Di SMA Gemilang, geng syantik cemas dengan kedatangan Alya, siswi pindahan dari desa yang cantik alami. Ketakutan akan kehilangan perhatian Andre, kapten tim basket, mereka merancang rencana untuk menjatuhkannya. Alya harus memilih antara Andre, Bimo si pekerja keras, dan teman sekelasnya yang dijodohkan.
Menjadi cewek tegas, bukan berarti mudah menentukan pilihan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon El Nurcahyani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Alya Bertemu Bimo
Bab 28
Bimo menghubungi Lita dan mereka sepakat untuk bertemu di sebuah kafe kecil di pinggiran kota. Kafe itu tenang, dengan suasana yang nyaman dan beberapa meja yang terpisah memberikan privasi. Bimo tiba lebih awal, duduk di salah satu meja pojok sambil menunggu.
Ketika Lita tiba, Bimo berdiri dan menyambutnya dengan senyum tipis. “Hai, Ta. Gimana nih kabarnya? Makasih ya udah nyempetin.”
Lita membalas senyumannya, lalu duduk di hadapan Bimo. “Gak masalah, Bimo. Kita juga kan dah lama gak ketemu, aku penasaran sama orang sukses dari Cambridge. Hehe,"
"Kamu berlebihan, Ta." Bimo merasa sungkan dibecandain oleh Lita.
Setelah mereka memesan minuman, Lita langsung mengajukan pertanyaan. “Jadi, apa yang ingin kamu bicarakan? Kenapa tiba-tiba mencari Alya?”
Bimo menghela napas, matanya menatap jauh ke luar jendela. “Aku baru saja mengetahui tentang kecelakaan yang menimpa keluarga Alya. Aku sangat khawatir dan ingin memastikan dia baik-baik saja. Tapi aku juga tidak ingin membuat situasi semakin rumit.”
"Serius hanya karena itu? Kamu dengar dari siapa bahwa keluarga Alya kecelakaan?"
"Dari ibu penghuni rumah bekas tantenya Alya."
"Berarti baru tahu setelah kamu di Indonesia, dong?" Alya meyakinkan, dengan diiringi anggukan oleh Bimo.
"Maksudku apa yang mendorongmu datang ke Indonesia? Atau semata hanya karena sedang cuti?" Alya menambahkan.
Bimo diam sejenak, dia bingung menjelaskan yang sebenarnya. Namun, dia harus jujur. Sekitar seminggu yang lalu dia merasa melihat sosok Alya di London, bertepatan dirinya sedang menghabiskan weekend dengan seseorang. Setelah dari situ jadi kepikiran terus. Rasa penasaran itu sudah tidak dapat dibendung, akhirnya Bimo memutuskan ke Indonesian. Lagi pula dia sudah sangat lama tidak pulang ke tanah air.
Lita mendengarkan dengan seksama, wajahnya menunjukkan rasa prihatin. “Alya pasti merasa terkejut mendengar kabar ini. Tapi kau harus tahu, Bimo, bahwa sekarang dia sudah menikah. Mas Faris adalah suaminya dan mereka hidup bahagia bersama.”
Bimo mengangguk, mengerti sepenuhnya. “Aku tahu. Itulah mengapa aku minta tolong padamu untuk merahasiakan kedatanganku. Aku tidak siap untuk bertemu dengan suaminya. Aku hanya ingin melihat Alya, memastikan dia baik-baik saja.”
Lita menatap Bimo dengan penuh perhatian. “Aku mengerti. Tapi kau harus ingat, menjaga kedamaian rumah tangga Alya dan Faris itu penting. Hargai privasi mereka. Kamu harus siap jika akhirnya bertemu Faris.”
Bimo mengangguk lagi, matanya menunjukkan tekad dan rasa bersalah. “Aku tidak akan mengganggu kehidupan mereka. Aku hanya ingin menenangkan hati sendiri, melihat bagaimana Alya menjalani hidupnya.”
Lita menghela napas, lalu tersenyum lembut. “Baiklah. Aku akan membantumu. Tapi ingat, jangan sampai menciptakan masalah baru.”
Setelah berbincang-bincang tentang rencana pertemuan, Bimo merasa sedikit lebih tenang. Meskipun ada keraguan dan rasa tidak pasti, dia merasa lega bisa mendapatkan informasi tentang Alya.
Sementara itu, di hati Alya, rasa rindu terhadap masa lalu dan kehadiran Bimo masih membekas, meskipun kini kehidupannya telah berubah. Bimo dan Alya tidak lagi memiliki hubungan khusus, namun kenangan dan perasaan terdalam mereka tetap ada, membentuk jalinan yang rumit dalam pikiran mereka masing-masing.
Mereka sama-sama merindukan masa lalu yang penuh kehangatan, meskipun sekarang jalur hidup mereka berbeda. Dan dengan setiap pertemuan yang direncanakan, baik itu secara langsung atau tidak, mereka berdua masih berusaha memahami perasaan sesungguhnya yang mengikat mereka.
