Lama mengasingkan diri di Pulau Kesepian membuat Pendekar Tanpa Nyawa tidak tenang. Sebagai legenda tokoh aliran hitam sakti, membuatnya rindu melakukan kejahatan besar di Tanah Jawi.
Karena itulah dia mengangkat budak perempuannya yang bernama Aninda Serunai sebagai murid dan menjadikannya sakti pilih tanding. Racun Mimpi Buruk yang diberikan kepada Aninda membuatnya tidak akan mengenal kematian. Dia pun diberi gelar Ratu Abadi.
Satu-satunya orang yang pernah mengalahkan Pendekar Tanpa Nyawa adalah Prabu Dira Pratakarsa Diwana alias Joko Tenang tanpa melalui pertarungan. Karena itulah, target pertama dari kejahatan yang ingin Pendekar Tanpa Nyawa lakukan melalui tangan Aninda adalah menghancurkan Prabu Dira.
Aninda kemudian membangun kekuatan dengan menaklukkan sejumlah pendekar sakti dan menjadikannya anak buah.
Mampukah Aninda Serunai menghadapi Prabu Dira yang sakti mandraguna? Temukan jawabannya di Sanggana 8 yang berjudul "Dendam Ratu Abadi".
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rudi Hendrik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Raab 29: Kelicikan Cempaka
*Ratu Abadi (Raab)*
“Pertandingan pertamaaa! Adi Ronggoloyo melawan Cempaka Aiiir!” teriak Wadi Mukso sangat bersemangat, sampai-sampai berair-air. Namun tenang saja, tetap aman karena tidak ada orang yang meletakkan wajah di depannya.
“Hihihi!” tawa Cempaka Air pendek, seolah-olah dia senang mengetahui siapa lawannya.
“Heh, hanya perempuan,” ucap Adi Ronggoloyo seraya tersenyum meremehkan.
Apa kabar bokong?
Beruntung Adi Ronggoloyo karena memiliki tabib yang tepat fungsi, yaitu Tangpa Sanding. Luka di bokongnya dapat pulih dalam waktu cepat. Meski tidak sembuh seratus persen, tetapi masih bisa dipakai bergoyang dan bertarung.
Sejumlah pendekar yang terluka dari pertarungan-pertarungan sebelumnya jadi meminta bantuan Tangpa Sanding untuk diobati. Namun, Tangpa Sanding hanya memiliki ilmu pengobatan Pijat Tangan Tabib Malaikat yang hanya bisa mengobati luka luar, bukan luka dalam. Jadi, hanya dua pendekar yang dia bantu. Syarat yang diajukan oleh Tangpa Sanding membuat mereka yang minta diobati jadi batal niat.
Cempaka Air dan Adi Ronggoloyo sudah berdiri berhadapan di atas panggung. Mereka saling tatap. Cempaka Air menatap dingin dan Adi menatap seraya tersenyum penuh tafsir.
“Adi! Ingat, kutu air itu bercandanya keterlaluan!” teriak Aji Ronggoloyo kepada adiknya.
“Tentu, akan aku buat dia menyesal telah menggoda kita!” sahut Adi Ronggoloyo.
Wusz! Bsret!
“Kutu Air siluman!” maki Aji Ronggoloyo setelah terkejut dan menghindari serangan sinar merah tipis yang dilesatkan oleh Cempaka Air dari atas panggung.
Cempaka Air marah disebut “kutu air”.
“Biar aku yang menjadikannya kutu air rawa-rawa,” sesumbar Adi Ronggoloyo.
“Apakah kau tidak terpikat oleh kecantikan dan hadiahku, Kakang Adi?” tanya Cempaka Air seraya berubah tersenyum dengan tatapan syahdu. Dia mengulurkan tangan halusnya yang menggenggam sesuatu.
“Kau memang cantik, tetapi aku tidak akan tertipu seperti Abon Rentak tolol itu,” kata Adi Ronggoloyo.
Set!
“Jurig!” teriak Adi Ronggoloyo memaki. Dia terkejut sambil melompat menghindari golok besar yang melesat kepadanya dari samping.
Abon Rentak yang sepasang matanya sudah bisa melihat kembali marah disebut “tolol”. Dia pun tanpa malu-malu melesatkan golok hamilnya.
Setelah mendarat kembali, Adi Ronggoloyo kembali fokus kepada Cempaka Air. Dia melihat Cempaka masih mengulurkan tangan kanannya dengan jari-jari menggenggam.
“Jadi kau tidak mau hadiah dariku?” tanya Cempaka Air.
“Aku tidak mau buta. Cukup bokongku yang menjadi korban, mataku jangan,” kata Adi Ronggoloyo.
“Baiklah jika kau tidak mau. Padahal aku hanya ingin memberikan buah apel,” kata Cempaka Air lalu membuka jari-jari tangannya yang tergenggam.
Maka terlihatlah sebuah apel sebesar kepalan tangan.
Terkejut Adi Ronggoloyo dan para penonton, termasuk Pangeran Ulur Langit dan Adipati Rempah Alot. Jika buah yang tadi digenggam oleh tangan Cempaka Air adalah apel sebesar itu, seharusnya tadi tidak mungkin tertutupi oleh jari-jari. Akan masuk akal jika yang digenggam adalah biji salak atau biji yang lain. Namun, kalau apel sebesar kepalan? Sepertinya Cempaka Air pernah kursus sulap di masa tuanya.
Duk!
Di saat Adi Ronggoloyo masih mendelik karena terheran seolah-olah ini bukan dunia pendekar, apel di telapak tangan Cempaka Air jatuh ke lantai. Dengan tenangnya Cempaka Air membungkuk memungut buah apelnya yang berwarna merah asli.
