Dialah Azzura. Wanita yang gagal dalam pernikahannya. Dia ditalak setelah kata sah yang diucapkan oleh para saksi. Wanita yang menyandang status istri belum genap satu menit saja. Bahkan, harus kehilangan nyawa sang ayah karena tuduhan kejam yang suaminya lontarkan.
Namun, dia tidak pernah bersedia untuk menyerah. Kegagalan itu ia jadikan sebagai senjata terbesar untuk bangkit agar bisa membalaskan rasa sakit hatinya pada orang-orang yang sudah menyakiti dia.
Bagaimana kisah Azzura selanjutnya? Akankah mantan suami akan menyesali kata talak yang telah ia ucap? Mungkinkah Azzura mampu membalas rasa sakitnya itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
*Bab 07
Tiga tahun kemudian.
Waktu berlalu cukup cepat bagi orang yang tidak sedang berjuang. Namun, bagi yang sedang berjuang mati-matian, waktu berjalan terasa sangat lambat. Apalagi untuk seseorang yang sedang menunggu sesuatu. Rasanya, waktu berjalan seperti siput yang bergerak saja.
"Kak Angga. Sudah tiga tahun berlalu lho, kak. Kamu kok masih belum bersedia menikah denganku sih? Bukannya kamu janji mau nikah sama aku sejak dulu."
"Tania. Aku belum bisa menikah denganmu karena harus menyelesaikan semua urusan pekerjaanku yang merepotkan ini. Kamu juga tahu sendiri bagaimana kehidupanku selama tiga tahun terakhir, bukan?"
Kesal Tania, dia langsung bangun dari duduknya. Tak lupa, ia hentakkan kakinya ke lantai dengan wajah yang terlihat sangat-sangat tidak bahagia.
"Pekerjaan-pekerjaan. Terus saja berikan aku alasan pekerjaan kak Angga. Aku bosan menunggu. Sudah tiga tahun semuanya berlalu begitu saja. Masa tidak ada kejelasan sama sekali. Aku ini manusia lho, kak. Ada waktunya lelah dalam penantian."
Belum sempat Angga menjawab apa yang Tania katakan, pintu ruangan kerja Anggara langsung dibuka dengan terburu-buru oleh seseorang dari luar sana. Siapa lagi dia yang begitu berani melupakan tata krama nya kalau bukan Adya yang sedang terburu-buru.
"Tuan muda. Ada kabar terbaru tentang desainer terkenal Yura."
Angga yang mendengar ucapan Adya pun langsung antusias menanggapi ucapan tersebut. Bahkan, dia langsung bangun dari duduknya.
"Desainer Yura? Ada kabar apa tentang dia?"
"Desainer Yura di kabarkan datang ke tanah air hari ini, tuan muda. Tapi titip tuju pastinya saya masih belum tahu. Saya hanya mendapatkan kabar ini untuk sekarang."
"Bagus, Adya. Kita tahu dia ada di tanah air saja sudah cukup membantu. Kedatangannya ke tanah air sudah termasuk memudahkan kita untuk bertemu dengannya."
"Selidiki lagi lokasi keberadaan desainer Yura secepatnya. Aku yang akan datang sendiri untuk bertemu dengan dia jika sudah tahu di mana dia berada."
"Tapi, tuan muda. Apakah tuan muda yakin untuk datang sendiri sebelum membuat janji? Bagaimana kalau desainer itu menolak untuk bertemu. Saya dengar, desainer Yura orangnya cukup tegas dan ... sedikit galak, tuan muda."
"Galak? Apa-apaan sih kamu, Adya? Siapa yang berani nolak kak Angga, ha? Jika desainer itu berani melakukannya, biar aku sendiri yang datang untuk bicara." Kesal Tania karena ucapan Adya barusan.
Namun, bukannya mendapatkan pembelaan dari Anggara, Tania malah menerima teguran atas apa yang baru saja ia katakan.
"Tan, jangan ikut campur. Ini urusan pekerjaan. Aku tidak suka wanitaku ikut campur dalam urusan pekerjaan. Kamu tahu siapa aku bukan?"
"Ya ... tapi, kak."
"Desainer Yura adalah desainer yang paling terkenal selama dua tahun terakhir. Dia tidak mudah untuk digapai. Kerja sama dengannya adalah impian semua pembisnis fashion tanpa terkecuali. Setiap karyanya punya keunikan tersendiri. Jadi wajar jika dia punya prinsip dan sedikit berbangga diri. Karena dia memang orang yang tinggi, bukan?"
"Tapi kamu tidak harus merendahkan diri hanya untuk bekerja sama dengannya, kak Angga. Karena kamu memang punya kuasa dalam dunia bisnis, bukan?"
