Jakarta, di tengah malam yang sunyi, kedamaian tiba-tiba pecah oleh suara gemuruh menakutkan dari kejauhan. Para remaja —terbangun dari tidur mereka hanya untuk menemukan kota diselimuti kegelapan mencekam. Bayangan-bayangan mengerikan mulai merayap di sudut-sudut jalan; mereka bukan manusia, melainkan zombie kelaparan yang meneror kota dengan keganasan tak terkendali. Bangunan roboh dan jalanan yang dulu damai berubah menjadi medan perang yang menakutkan. Para remaja ini harus menghadapi mimpi buruk hidup mereka, bertarung melawan waktu dan makhluk-makhluk buas untuk bertahan hidup.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yes, me! Leesoochan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 3
Jakarta yang biasanya hidup dengan deru kendaraan dan gemerlap lampu, malam itu terasa seperti kota yang ditinggalkan. Angin menderu kencang, membuat pepohonan di sepanjang jalan bergoyang liar, dan jendela-jendela bergetar seperti akan pecah. Di seluruh kota, listrik berkedip-kedip, mengirimkan rasa cemas ke setiap sudut. Langit yang seharusnya diterangi oleh lampu-lampu kota kini tampak seperti tirai hitam tanpa bintang, menyembunyikan rahasia kelam di baliknya.
Di kamarnya yang berantakan dengan buku-buku pelajaran berserakan, Aisyah merasa ada yang tidak beres. Cahaya lampu yang terus berkedip-kedip memantul di dinding kamarnya, menciptakan bayangan-bayangan aneh. Dia berdiri dari kursi belajarnya, tubuhnya tegang, lalu melangkah ke jendela. Tangannya yang berkeringat menggenggam erat tirai saat dia mengintip keluar.
“Kenapa jalanan kosong begini?” pikirnya, dada berdebar tak keruan. Jalan yang biasanya ramai kendaraan kini tampak sunyi, hanya diterangi lampu jalan yang berkedip seakan akan mati. Di kejauhan, dia mendengar suara gemuruh aneh, dan jantungnya semakin berdegup kencang.
Dia meraih ponsel dan mencoba menelepon Delisha, namun sinyal hilang. “Apa yang terjadi dengan malam ini?” gumamnya, rasa takut mulai menjalari pikirannya.
Delisha duduk di tempat tidurnya, lututnya ditekuk dekat ke dada, memeluk bantal sambil menggigit bibir. Poster-poster warna-warni di dinding kamar yang biasanya menghiburnya kini terasa tidak relevan, seolah-olah mereka hanya hiasan dari dunia yang jauh berbeda. Layar ponselnya redup di tangan, menunjukkan pesan panggilan yang gagal.
“Kenapa nggak bisa terhubung?” Delisha bertanya pada dirinya sendiri, mencoba mengusir rasa cemas yang mulai menjalari seluruh tubuhnya. Suara gemuruh samar terdengar dari luar, membuatnya menoleh tajam ke jendela. Matanya melebar, detak jantungnya berderap lebih kencang.
"Apa itu?!" pikirnya panik. Tangan kanannya tanpa sadar meremas selimut, mencoba menenangkan dirinya. Tapi, seberapa keras pun dia memeluk selimut itu, rasa dingin di udara terasa menyusup ke dalam hatinya.
Sementara itu, Gathan yang biasanya tenang dan santai berdiri di depan jendelanya. Tubuh tegapnya terlihat tegang, dan otot-otot di rahangnya mengencang saat dia mendengar suara gemuruh yang makin keras.
"Ini bukan suara biasa," bisiknya, menatap jauh ke dalam kegelapan di luar. Tangannya menggesek kaca jendela, meninggalkan jejak panas dari kulitnya yang terasa dingin.
“Ada apa di luar sana?” gumamnya dalam hati, cemas namun berusaha menutupi ketakutannya. Namun, ada sesuatu di dalam dirinya yang menolak untuk memercayai bahwa ini hanya gangguan kecil.
Di ruangannya yang dipenuhi lukisan-lukisan indah, Jasmine berdiri terpaku di tengah. Setiap kuas dan cat yang biasanya memberinya ketenangan, kini terasa seperti benda asing. Matanya tertuju pada jendela di sudut, tubuhnya menegang mendengar suara gemuruh dari kejauhan. Cahaya dari lampu yang berkedip membentuk bayangan-bayangan seram pada lukisannya, membuat suasana semakin mencekam.
“Apa yang sebenarnya terjadi?” pikir Jasmine, perutnya terasa kecut.
Dia menggigit bibirnya, langkahnya perlahan mendekati jendela. Jari-jarinya yang gemetar menyentuh kaca.
“Kenapa malam ini terasa seperti akhir dunia?” pertanyaan itu terus bergema di pikirannya.
