Halwa mencintai Cakar Buana, seorang duda sekaligus prajurit TNI_AD yang ditinggal mati oleh istrinya. Cakar sangat terpukul dan sedih saat kehilangan sang istri.
Halwa berusaha mengejar Cakar Buana, dengan menitip salam lewat ibu maupun adiknya. Cakar muak dengan sikap cari perhatian Halwa, yang dianggapnya mengejar-ngejar dirinya.
Cakar yang masih mencintai almarhumah sang istri yang sama-sama anggota TNI, tidak pernah menganggap Halwa, Halwa tetap dianggapnya perempuan caper dan terlalu percaya diri.
Dua tahun berlalu, rasanya Halwa menyerah. Dia lelah mengejar cinta dan hati sang suami yang dingin. Ketika Halwa tidak lagi memberi perhatian untuknya, Cakar merasa ada yang berbeda.
Apakah yang beda itu?
Yuk kepoin cerita ini hanya di Noveltoon/ Mangatoon.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hasna_Ramarta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33 Cakar Khawatir
Halwa meraba lebih dalam lagi tangannya ke dalam tas, sayang, tetap saja Hp dan dompet itu tidak ditemukannya. Halwa bingung dan rasanya ingin menangis. Tapi masih ada harapan, ia mencoba meraba dan membuka resleting sekatan tasnya yang lain, siapa tahu dia menemukan uang receh lima atau sepuluh ribu untuk ongkos pulang naik angkot ke rumahnya.
Naasnya di saku tas, Halwa tidak menemukan uang sepeserpun dan ini diluar kebiasaannya. Biasanya Halwa selalu meletakkan sisa uang belanja disekatan tas, kali ini nihil. Uang recehan 500 perak saja tidak ada. Halwa benar-benar seakan ketiban sial.
"Seandainya saja ada salah satu barang yang bisa kuandalkan, Hp misalnya, aku bisa hubungi Helmi untuk minta antar pulang ke rumah," harapnya sembari berandai.
Salon Male dan Female saja, jam 20.00 sudah sepi dan sepertinya pengunjung salon sudah teratasi dari sebelum jam enam sore. Seandainya masih ada orang di dalam, pasti dengan mengesampingkan rasa malu, Halwa akan meminjam dulu uang untuk ongkos pulang naik angkot atau ojeg.
Halwa kini berjalan menuju halte, untuk menuju halte ia harus menyebrang jalan dulu. Halwa berhasil menyebrang dan duduk di bangku halte, menunggu angkot menuju rumahnya. Dia memutuskan untuk pulang saja naik angkot dan dibayar di rumah.
Halwa sudah ketar-ketir, sebab kalau sudah jam delapan ke atas angkot menuju rumahnya jarang beroperasi, paling satu dua saja itupun lama.
Halwa sudah terlihat risau, terlebih daerah yang dia duduki itu merupakan daerah sepi kalau sudah menjelang malam.
"Ya Allah, bantu aku. Ibu, Helmi, datang sini, Halwa butuh kalian," sebut Halwa sudah sangat takut, terlebih jika melihat motor berseliweran dengan suara knalpot yang merusak daun telinga, Halwa sudah sangat takut, bayangannya adalah geng motor.
"Ya Allah," desahnya lagi sembari melihat kiri kanan dengan mata berair. Dia sama sekali tidak memikirkan akan pertolongan suaminya. Sama sekali nama Cakar tidak terucap dari bibirnya untuk disebut.
Halwa melihat ke sebrang, ada beberapa mobil menuju rumah sang ibu masih banyak seliweran. Halwa bermaksud menyebrang saja, mencegat angkot ke rumah ibunya, lalu membayar ongkosnya di sana. Dan pulang ke rumah suaminya minta diantar Helmi saja sang adik. Sayang, angkot itupun sudah melaju dari tempat itu.
Halwa kembali mendesah kecewa dan sedih. Halwa termenung menahan air mata yang akan jatuh di sudut mata.
Tiba-tiba sebuah mobil berwarna merah metalik berhenti di pinggir halte tempat Halwa duduk gelisah. Sang pengemudi membuka jendela pintu mobil itu dengan wajah penasaran.
"Kamu," serunya, lalu segera membuka pintu mobil dan turun dari mobil setelah ia mengenali siapa di halte itu. Pemuda itu menghampiri Halwa yang duduk gelisah juga takut ketika melihat sebuah mobil berhenti di sampingnya.
"Kamu, Dek? Kamu istrinya Sertu Cakar bukan?" tanya pemuda bertubuh kekar tinggi, berkepala cepak dengan wajah tampan meyakinkan, menatap Halwa. Halwa mendongak terkejut, tapi setelahnya dia kaget campur bahagia, setidaknya ada orang lain yang kenal dengannya untuk mengobati rasa takutnya ketika sendiri menunggu datangnya angkot.
"Mas Aldian," serunya.
"Kenapa kamu sendirian di sini, apakah Cakar tidak menjemput kamu, Dik? Ini sudah jam delapan malam dan jalanan ini mulai sepi." Pemuda tampan berahang tegas tapi ramah ini, ternyata Letda Aldian Bahari yang pernah Halwa kenal saat Halwa menunggu Cakar di taman samping gedung Soemarmo tempo bulan lalu.
Aldian nampak khawatir melihat Halwa duduk di bangku halte sendirian. Lalu dia menawarkan bantuannya untuk mengantar Halwa pulang saja.