"Ya. Tapi -- "
"Maaf, tuan muda. Saya sudah tahu ke mana titik tuju desainer Yura sekarang."
"Ke mana, Adya?"
"Kota S."
"Kota S? Bersiap-siap. Kita berangkat ke sana sekarang juga."
Gegas Tania menahan tangan Angga dengan melingkarkan tangannya ke lengan Angga.
"Aku ikut."
"Tidak. Kamu tunggu di sini saja. Awasi kantor dengan baik."
"Tapi, kak."
"Perjalanan membutuhkan banyak waktu. Biar aku dan Adya saja pergi. Kamu tetap di sini."
Angga dan Adya meninggalkan ruangan tersebut. Sedangkan Tania malah terdiam memikirkan begitu banyak perubahan yang sedang ia alami sejak beberapa waktu berlalu.
Angga sulit untuk ia taklukkan sekarang. Entah karena apa, rasanya dia semakin tidak ada artinya bagi Angga. Sudah sering Angga menolaknya. Tidak mendengarkan apa yang ia katakan.
Dulu, ia pikir dia bisa langsung jadi nyonya Hardian setelah menyingkirkan para penghalang. Tapi nyatanya, penghalang sudah tidak ada, statusnya masih saja tidak berubah. Masih saja menjadi pacarnya pewaris Hardian meski sudah tiga tahun berlalu.
"Sial!"
"Semoga saja desainer Yura itu orang tua. Dengan begitu, aku tidak akan punya saingan lagi."
"Tunggu! Apa? Saingan?"
"Ya Tuhan. Apa yang sedang aku pikirkan."
Di sisi lain, Azzura yang sekarang sudah dipanggil Yura sedang berada di dalam mobil bersama satu asistennya. Tiga tahun berlalu sejak ia meninggalkan tanah air. Semua telah banyak berubah. Jalan yang ia lalui kini tidak sama seperti jalan yang ia lalui saat pergi tiga tahun yang lalu. Banyak pula pembangunan yang terlihat di sana sini.
"Mbak. Makan dulu atau langsung ke tempat tujuan?" Lula bertanya dengan lembut.
Alula Handayani. Gadis itu muda dua tahun dari Yura. Dia bertemu di saat Yura sudah berjuang selama enam bulan di luar negeri. Dia adalah gadis tanah air yang juga bernasib sama dengan Yura. Dia dibuang keluarga. Dicampakkan kekasih, bahkan sempat hampir di lecehkan karena ia dijual oleh kekasihnya yang tidak punya otak.
Pertemuan yang tidak disengaja saat Lula benar-benar dalam bahaya membuatnya ingin mengabdi dan mengikuti Yura ke manapun Yura pergi. Alhasil, hingga saat ini gadis itu terus bersama Yura ke manapun Yura pergi. Dia adalah asisten yang sangat tangguh bagi Yura.
Tidak hanya sebagai asisten sebenarnya. Melainkan Yura sudah menganggap Lula sebagai saudara kandungnya sendiri. Keduanya sangat dekat, saling mendukung juga saling melengkapi satu sama lain.
"Langsung ke rumah mama Hani saja, Lu."
"Tapi tunggu! Apa kamu lapar?"
"Ngga kok mbak. Aku tidak lapar. Aku hanya cemas sama mbak Yura saja. Mbak punya maag, jadi tidak boleh telat makan."
"Iya-iya. Ingat kok, bu dokter. Udah makan cemilan tadi kan? Jadi, sudah dihitung makan juga dong."
"Eh ... cemilan ngga dihitung makan lho, mbak. Makan itu ya makan makanan pokok. Bukan cemilan."
Yura tersenyum manis.
"Baiklah, bu dokter. Ayo kita makan dulu."
"Pak. Mampir rumah makan yah."
"Baik, mbak."
Mereka pun masuk ke rumah makan terdekat yang kebetulan itu adalah rumah makan terbesar yang ada di kota tersebut. Saat Yura membayar dengan menggunakan kartunya, sontak saja, identitas desainer Yura langsung terkonfirmasi. Karena Yura lupa, kalau kartu ATM yang ia pakai adalah ATM khusus yang ia gunakan saat berada di luar negeri.
Beruntungnya, tidak banyak yang tahu akan data pribadinya itu. Tapi Adya, langsung bisa mengetahui di mana desainer Yuna berada hanya kartu kartu yang Yura gunakan.
"Tuan muda. Nona Yura ada di rumah makan terbesar di kota ini. Apa kita harus pergi ke sana sekarang juga?"
"Tentu saja. Ayo berangkat!"
Terburu-buru mereka pergi. Namun, saat Angga dan Adya tiba, Yura dan Lula malah sudah meninggalkan rumah makan tersebut.