yang lalu.
Melihat Raka kembali berbaring lemah, Anggi buru-buru menawarkan apa yang ia bawa dari rumah. “Aku bawa makanan kesukaan Mas, makan dulu, mau yah?”
“Tidak, bawa pergi saja makanan itu.”
“Tapi Mas perlu makan, biar cepat pulih.” Anggi masih berusaha membujuk suami sirinya tersebut. “Aku ambilkan piring dan minumnya yah, sementara Mas makan, aku akan membersihkan rumah ini.”
“Kamu dengar tidak, apa yang kukatakan? Sudah kubilang pergi, ya pergilah!!” Teriak Raka, hingga membuat Anggi terdiam.
“Tapi apa salahku, Mas?” tanya Anggi.
“Salahmu? masuk ke rumah orang tanpa izin, itu saja sudah salah!” jawab Raka dengan intonasi tinggi.
“Tapi rumah ini juga rumah suamiku, apa aku salah juga?” tanya Anggi dengan perasaan hancur.
“Salah!! karena rumah ini aku siapkan untuk Adhis, secara teknis, kamu tetap tamu di rumah ini! Karena rumah untukmu juga sudah kuberikan.”
Anggi mengepalkan tangannya, sungguh miris hidupnya, menjadi objek pelampiasan hanya demi melahirkan seorang anak. Tapi, setelah berhasil melahirkan seorang keturunan pun ia tetap tak dianggap istri oleh suaminya sendiri. Karena bagi Raka istri pertama adalah yang paling ia cinta, yang harus selalu menjadi utama adalah istri pertama, kendati istri kedua juga sama-sama menjalankan kewajibannya tanpa cela.
•••
Menjelang maghrib, Dean menghentikan mobil tak jauh dari rumah orang tua Adhis, semua tentu permintaan Adhis, dan Dean setuju, karena kedua orang tuanya pun masih menginap di sana.
“Yakin, sudah baik-baik saja?” tanya Dean pelan, walau tak tahu dengan benar duduk perkaranya, ia cukup prihatin dengan apa yang menimpa rumah tangga Adhis saat ini, tapi Dean juga tak bisa berbuat banyak, karena dirinya hanya orang luar.
Setelah kabur dari kejaran Raka siang tadi, Dean hanya membawa Adhis keliling kota, bahkan tawaran makan siang pun Adhis tolak. Yang ia lakukan sepanjang perjalanan hanya menangis, diam sesaat, kemudian kembali menangis. Begitu seterusnya, setidaknya Dean cukup lega, ketika di sela-sela tangisnya, Adhis bisa tidur pulas untuk sesaat.
“Hmm, terima kasih, Kak.”
“Tak perlu mengulanginya, sekali lagi, menjagamu adalah bagian dari kewajibanku juga. Kamu sudah seperti adik bagiku, karena Mommy selalu menganggapmu sebagai putri kandungnya juga.”
Adhis mengangguk getir, orang lain saja bisa menganggapnya anak kandung. Kenapa ibu mertua yang sejatinya seperti ibu kandung, justru menganggapnya sebagai musuh? Bahkan setelah kurun waktu 10 tahun, Adhis mendampingi Raka dalam suka dan duka berumah tangga. Yang adhis dapatkan justru hadiah paling pahit bagi seorang istri, yakni anak dari adik madu pilihan ibu mertuanya.
“Setelah ini …”
“Sudah ku bilang, jangan diulang,” potong Dean gemas, “kamu ingin mengatakan, ini yang terakhir, kan? Anggap kita tak pernah bertemu, kan?” tebak Dean dengan gaya bicara yang cukup santai.
Membuat Adhis bisa kembali tersenyum untuk sesaat, Dean memutar posisi duduknya, ia menatap serius wajah cantik yang masih terlihat sembab tersebut.