Adi Ronggoloyo kian terbeliak dan sekali menelan salivanya. Pasalnya dia disuguhkan pemandangan dua gunung tandus yang bisa menyembul dan memiliki saluran irigasi kering, tepat di depan matanya. Sesuatu pun berdesir turun di dalam perutnya lalu turun entah ke mana.
Setelah memungut apelnya, tapi masih dalam posisi membungkuk, Cempaka Air tiba-tiba melambungkan buahnya ke arah wajah Adi Ronggoloyo.
Tap! Zerzzz!
“Aaakkkrr!” jerit Adi Ronggoloyo dengan tubuh mengejang tersengat daya listrik tegangan tinggi. Sementara apel yang refleks dia tangkap tetap tergenggam di tangan kanannya.
“Licik!” teriak Aji Ronggoloyo gusar melihat tipuan Cempaka Air.
Gadis cantik itu memiliki ilmu yang bernama Titip Petir. Benda apa saja bisa dia titipi daya listrik, yang jika dipegang oleh orang lain maka orang itu akan tersengat.
Seet! Dug!
“Hukh!”
Aji Ronggoloyo cepat menolong adiknya dengan melempar cawan emas kesayangannya dari arah belakang. Cawan emas itu melesat cepat dan menghantam keras punggung Adi Ronggoloyo yang sedang tersengat.
Hasilnya, Adi Ronggoloyo terdorong ke depan dengan buah apel jatuh terlepas dari genggamannya.
Baks baks!
Karena Adi Ronggoloyo terdorong ke depan, jadi dia justru datang kepada Cempaka Air. Tanpa tanggung-tanggung, Cempaka Air menyambut tubuh lawannya itu dengan dua hantaman telapak tangan bertenaga dalam tinggi.
Adi Ronggoloyo yang sedang tidak berdaya hanya bisa tertahan dan terhentak keras dua kali. Darah seketika muncul dari dalam mulutnya.
Buk!
Cempaka Air selanjutnya menendang perut Adi Ronggoloyo. Tentunya bukan tendangan mesra, tetapi tendangan mait, levelnya masih di bawah maut.
Adi Ronggoloyo terlempar balik ke belakang dan jatuh terjengkang, lalu terlentang, tapi belum pasrah.
“Aaakrr!” erang Adi Ronggoloyo seraya menggeliat lemah karena dia memang dalam kondisi lemas setelah disetrum, dihantam cawan emas, ditambah dua pukulan dan satu tendangan.
Wusz! Bset!
“Aaakk!” jerit Adi Ronggoloyo lagi.
“Adiii!” teriak Aji Ronggoloyo sangat cemas tanpa bisa berbuat apa pun.
Cempaka Air melompat mengudara sambil melesatkan satu sinar merah tipis dari ilmu Pelukan Tajam. Seharusnya Adi Ronggoloyo mati, tetapi Cempaka Air sepertinya tidak mau membunuhnya.
Serangan Pelukan Tajam hanya menebas papan panggung hingga berlubang dengan pola memanjang dan juga hanya merobek lengan kiri Adi Ronggoloyo. Lengan itu hanya menderita luka parah tanpa mengenai tulang apalagi terpotong. Sepertinya Cempaka Air tidak mau kehilangan hadiah.
Jleg!
Wuss!
Saat mendarat kembali di lantai panggung, Cempaka Air cukup mengibaskan tangan kanannya. Segulung angin dahsyat menderu dan menerbangkan tubuh Adi Ronggoloyo keluar dari atas panggung.
Aji Ronggoloyo segera melompat menyambar tubuh adiknya di udara.
Gong!
“Berakhir! Pemenangnya adalah Cempaka Air!” teriak Wadi Mukso.
Tanpa senyum kemenangan, Cempaka Air lalu melangkah turun dari panggung.
“Ternyata Pendekar Sombong besar di mulut saja, kesaktiannya hanya kabar ayam,” kata Ki Kenyot Sekarat, seorang pendekar tua bertubuh kurus bin ceking. Tangannya saja sudah seperti tulang berbalut kulit, seolah-olah tidak ada otot dan daging lagi yang layak dikonsumsi. Dia membawa tongkat bambu kuning yang agak melengkung.
“Itu karena kutu air siluman itu bermain curang!” teriak Aji Ronggoloyo membela diri.
“Pertarungan selanjutanya, Aji Ronggoloyo melawan Nini Kuolooot!” teriak Wadi Mukso.
“Sudah waktunya menghancurkan mulut kurang ajarmu, Bocah Kentut!” kata Nini Kuolot. Dia lalu berjalan pelan mendekati panggung. Namun, ketika dia naik ke atas, lompatannya pakai salto dan mendarat tanpa suara di lantai panggung.
“Kakang Tangpa, tolong obati adikku,” pinta Aji Ronggoloyo santun kepada Tangpa Sanding yang sedang duduk sambil memijat pundak seorang pendekar yang sudah kalah pada babak kedua.
“Baik,” ucap Tangpa Sanding. Lalu katanya lagi, “Jangan kasih napas nenek-nenek yang sudah tua itu.”
“Tidak perlu kau sebut tua, dia memang sudah terlihat tua, Kakang Tampan,” kata Pandan Duri yang duduk tidak jauh dari Tangpa Sanding. Dia membiarkan ularnya melilit di tiang obor tanpa ada yang berani mengusiknya.
“Hahaha!” tawa Tangpa Sanding.
Aji Ronggoloyo lalu meletakkan tubuh adiknya di dekat Tangpa Sanding yang memilih menawarkan jasa pijat daripada ikut bertanding. Tangpa Sanding segera beralih sejenak kepada Adi untuk menutup pendarahan pada lengannya.
Sementara itu, Aji Ronggoloyo berkelebat naik ke atas panggung. (RH)