Lita berpikir sejenak, mencari cara terbaik untuk membantu Bimo tanpa menciptakan masalah bagi Alya. Dia mengangkat pandangannya kembali kepada Bimo.
“Kamu benar-benar ingin bertemu Alya, ya?” tanya Lita.
Bimo mengangguk, pandangannya serius. “Iya, Ta. Aku perlu memastikan dia baik-baik saja.”
Lita menghela napas pelan. “Baiklah. Aku akan coba carikan cara yang paling aman dan tidak mencurigakan.”
Setelah pertemuan di kafe itu, Lita mulai menyusun rencana. Dia memutuskan untuk mengundang Alya ke acara kecil di rumahnya, alasan yang cukup masuk akal untuk pertemuan tanpa membuat Alya atau Faris curiga.
Beberapa hari kemudian, Lita menghubungi Alya dan mengundangnya untuk datang ke rumahnya.
“Alya, aku ingin kamu datang ke rumahku sore ini. Aku punya beberapa barang lama yang mungkin kamu suka. Lagipula, kita sudah lama tidak bertemu, jadi aku pikir ini kesempatan yang baik untuk kita ngobrol dan bernostalgia.”
Alya senang mendengar ajakan Lita. “Tentu, Lita. Aku akan datang. Penasaran juga ingin lihat apa saja barang lamamu yang menarik.”
Sore itu, Alya tiba di rumah Lita. Rumahnya yang hangat dan nyaman memberikan rasa tenang bagi Alya. Mereka duduk di ruang tamu yang didekorasi dengan apik, dan mulai berbincang ringan.
Setelah beberapa waktu, Lita berdiri dan berkata, “Alya, ada seseorang yang ingin bertemu denganmu. Ini cukup mendadak, tapi aku pikir kamu akan senang bertemu dengannya.”
Alya menatap Lita dengan bingung. “Siapa, Lita?”
Sebelum Lita bisa menjawab, pintu ruang tamu terbuka dan Bimo masuk, terlihat gugup namun penuh tekad. Alya membeku sejenak, matanya melebar karena terkejut.
“Bimo?” suara Alya hampir berbisik. Dia merasa jantungnya berdetak lebih cepat, campuran antara kebahagiaan dan kegelisahan memenuhi hatinya.
Bimo tersenyum, merasa lega melihat Alya lagi. “Hai, Alya. Lama gak bertemu.”
Alya masih terdiam, mencoba mencerna situasi. “Apa yang... bagaimana bisa kamu di sini?”
Lita tersenyum tipis. “Aku yang mengatur pertemuan ini. Bimo baru kembali dari luar negeri dan dia ingin bertemu denganmu. Maaf kalau ini terlalu mendadak.”
Bimo melangkah mendekat, namun berhenti beberapa langkah dari Alya, memberikan ruang. “Aku mendengar tentang kecelakaan yang menimpa keluargamu, Alya. Aku sangat khawatir. Aku hanya ingin memastikan kamu baik-baik saja.”
Alya merasa matanya mulai berair, campuran antara rasa kehilangan dan kelegaan melihat Bimo di hadapannya. “Terima kasih, Bimo. Aku baik-baik saja... sebaik mungkin dalam situasi ini.”
Lita melihat bahwa Alya dan Bimo membutuhkan waktu untuk berbicara, jadi dia meninggalkan mereka berdua di ruang tamu. “Aku akan membuatkan teh untuk kita,” katanya sambil tersenyum, memberikan mereka privasi yang diperlukan.
Setelah Lita pergi, Bimo dan Alya duduk berhadapan. Mereka mulai berbicara, menceritakan segala hal yang terjadi dalam hidup mereka selama bertahun-tahun. Meskipun banyak yang telah berubah, perasaan nyaman dan keakraban di antara mereka tetap sama.
“Bimo, aku senang kamu kembali,” kata Alya pelan, menatap Bimo dengan mata berkaca-kaca. “Aku tidak pernah menyangka kita akan bertemu lagi.”
Bimo tersenyum lembut. “Aku juga senang bisa melihatmu lagi, Alya. Kita memiliki begitu banyak kenangan bersama. Meskipun jalur hidup kita berbeda, aku selalu mengingatmu. Em, maksudku sebagai teman yang pernah berjuang bareng." Bimo meralat.
Pertemuan itu penuh dengan kehangatan dan nostalgia, membangkitkan kenangan indah yang pernah mereka bagi. Meskipun Alya sekarang sudah memiliki kehidupan baru, kehadiran Bimo memberikan penghiburan di tengah kehilangan yang dialaminya. Dan bagi Bimo, melihat Alya baik-baik saja adalah hal yang paling penting.
Lita kembali dengan teh, membiarkan mereka melanjutkan percakapan mereka dalam suasana yang nyaman. Meskipun masa lalu tidak bisa diulang, momen ini adalah pengingat bahwa persahabatan dan kenangan indah tetap hidup di hati mereka.
Bersambung...