“Apapun yang terjadi pada rumah tanggamu, aku tak berhak lancang bertanya, tapi aku tulus berdoa untuk kebaikanmu.” Dean dengan tulus berharap ada keajaiban dalam rumah tangga Adhis, agar Adhis tak bernasib sama dengan dirinya yang terpaksa melanggar aturan dari Opa Alex, yakni gagal mempertahankan rumah tangga.
Dean memberanikan diri mengusap kepala Adhis, ia bahkan tak peduli ketika Adhis melotot terkejut kearahnya. “Kenapa? Mau marah lagi?” celetuk Dean.
Adhis menggeleng, “Tidak, Kak, pokoknya terima kasih banyak.”
“Hmm … “ Jawaban Dean senada dengan pergerakan Adhis yang mulai mengemasi tas kemudian membuka pintu mobil.
Dean pun ikut keluar dari mobil, dari belakang ia menatap kepergian Adhis, esok mungkin ia tak akan lagi bertemu wanita itu, karena lusa ia harus mulai bekerja di salah satu rumah sakit besar di Yogyakarta.
Kenapa Yogyakarta? Entahlah, bukan karena ingin mendekati Adhis, karena ia bukan perusak rumah tangga orang lain. Tapi untuk dirinya yang kini hidup sendiri, ia merasa damai di kota kecil tersebut. Karena jika di Jakarta ia hanya akan bertemu kemacetan dari hari ke hari.
•••
Suara salam membuat semua mata menatap kedatangan Adhis, “Eeehh … Raka, mana?” tanya bunda Sherin, tak biasanya Adhis datang seorang diri, karena Raka memang selalu menyempatkan waktunya jika Adhis ingin datang ke rumah orang tuanya.
Adhis menyalami semua orang yang ada di pendopo tersebut, aroma wedang rempah, ditambah beberapa kudapan yang terhidang di meja membuat Adhis tiba-tiba merasa lapar.
Ia jadi ingat, bahwa Dean pun belum makan siang sama seperti dirinya. Diam-diam Adhis merasa bersalah, karena dirinyalah, Dean jadi mengorbankan makan siangnya.
Adhis tersenyum senatural mungkin, ia tak ingin bunda Sherin curiga dengan kehadirannya saat ini tanpa Raka. “Mas Raka, biasalah, sedang sibuk di rumah sakit.” Adhis menuang wedang ke cangkir yang masih kosong.
Adhis duduk di salah satu bangku yang masih kosong. Ayah Bima melihat ada yang aneh dari diri putrinya, tapi entah apakah itu, beliau tak berani menerka. Semoga tidak terjadi apa-apa, begitulah harapan ayah Bima.
Setelah menyesap wedangnya, Adhis pun berpamitan, demi menghindari pertanyaan dari para orang tua yang kini menatapnya penuh selidik.
•••
Hampir seminggu, dan akhirnya Adhis baru berani menyalakan ponselnya. Bunyi notifikasi pesan terus terdengar, sementara si pemilik ponsel sedang mengguyur tubuhnya di bawah air hangat.
Sengaja Adhis berlama-lama di bawah guyuran air, menghibur diri dari sakitnya hati. Keputusannya sudah bulat, ia akan segera mengajukan gugatan perceraian ke Pengadilan Agama setempat, agar tak perlu lagi merasakan sakit hati, atau bahkan cemburu karena Raka yang tega berbagi hati.
Esok hari pun datang, aktivitas berjalan seperti biasa, Adhis kembali bekerja walau tidak pergi ke tempat kerja, karena ia membereskan pekerjaannya di ruangan kerja sang ayah.
Dan malam harinya Adhis dikejutkan dengan banyaknya hidangan yang tersaji di meja makan, “Kita akan makan malam bersama, karena besok, Om Dad dan Mommy akan kembali ke Jakarta,” cetus Bunda Sherin yang seolah paham dengan tatapan heran di wajah Adhis, kala melihat hidangan diatas meja.