Di dojo yang biasanya tenang, Abib berdiri di tengah, tangannya terkepal di sisi tubuhnya. Keringat dingin mulai mengalir di pelipisnya. Gemuruh dari luar semakin keras, mengusik konsentrasinya. Matanya menyipit, mencoba mencari asal suara, tapi hanya ada kegelapan yang mencekam.
“Terlalu sunyi. Terlalu aneh,” pikirnya. Dia merasa seluruh tubuhnya bersiaga, seperti menunggu sesuatu yang besar dan menakutkan datang.
“Aku harus keluar dan mencari tahu,” ucap Abib pada dirinya sendiri, berusaha menenangkan degup jantung yang semakin kencang.
Arka memandang tak percaya ke layar komputernya yang mati mendadak. Tangannya gemetar saat mencoba menekan tombol daya berulang kali, namun sia-sia. "Apa-apaan ini?" geramnya pelan, frustrasi.
Dia melirik ke luar jendela, merasakan hawa dingin merayap dari celah kaca yang sedikit terbuka. Angin malam berhembus masuk, membawa perasaan tidak nyaman yang membuat bulu kuduknya berdiri. Suara gemuruh yang kini terdengar jelas membuatnya waspada. "Ini tidak mungkin suara biasa..." pikirnya.
Di kamarnya, Nafisah duduk di depan laptop yang tiba-tiba berhenti menayangkan berita. Tangannya yang kecil memegang erat pinggiran meja, dan detak jantungnya semakin cepat saat listrik kembali berkedip-kedip.
“Ada yang salah... ada yang tidak wajar,” pikirnya, menatap gelap di luar. Nafisah menahan napas, rasa cemas semakin menghantui saat angin malam yang dingin menerobos melalui celah pintu, membuat kulitnya merinding.
Nizam dan Azzam, yang biasanya riang, kini diam di kamar mereka. Mereka berdua merasakan ketegangan yang tidak biasa, sementara angin malam berdesir di luar, membuat tirai kamar mereka berkibar. Mereka saling bertukar pandang, bingung dengan apa yang terjadi.
Queensha duduk di kamar dengan mata yang masih menatap kosong ke arah jendela. Suara gemuruh yang mereka dengar di luar saat perjalanan pulang masih terasa menggema di telinganya. Dia meremas kedua tangannya, mencoba mengendalikan rasa takut yang mulai menguasai dirinya. “Apa suara itu? Kenapa semakin mendekat?” pikirnya dalam diam, napasnya tersengal.
Seno, di rumahnya, biasanya selalu ceria, kini terdiam di sofa. "Ini pasti mimpi buruk," gumamnya pelan, berusaha menertawakan ketakutannya sendiri. Namun, tubuhnya gemetar, dan tangan kanannya terus menggenggam erat sandaran kursi.
Masagena di rumahnya, berdiri di depan pintu, merasakan instingnya memperingatkan bahaya. "Apakah ini pertanda sesuatu yang lebih besar?" pikirnya sambil menatap tajam ke kegelapan di luar.
Pada tengah malam, suara gemuruh semakin keras, mengguncang seluruh kota. Angin yang tadinya hanya berhembus kencang, kini berputar liar seperti badai kecil. Kedua belas remaja di rumah masing-masing merasakan sesuatu yang sama, gemuruh itu bukan suara mesin, melainkan sesuatu yang lebih besar, lebih menakutkan. Seluruh Jakarta terasa seolah-olah sedang bersiap untuk sesuatu yang tidak diketahui.
Aisyah menggenggam gagang jendela lebih erat, matanya melebar saat suara itu semakin mendekat. "Apa itu?!"
Delisha menutupi telinganya dengan kedua tangan, gemetaran di tempat tidur. "Tolong, hentikan suara itu..."
Gathan mengepalkan tangan, menatap dengan mata penuh ketegangan ke arah jalan. Jasmine menyentuh kaca jendela, merasa gemuruh itu mengguncang seluruh kota. Abib bergerak cepat, mengambil langkah keluar dojo, siap menghadapi apa pun yang datang.
******
Malam yang sunyi dan mencekam tiba-tiba dipecahkan oleh suara gemuruh rendah yang terdengar dari kejauhan, seperti guntur yang menggulung di bawah tanah. Suara itu semakin lama semakin keras, seperti sesuatu yang mendekat dengan cepat. Para remaja di berbagai sudut kota Jakarta terbangun dari tidur mereka. Kebingungan dan waspada, mereka merasa ada yang tidak beres.
Aisyah, yang sejak beberapa hari terakhir sudah merasakan kecemasan yang tak terjelaskan, langsung bangkit dari tempat tidurnya. Tangannya bergetar saat meraih ponselnya. "Delisha harus tahu tentang ini," pikirnya panik. Dia menekan nomor Delisha dengan cepat. Setelah beberapa kali percobaan, akhirnya panggilan tersambung.
