Megha Anantasya, gadis ceria yang terjebak dalam cinta sepihak pada Bima Dirgantara, berjuang melawan penolakan dan dinginnya hati pria yang dicintainya. Meskipun usaha dan harapannya tak pernah padam, semua usaha Megha selalu berakhir dengan patah hati. Namun, saat mereka kembali bertemu di kampus, Megha menyimpan rahasia kelam yang mengancam untuk merusak segalanya. Ketika perasaan Bima mulai beralih, kegelapan dari masa lalu Megha muncul, mengguncang fondasi hubungan mereka. Di tengah ketidakpastian, Megha menghadapi kenyataan pahit yang tak terhindarkan, dan Bima harus berjuang melawan penyesalan yang datang terlambat. Ketika semua harapan tampak sirna, cinta mereka terjebak dalam tragedi, meninggalkan luka mendalam dan pertanyaan tanpa jawaban: Apakah cinta cukup untuk mengalahkan takdir yang kejam?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon siscaatann, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MOMEN YANG TAK TERDUGA
Hari itu dimulai dengan cukup biasa, sampai pengumuman dosen tentang proyek kelompok yang bikin semua orang di kelas langsung heboh. "Oke, semua! Kali ini kita akan membagi kelompok untuk proyek teknik sipil, dan setiap kelompok harus ada lima orang," kata Pak Hendra, dosen kami yang terkenal ketat. Suara riuh langsung memenuhi ruangan, semua pada berbincang tentang siapa yang mau sama siapa.
Dari sudut kelas, aku lihat Bima lagi duduk sambil ngetik di laptopnya. Dia kelihatan fokus, dan ada aura misterius yang selalu bikin aku penasaran. “Gimana kalo kita satu kelompok?” tanya Rina, sahabatku yang selalu berusaha mendekatkan kami. “Gue rasa kalo lo bisa deket lagi sama Bima, itu akan jadi kesempatan bagus.”
Hati ini berdegup kencang. “Ya, tapi lo tahu sendiri kan, Bima kan suka nyendiri,” jawabku sambil nyengir kecut. Rina cuma nyengir, “Tapi kali ini lo harus ambil kesempatan, Meg! Siapa tahu dia bisa terbuka.”
Setelah pengumuman itu, Pak Hendra mulai memanggil nama-nama untuk membentuk kelompok. “Kelompok pertama, ada Bima, Megha, Dika, Rina, dan Kiki!” katanya. Kaki ini rasanya pengin melompat saking senangnya, tapi di sisi lain, ada rasa cemas yang menyelimuti. Bima menoleh ke arahku dan mengangkat alis, seakan bilang, “Kita lagi satu kelompok?”
“Iya, Bima. Kita satu kelompok,” jawabku dengan senyum lebar, berusaha terlihat santai meskipun hatiku bergetar.
“Cool,” jawabnya singkat, lalu kembali fokus ke laptop. Ya ampun, ini pasti jadi tantangan besar, tapi aku juga merasa excited.
Kami segera merencanakan untuk bertemu di kafe kampus setelah kuliah. Saat itu, suasana hati kami mulai membaik. “Oke, guys. Kita harus brainstorming buat proyek ini. Apa yang kita mau buat?” tanya Dika. “Gue pikir kita bisa bikin jembatan minimalis yang ramah lingkungan,” saran Kiki, yang selalu punya ide-ide cemerlang.
Bima mengangguk setuju. “Bagus, tapi kita harus memastikan bahwa desainnya efektif dan aman. Kita bisa mulai dengan membuat sketsa dulu,” katanya, suaranya tenang dan serius.
Aku duduk di sebelahnya, berusaha mendengarkan semua detail yang diajelasin. Bima itu pintar, dan mendengarnya berbicara tentang proyek bikin aku ngerasa terinspirasi. “Bima, lo emang paham banget tentang teknik sipil,” pujiku. Dia cuma tersenyum tipis, tapi matanya sepertinya berbinar.
Kami bekerja keras selama beberapa minggu ke depan. Setiap kali kami bertemu di kafe, suasana jadi makin hangat. Bima mulai menunjukkan sisi lain dari dirinya. Dia nggak cuma fokus ke proyek, tapi juga mulai nanya tentang hidupku. “Eh, Meg. Lo suka apa selain belajar?” tanyanya suatu hari, saat kami istirahat dari bekerja.
“Hmm, banyak sih. Gue suka nulis, sama dengerin musik. Lo sendiri?” jawabku, sambil berusaha menjaga agar suasana tetap santai. “Gue suka main game dan nonton film. Kadang-kadang, gue suka nyari film lama yang bisa bikin nostalgia,” ujarnya dengan senyum yang membuat hatiku berdebar.