"Saya kebetulan ketinggalan Hp dan dompet. Saat ini saya sedang menunggu angkot ke rumah. Tapi berhubung Hp saya tidak ada, saya tidak bisa menghubungi suami saya atau saudara." Halwa memberi alasan.
"Ok, kalau begitu, kamu naik mobil saya. Saya antar kamu pulang sampai rumah," tawarnya berbaik hati membuat Halwa sedikit tenang. Tapi Halwa menolak kebaikan Danton satu itu. Dia tidak bisa menerima bantuan lelaki manapun meskipun dalam keadaan terjepit seperti saat ini.
"Tidak, Mas. Saya akan menunggu angkot saja. Nanti juga akan ada angkot jurusan rumah saya." Halwa menolak.
"Jangan keras kepala, saya hanya mau antar kamu pulang, bukan mau apa-apa. Saya juga punya adik perempuan, pastinya akan khawatir juga jika melihat adik sendiri dalam keadaan sama seperti kamu," bujuk Aldian masih berusaha meyakinkan Halwa untuk mau diantarnya sampai rumah.
"Tidak, Mas." Halwa menolak lagi tawaran Aldian, dia masih menunggu angkot datang.
"Angkot itu masih ada beberapa saja, tapi akan lama menunggunya. Lebih baik kamu naik mobil saya, saya antar sampai rumah dengan selamat. Memangnya suami kamu tidak tahu kamu akan pulang jam berapa? Tega benar dia tidak menjemput istrinya." Aldian masih berusaha membujuk Halwa yang kekeuh akan menunggu angkot, seraya mendumel dengan sikap Cakar yang tega membiarkan istrinya diam di halte menunggu angkot datang.
"Suami saya tidak tahu saya akan pulang jam berapa, Mas. Sebab tadi pagi sebelum pergi dia sempat bertanya jam berapa saya pulang, tapi saya tidak bilang jam berapa saya akan pulang, karena kebetulan hari ini saya dapat job di luar salon tempat saya bekerja," terang Halwa terdengar membela Cakar.
Aldian mengangguk paham, tapi dia tidak mau membiarkan Halwa menunggu lebih lama lagi di halte.
"Setengah jam lagi jika angkot itu belum muncul, terpaksa saya harus paksa kamu untuk naik mobil dan saya mengantar kamu sampai rumah," ultimatumnya tidak bisa dibantah lagi. Akhirnya Halwa mengangguk setuju sembari dalam hati berdoa semoga angkot yang ditunggunya segera datang saja daripada harus numpang mobil Aldian, yang ada dia merasa malu kalau harus merepotkan orang lain.
"Nih, kamu minumlah dulu. Ini air mineral masih segel," sodor Aldian memberikan sebotol air mineral pada Halwa.
***
Sementara itu di rumah Cakar, Cakar baru pulang tepat di jam 19.30. Lampu belum menyala menandakan Halwa belum pulang. Dia juga tidak tahu jam berapa Halwa akan pulang, sebab Halwa tidak menyebutkan akan pulang jam berapa tadi pagi.
Cakar segera menaiki tangga setelah menyalakan lampu tengah. Dia segera memburu kamar yang lampunya masih gelap juga.
Lampu dinyalakan dan teranglah kamar itu. Cakar duduk di sofa membuka baju PDH nya lalu menggantung seragamnya di kastop. Sejenak ia menyandarkan tubuh lelahnya di atas sofa malas. Sejenak bayang Halwa yang sedih saat dia marahi tadi di kamar sebelah membayang begitu saja, rasa bersalah tiba-tiba menyeruak dalam dadanya.
"Kenapa aku masih selalu marah terhadap Halwa, padahal dia sudah sebaik itu mengurusku? Aku menyesal mengapa harus terjebak dalam situasi begini. Halwa ternyata perempuan baik-baik dan sederhana tidak banyak ulah. Tapi aku tidak menyukai tingkahnya yang caper," gumamnya kesal.
Masih saja Cakar menganggap Halwa itu caper. Mungkin memang Cakar belum bisa move on dari Seli, jadi apapun yang dilakukan Halwa hanya akan mengundang rasa marah.
Cakar bangkit dari sofa malasnya, dia bermaksud menuju lemari untuk mengambil kaos oblong dan celana pendeknya. Namun langkahnya terhenti ketika matanya tertuju meja rias.
"Bukankah ini Hp dan dompet Halwa? Duit ini juga duit yang aku kasih tadi. Ya ampun, jadi si Halwa ini ketinggalan semua barang-barang pentingnya. Dasar pelupa," umpatnya disertai perasaan kaget plus kesal karena begitu teledornya Halwa, melupakan barang yang sangat penting baginya.
Sejenak Cakar membuka dompet Halwa, ia penasaran juga dengan isinya. Di sela pertama tepatnya di penyekat bening, ia melihat fotonya juga foto pengantinnya diselipkan di sana.
Cakar mengeluarkan kedua foto itu, lalu foto dirinya yang sedang menggunakan pakaian PDH dibaliknya, ternyata ada sebuah tulisan di sana. "Suamiku." Disertai emot cinta dan cium.
Sejenak Cakar menghela nafas, dia bisa menilai Halwa memang mencintainya. Cakar mengembalikan lagi kedua foto itu ke tempat semula dan meletakkan dompet itu di atas meja rias.
"Ya ampun, jam berapa sebetulnya si Halwa pulang. Mana aku tidak tahu di mana dia mendapat job luar. Aku hampiri ke salon Male dan Female saja," putusnya sembari keluar kamar dengan tergesa, rasa khawatir tiba-tiba muncul dalam dada dan Cakar harus menjemputnya.