Kisah ini menceritakan hubungan rumit antara Naya Amira, komikus berbakat yang independen, dan Dante Evander, pemilik studio desain terkenal yang perfeksionis dan dingin. Mereka bertemu dalam situasi tegang terkait gugatan hak cipta yang memaksa mereka bekerja sama. Meski sangat berbeda, baik dalam pandangan hidup maupun pekerjaan, ketegangan di antara mereka perlahan berubah menjadi saling pengertian. Seiring waktu, mereka mulai menghargai keunikan satu sama lain dan menemukan kenyamanan di tengah konflik, hingga akhirnya cinta tak terduga tumbuh di antara mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Darl+ing, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pekerjaan belum selesai
Malam itu, setelah memastikan Andre sudah berada di kamarnya dan tidak ada masalah lagi, Naya duduk di ruang tamu dengan secangkir teh hangat. Matanya terasa lelah, namun pikirannya terus berputar, mengingat kejadian sepanjang hari ini. Tiba-tiba, ponselnya bergetar di meja. Ia melirik ke layar, melihat nama ibunya muncul. Hatinya langsung sedikit tegang, menyadari bahwa Andre belum memberi kabar kepada ibunya bahwa ia akan menginap di rumah Naya.
Dengan sedikit enggan, Naya mengangkat teleponnya. "Halo, Bu," sapanya, berusaha terdengar tenang.
"Naya, Andre di mana? Kenapa belum pulang sampai sekarang?" Suara ibunya terdengar khawatir dan sedikit curiga. "Ibu sudah beberapa kali coba telepon dia, tapi nggak diangkat-angkat."
Naya terdiam sejenak, memikirkan cara menjawab tanpa membuat ibunya lebih khawatir. "Andre ada di sini, Bu. Dia minta izin untuk menginap di rumahku malam ini. Tadi aku ada urusan di sekolahnya, jadi sekalian saja dia ikut pulang bersamaku."
Di ujung telepon, terdengar napas lega dari ibunya, meskipun nada suaranya tetap sedikit keras. "Kenapa kamu nggak bilang dulu, Naya? Ibu jadi khawatir. Ada apa di sekolah sampai kamu harus datang? Ada masalah apa lagi dengan Andre?"
Naya menggigit bibir bawahnya, mencoba mencari kata yang tepat. "Ada sedikit masalah, Bu. Andre terlibat perkelahian tadi, tapi semua sudah diselesaikan. Aku sudah bertemu dengan kepala sekolah dan Andre juga sudah berjanji tidak akan mengulangi lagi."
Ibunya terdiam sejenak di telepon, sebelum akhirnya berbicara lagi dengan nada lebih rendah. "Perkelahian? Naya, kenapa Andre bisa sampai seperti itu? Anak itu memang suka bikin masalah akhir-akhir ini."
Naya menghela napas panjang, mencoba menenangkan perasaan ibunya. "Ini hanya kesalahpahaman, Bu. Andre tidak sepenuhnya salah. Ada masalah dengan teman sekolahnya, tapi aku sudah berbicara dengan Andre. Aku yakin dia akan lebih berhati-hati mulai sekarang."
Namun, ibunya tetap terdengar khawatir. "Tapi, Naya, kenapa Andre jadi begini? Dulu dia tidak pernah berkelahi, apalagi di sekolah. Apa yang terjadi sebenarnya?"
Naya merasa berat menjelaskan semuanya, terutama soal Andre yang berkelahi karena masalah perempuan. Dia tahu, jika ibunya tahu detailnya, mungkin situasinya akan semakin rumit. Jadi, ia memutuskan untuk tidak menceritakan semuanya dengan detail. "Ini cuma masalah remaja, Bu. Masa-masa seperti ini memang sulit buat Andre. Dia sedang banyak tekanan di sekolah. Aku akan bantu dia sebisa mungkin supaya dia tidak terlibat masalah lagi."
Ibunya terdiam cukup lama sebelum akhirnya berkata, "Baiklah, Naya. Tapi tolong, jaga Andre. Ibu tidak mau dengar dia terlibat masalah lagi. Kalau ada apa-apa, kamu harus langsung kasih tahu ibu, ya?"
"Iya, Bu, aku akan jaga dia. Jangan khawatir," jawab Naya dengan suara lembut, berusaha menenangkan ibunya.
Setelah beberapa kata pamitan, Naya menutup telepon dan menyandarkan punggungnya ke sofa. Meski sudah berusaha menenangkan ibunya, ia sendiri masih merasa cemas.
Malam itu, setelah berbicara dengan ibunya dan memastikan Andre sudah tenang di kamarnya, Naya berjalan menuju studionya yang terletak di sudut rumah. Heningnya malam memberikan ketenangan tersendiri, meskipun rasa lelah masih menyelimuti tubuhnya. Tapi ia tahu, pekerjaan menunggu, dan tak ada pilihan selain menyelesaikannya.
Saat memasuki studio, ia melihat meja yang dipenuhi kertas, konsep, dan sketsa yang sudah dikerjakan oleh Tika sejak pagi. Tika memang sudah pergi lebih awal, meninggalkan hasil pekerjaannya agar bisa dilanjutkan oleh Naya. Berkas-berkas referensi yang sebelumnya diberikan Fajar tertata rapi di sebelah laptop, menunggu untuk dikembangkan lebih lanjut.
Naya duduk di kursinya, menyalakan lampu meja yang hangat, kemudian membuka laptopnya. Di layar, dokumen-dokumen proyek besar dengan Dante sudah terbuka. Pandangannya terpaku pada desain yang telah dirancang selama berhari-hari, tapi kali ini ia harus lebih detail. Dante perfeksionis, dan setiap kesalahan kecil bisa mengganggu seluruh konsep.
Waktu berjalan, dan Naya larut dalam pekerjaannya. Tangan-tangannya dengan cepat bergerak di atas tablet grafis, mengubah sketsa, menambah detail, menyesuaikan warna, dan memperbaiki layout. Meskipun matanya terasa berat, pikirannya tetap tajam. Ia tahu, waktu sudah semakin mendekat ke pagi, dan Dante ingin membahas ulang proyek ini esok hari.
"Harus selesai malam ini," gumam Naya, seakan berbicara pada dirinya sendiri. Tekanan untuk menyelesaikan proyek besar ini membebani pundaknya, tapi ia sudah terbiasa bekerja di bawah tekanan.
Waktu terasa begitu cepat saat Naya benar-benar tenggelam dalam pekerjaannya. Ia berhenti sejenak, meregangkan punggungnya yang terasa tegang. Jam di dinding menunjukkan pukul dua dini hari. Hanya beberapa jam tersisa sebelum pertemuan penting dengan Dante.
Meski fisiknya mulai lelah, Naya tahu bahwa proyek ini sangat penting bagi kariernya. Dante adalah klien besar, dan jika kerja sama mereka sukses, itu bisa membuka banyak pintu kesempatan baru. Dengan tekad yang kuat, Naya kembali fokus pada layar, memastikan setiap detail sudah sempurna.
Lama-kelamaan, keheningan malam terasa begitu intens. Hanya suara ketukan lembut dari keyboard dan goresan stylus di tablet yang terdengar di ruang itu. Sesekali, Naya memejamkan matanya sejenak, menenangkan pikirannya sebelum melanjutkan lagi.