Selama beberapa hari itu, aku merasa kita semakin dekat. Bima mulai membuka diri, dan aku ngerasa ada chemistry di antara kita. Tapi, tetap ada rasa ragu. “Apa dia benar-benar suka sama aku, atau dia cuma bersikap baik?” pikirku dalam hati.
Suatu sore, saat kami lagi mengerjakan proyek, tiba-tiba Bima bilang, “Meg, lo tahu nggak? Gue merasa proyek ini bikin kita lebih dekat.” Ucapan itu bikin aku terkejut. “Iya, gue juga ngerasa gitu,” balasku, berusaha tampil percaya diri.
Dia tersenyum dan melanjutkan, “Gue senang bisa kerja sama lo. Lo tuh bener-bener punya ide yang fresh.” Jantungku berdebar lebih kencang. Ini adalah momen yang aku tunggu-tunggu—ada harapan baru untuk hubungan kami.
Kami sepakat untuk menyelesaikan proyek itu sebelum deadline, jadi kami makin sering ketemu. Suatu malam, saat kami lagi istirahat, Bima tiba-tiba mengeluarkan pertanyaan yang bikin aku terperanjat. “Meg, kalo lo bisa pergi ke mana aja, lo mau ke mana?”
Aku kaget, “Hmm, mungkin ke Bali. Gue suka pantai dan suasana santai di sana. Lo?” Dia terdiam sejenak, seakan berpikir keras. “Gue juga pengin ke Bali. Kayaknya seru bisa bersantai sambil menikmati suasana laut.”
Saat itu, aku merasa ada koneksi yang lebih dalam. Bima mulai menunjukkan sisi lembutnya, dan aku berharap bisa lebih dekat lagi. “Bima, kita harus pergi bareng suatu saat nanti,” kataku, dan dia hanya mengangguk sambil tersenyum.
Hari-hari berlalu, dan akhirnya kami berhasil menyelesaikan proyek tepat waktu. Saat presentasi, aku bisa melihat rasa bangga di wajah Bima. Kami mendapat nilai A, dan suasana kelas pun menjadi ceria. “Gila, Meg! Kita berhasil!” teriak Kiki saat kami keluar dari ruang kelas.
Bima hanya tersenyum, dan saat aku menoleh, dia bilang, “Makasih, Meg. Tanpa lo, kita nggak akan bisa sampai sini.” Ucapan itu bikin aku merasa sangat dihargai. “Sama-sama, Bim. Kita kerja keras bareng-bareng,” balasku dengan semangat.
Setelah presentasi, kami merayakannya dengan makan di restoran favorit. Suasana jadi semakin hangat, dan saat itu aku merasakan harapan baru. Mungkin Bima mulai memperhatikanku dengan cara yang lebih dalam. Mungkin, hanya mungkin, ini adalah awal dari sesuatu yang lebih.
Tapi saat kami lagi asyik bercanda, tiba-tiba Bima terlihat serius. “Meg, gue mau ngomong sesuatu,” katanya pelan. Jantungku berdebar kencang. “Apa, Bim? Lo bikin gue penasaran,” jawabku.
“Aku tahu kita udah dekat, tapi... ada hal yang harus gue bilang,” ujarnya dengan ekspresi serius. Suasana langsung berubah. Aku merasakan ketegangan. “Gue...” Dia terdiam, dan aku menunggu dengan napas tertahan.
“Gue pengin kita tetap jadi teman baik,” katanya akhirnya. “Gue khawatir kalo kita mulai terjebak dalam perasaan yang lebih dalam, itu bisa bikin kita rumit.”
Rasa kecewa langsung menyelimuti hatiku. Meskipun aku sudah berharap, kata-katanya bikin semuanya terasa hancur. “Oh, jadi gitu,” jawabku sambil berusaha tersenyum meskipun hatiku hancur. “Gue juga pengin kita tetap dekat. Teman itu berharga.”
Setelah itu, suasana jadi canggung. Meskipun kami berhasil menyelesaikan proyek dengan baik, aku merasa ada jarak yang tiba-tiba muncul. Dalam hati, aku berharap agar waktu bisa mengubah segalanya.
Namun, satu hal yang pasti—proyek ini bukan hanya tentang tugas kuliah, tetapi juga tentang bagaimana kami saling mengenal satu sama lain. Momen-momen yang tak terduga inilah yang membuatku merasa bahwa setiap usaha itu layak. Dan siapa tahu, di masa depan, semuanya bisa jadi lebih baik.
Saat aku pulang malam itu, pikiranku dipenuhi dengan keraguan dan harapan. Mungkin, hubungan kami belum sepenuhnya berakhir. Ada banyak waktu dan kesempatan yang menunggu di depan. Dan aku yakin, apa pun yang terjadi, Bima adalah teman yang berharga.