“Aisyah?” Suara Delisha terdengar serak di seberang, jelas belum sepenuhnya sadar dari tidurnya. “Kenapa kamu nelpon jam segini?”
Aisyah menatap ke jendela, napasnya terputus-putus. “Delisha... kamu dengar suara itu?”
Ada jeda beberapa detik sebelum Delisha menjawab, kali ini dengan nada yang lebih serius. “Iya... Aku dengar. Awalnya kupikir itu cuma angin, tapi sekarang... semakin keras.”
Delisha, yang biasanya ceria dan selalu menghadapi segalanya dengan santai, kali ini tidak bisa menyembunyikan kegelisahannya. Dia merapatkan selimut ke tubuhnya, matanya menatap gelisah ke arah pintu kamar. Suara gemuruh yang tadinya samar kini seakan membayangi, membuat suasana di sekitarnya semakin mencekam.
"Menurutmu itu apa?" tanya Delisha, kali ini suaranya terdengar lebih pelan. Di dalam hatinya, dia sudah tahu ada sesuatu yang salah.
Tiba-tiba, tanpa peringatan, sambungan telepon terputus. "Delisha?" Aisyah menatap layar ponselnya yang kini hanya menampilkan tulisan "No Signal". "Tidak mungkin..." pikirnya, rasa panik mulai merayap di benaknya.
Seakan tidak cukup menakutkan, listrik di rumah Aisyah tiba-tiba padam. Semua lampu, komputer, dan peralatan elektronik lainnya berhenti bekerja seketika, meninggalkan rumahnya dalam kegelapan total. Hanya suara gemuruh yang terus berlanjut, semakin menekan.
Aisyah perlahan berjalan menuju jendela, membuka tirai dengan tangan yang bergetar. Di luar, jalanan yang biasanya penuh dengan cahaya kendaraan dan lampu jalanan, kini hanya menyisakan kegelapan pekat. Udara malam yang dingin menyelusup masuk dari celah jendela, membawa serta suara angin yang mendesir. Namun, kali ini, angin itu terasa aneh, seperti membawa firasat buruk.
“Kenapa semua ini terjadi?” pikir Aisyah, matanya menatap lurus ke jalan kosong yang diselimuti bayangan. Bayangan-bayangan samar terlihat bergerak di kejauhan. Apakah itu orang-orang? Atau hanya imajinasinya yang dipermainkan oleh ketakutan? Dia tidak bisa memastikan.
Di sisi lain kota, Delisha mencoba menenangkan dirinya, tapi jantungnya terus berpacu. Dia mencoba menyalakan lampu meja, tetapi sakelar tidak berfungsi. “Kenapa mati lampu sekarang?” gumamnya, rasa cemas semakin menghantui pikirannya. Saat dia hendak berjalan ke luar kamar untuk memeriksa, lantai kamar bergetar pelan. Seakan ada sesuatu yang besar dan berat sedang mendekat dari bawah tanah.
"Ini bukan gempa... apa yang sedang terjadi? Apa aku sedang bermimpi?"
Di rumahnya, Aisyah mendengar suara keras dari luar, dentuman yang membuat kaca jendelanya bergetar. Suara itu tidak terdengar seperti apa pun yang pernah dia dengar sebelumnya. Panik, dia melompat mundur dari jendela, kakinya nyaris tersandung kursi di belakangnya.
Dengan napas terengah, Aisyah melangkah cepat ke sudut kamar, punggungnya bersandar pada dinding yang dingin. "Apa yang terjadi di luar sana?" pikirnya, rasa takut menjalari tubuhnya. Ia ingin berlari keluar dan melihat, tapi seluruh tubuhnya menolak bergerak. Rasa takut membekukan tubuhnya. Suara dentuman itu terasa semakin dekat, dan gemuruh di kejauhan semakin jelas terdengar.
Sementara itu, di rumah Delisha, angin tiba-tiba berhembus kencang dari luar jendela yang sedikit terbuka, membuat tirai-tirainya berkibar liar. “Apa-apaan ini?” Delisha tertegun, perasaan tidak nyaman menjalar di tubuhnya. Dia mendekat ke jendela dan memperhatikan sekitar, namun yang terlihat hanya kegelapan dan jalan kosong. Seketika, suara gemuruh menggelegar lebih keras, membuat dinding kamar bergetar. Delisha tersentak, "Aisyah... di mana kamu?"
Suasana kota Jakarta yang biasanya hidup kini terasa seperti kuburan sunyi, dan perasaan ketakutan itu terus merayap, semakin nyata, semakin menekan. Bahaya apa yang sedang mendekat? Dan lebih penting lagi, apakah mereka siap menghadapinya?
Suara gemuruh yang mendekat menandai ancaman yang tidak terelakkan, membawa kengerian yang belum pernah mereka rasakan sebelumnya.