Adhis mengangguk, sementara tangan kanannya menculik salah satu perkedel kentang yang ada di piring untuk ia cicipi. “Sabar kenapa sih, nanti saja makannya,” tegur Bunda Sherin, karena kelakuan Adhis yang satu ini tak pernah berubah sejak kecil.
“Biarkan saja, bukankah kita harus senang karena anak-anak akan tetap terlihat kecil dimata kita,” cetus Mommy Bella yang juga gemas dengan tingkah Adhis.
“Hmmm terus saja dibela,” protes Bunda Sherin.
“Namanya juga Mommy ke anaknya, iya kan, sayang?”
Adhis mengangguk cepat, kemudian mencium pipi Mommy Bella, ia tak bersuara karena mulutnya sudah kembali penuh dengan ayam goreng lengkuas favoritnya.
Setelah mencicipi beberapa makanan sebagai pengganjal rasa lapar, Adhis. Kembali ke kamarnya untuk mandi dan bersiap, ia melirik ponselnya sejenak. Kecuali urusan pekerjaan, pesan dan panggilan tak penting lain sengaja Adhis abaikan, terutama dari Raka, karena Adhis masih sangat terluka dengan kejadian kemarin.
Hampir maghrib, ketika ayah Bima dan Daddy Andre pulang dari perkebunan. “Kok sampai malam?” tanya Bunda Sherin pada sang suami.
“Iya, tadi juga mampir ke perkebunan organik milik Darren dan Irfan, rencananya nanti mereka yang akan menyuplai tanaman rimpang untuk kebutuhan bahan kosmetik, dan jamu.” Dengan lugas Ayah Bima menjawab.
“Lho Darren juga ada di Yogyakarta?” Kali ini giliran Mommy Bella bertanya pada sang suami.
“Iya, hanya bersama Aya, karena Ryu menolak ikut.”
“Aku juga mengundang mereka makan malam bersama, apa makanannya cukup?” tanya Ayah Bima pada sang istri.
“Cukup kok, aman.” Bunda Sherin menjawab dengan senang, karena malam ini rumah besar mereka akan ramai dengan banyak tamu.
“Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.” Semua orang kompak menjawab.
Wajah Raka sumringah bahagia, ia membawa banyak buah-buahan sebagai buah tangan. Siang tadi ayah Bima sengaja mengundangnya untuk datang makan malam, dan Raka yang masih bersitegang dengan Adhis, merasa seperti mendapat angin segar, hingga ia bisa datang ke rumah mertuanya dengan bahagia.
“Alhamdulillah, kamu bisa datang, hampir saja Bunda mengira kalian sedang bertengkar, karena tak biasanya Adhis datang sendiri ke rumah ini.”
“Ahahahaha … nggak kok, Bund, Raka hanya sedang sangat sibuk,” jawab Raka dengan tawa lebarnya. “Oh, iya, Adhis mana?”
“Sepertinya sedang mandi, sejak pagi sibuk dengan pekerjaannya,” jawab Bunda Sherin.
“Ya sudah, Raka mau sapa Adhis dulu.”
Raka pun pamit, menuju kamar istrinya. Raka mengunci pintu kamar tersebut, suara gemericik air membuat Raka paham bahwa Istrinya sedang mandi.
Tak lama kemudian, Adhis keluar hanya dengan selembar handuk menutupi tubuhnya, Raka menelan ludah dengan susah payah, pemandangan ini membuat ia menginginkan lebih, terlebih sudah beberapa hari ia tak menjumpai istri pertamanya.
Adhis berjingkat kaget, ketika merasakan sebuah pelukan di pinggangnya. “Aaaa…!!”
“Ssstt … ini aku, Sayang,” bisik Raka serya menghidu aroma sabun dari tubuh istrinya.
“Lepaskan, Mas!” Adhis kembali memekik kesal.
“Jangan bersuara keras, orang-orang di luar akan mendengar suaramu.” Raka kembali berbisik.