Hari-hari setelah presentasi itu terasa sedikit berat, terutama saat aku melihat Bima yang tampak lebih menjauh. Meskipun kami masih satu kelompok, interaksi kami tidak sehangat sebelumnya. Kadang aku merasa dia menghindar, seolah-olah perasaannya masih terjebak di antara ketertarikan dan ketakutan akan hubungan yang lebih dalam.
Tapi di satu sisi, ada saat-saat kecil yang bikin aku yakin bahwa dia masih peduli. Misalnya, saat kami pulang dari kafe setelah sesi belajar. “Eh, Meg! Lo mau makan di mana? Gue traktir deh,” tawarnya. Waktu itu, kami lagi berangkat ke kelas, dan tawarannya bikin hatiku sedikit berbunga. “Wah, serius? Ya udah, kalau gitu ke burger bar deh. Gue lagi pengen banget,” jawabku sambil tersenyum.
Di burger bar, kami mengobrol tentang banyak hal. Dari makanan favorit sampai film yang baru ditonton. Dalam hati, aku berusaha mengingat setiap detailnya. “Jadi lo udah nonton film terbaru yang disutradarai si Rudi itu?” tanyanya. “Belum, tapi banyak yang bilang bagus. Lo udah?” Dia mengangguk. “Iya, lucu banget. Kita harus nonton bareng,” katanya dengan nada santai.
Obrolan itu bikin hatiku bergetar, karena di situasi itu, rasanya semua ketegangan di antara kami menghilang. “Oke, deal! Kita harus nonton bareng,” balasku dengan semangat. Momen itu membuatku berpikir, mungkin Bima masih terbuka untuk menjalin persahabatan yang lebih dekat.
Namun, saat kami kembali ke kampus, suasana kembali tegang. Ketika kami bertemu dengan teman-teman yang lain, Bima langsung berubah jadi sosok yang dingin lagi. Dia seolah berusaha menjaga jarak dari aku, dan hal itu bikin aku bingung. “Kenapa sih, Bima? Kenapa bisa berubah gini?” pikirku.
Ketegangan itu berlangsung selama beberapa hari ke depan. Setiap kali kami berada di kelas, Bima lebih memilih untuk berbicara dengan teman-teman lain ketimbang denganku. Meski begitu, aku berusaha tetap positif. “Mungkin dia butuh waktu,” kataku pada Rina saat kami ngumpul di kosan. “Gak semua orang bisa langsung nyaman dalam hubungan yang kompleks kayak gini.”
Rina mengangguk. “Lo bener, Meg. Coba aja sabar. Yang penting, lo tetap jadi diri sendiri.” Ucapan Rina bikin aku merasa lebih baik. Jadi, aku memutuskan untuk tidak terlalu memikirkan Bima. Fokus saja ke diri sendiri dan proyek yang sedang berjalan.
Suatu hari, saat kami lagi ngerjain tugas di kelas, tiba-tiba Pak Hendra mengumumkan bahwa ada ujian mendatang. “Akan ada ujian akhir semester minggu depan. Jadi, saya ingin kalian semua fokus mempersiapkan diri,” ujarnya. Semua murid langsung tegang. Aku bisa merasakan suasana hati Bima yang berubah, dan aku merasa ini bisa jadi peluang untuk mendekatkan kami kembali.
“Bima, kita harus belajar bareng, ya. Biar kita bisa saling bantu,” kataku dengan optimis setelah kelas selesai. Dia menoleh, matanya tampak ragu. “Iya, mungkin itu ide yang bagus. Gue butuh bantuannya, sih,” jawabnya pelan.
Kami pun sepakat untuk belajar bareng di kafe favorit kami setelah kuliah. Malam itu, saat kami duduk bersebelahan dengan buku-buku terbuka, suasana jadi lebih akrab. Bima mulai menunjukkan sisi cerianya lagi, dan aku merasa sangat bersyukur.
“Lo udah belajar soal struktur bangunan belum, Meg?” tanya Bima sambil membuka buku catatannya. “Belum, tapi gue bisa belajar sambil ngeliat lo. Lo kan jagonya,” balasku sambil nyengir. Dia tertawa kecil, dan suasana itu bikin hatiku berbunga-bunga.
Kami mulai mendalami materi pelajaran dengan serius. Dia menjelaskan beberapa konsep yang sulit, dan aku berusaha menyerap semua informasi. Terkadang, kami juga bercanda, dan di situ aku merasakan chemistry yang kembali tumbuh. “Bima, lo emang asik kalau ngajarin. Gak kayak dosen,” kataku sambil tertawa.
“Ya iyalah, dosen kan kaku. Nah, kalo gue, gue bisa jadi guru yang friendly,” jawabnya sambil senyum lebar. Momen itu bikin kami berdua tertawa, dan sepertinya semua ketegangan sebelumnya perlahan menghilang.
Semakin malam, kami semakin asyik bercanda. “Lo ingat gak, waktu kita pertama kali ketemu di kelas? Lo kayak alien di antara semua orang,” Bima bilang sambil tertawa. “Eh, lo juga gitu! Dingin banget, kayak es!” jawabku dengan nada menggoda.
Kami berbagi cerita lucu dan pengalaman masa lalu. Dalam perjalanan itu, aku merasa seperti menemukan kembali Bima yang lebih terbuka. Namun, di balik semua tawa itu, ada satu pertanyaan yang terus menghantuiku: “Apa sebenarnya yang dia rasakan?”
Hari-hari berlalu, dan ujian pun tiba. Meski Bima terlihat lebih santai, aku bisa melihat dia masih berusaha menjaga jarak. Namun, saat kami selesai ujian, dia datang menghampiriku. “Meg, lo udah ngerjain semua soal?” tanyanya.
“Iya, semoga bisa dapat nilai bagus. Lo sendiri?” jawabku, merasa bersemangat. “Gue juga berharap gitu. Kita tunggu aja hasilnya,” katanya, lalu tersenyum.
Setelah ujian, kami kembali ke rutinitas biasa. Aku merasa sedikit cemas, apakah semua usaha ini akan terbayar. Namun, suatu sore saat kami lagi di kafe, Bima tiba-tiba bilang, “Meg, kita harus ngobrol serius.”
Jantungku berdegup kencang. “Apa yang terjadi, Bim?” tanyaku, merasa gugup. “Gue cuma pengin bilang, terima kasih udah sabar sama gue. Gue tahu gue udah bikin lo bingung,” katanya, menatapku dengan serius.
Gue merasa seluruh dunia berhenti sejenak. “Gak masalah, Bim. Gue cuma pengin kita tetap dekat,” jawabku dengan suara bergetar.
“Gue juga, tapi ada banyak hal yang gue pikirkan,” lanjutnya. “Gue gak mau ngerusak apa yang kita punya sekarang.”
Mendengar itu, hatiku mulai merasa kecewa lagi. “Gue ngerti, Bim. Kita bisa tetap temenan,” jawabku, walaupun dalam hati, aku berharap dia akan mengubah keputusannya.
Beberapa minggu kemudian, kami terus berjuang untuk saling mendukung dalam belajar dan proyek-proyek. Namun, perasaan yang belum terucap tetap menggantung di antara kami. Aku sering melihat Bima tersenyum saat berbicara dengan teman-teman, tapi saat dia bersamaku, ada sesuatu yang selalu terasa kurang.
Suatu malam, saat kami belajar di kafe, Bima tiba-tiba bertanya, “Lo pernah mikir tentang apa yang lo mau di masa depan, Meg?”
Pertanyaan itu bikin aku terdiam. “Hmm, ya. Gue pengen jadi insinyur yang bisa bikin bangunan yang bermanfaat untuk orang lain. Lo?” jawabku, berusaha menunjukkan semangat.
Dia mengangguk. “Gue juga, tapi gue juga pengin menemukan seseorang yang bisa jadi partner, bukan cuma di pekerjaan, tapi juga di hidup,” ujarnya.
Hatiku berdebar. “Partner? Maksud lo...?” aku mulai merasa harapan itu muncul kembali.
“Gue tahu ini aneh, tapi kadang gue mikir tentang kita,” kata Bima, dan seketika itu juga, napasku terhenti. “Tapi, gue juga takut kehilangan lo sebagai teman.”
Kata-katanya bikin hatiku bergetar. “Gue juga merasakannya, Bim. Tapi kita bisa atur semuanya, kan?” jawabku penuh harap.
Kami terus berdiskusi tentang masa depan dan impian masing-masing. Malam itu, suasana hati kami kembali hangat, dan aku merasa sedikit lebih optimis. Mungkin, hanya mungkin, akan ada saatnya Bima bisa melihatku bukan hanya sebagai teman, tetapi juga sebagai sesuatu yang lebih.
Saat kami berpisah malam itu, Bima menatapku dan bilang, “Makasih ya, Meg. Lo selalu bikin gue merasa lebih baik.”
“Gak masalah, Bim. Gue juga ngerasa gitu. Semoga kita bisa terus jadi tim,” jawabku sambil tersenyum.
Dalam hati, aku berdoa agar momen-momen kecil ini bisa membangun kembali hubungan kami. Dan semoga, takdir mempertemukan kami dengan cara yang lebih baik di masa depan.