Lisna seorang istri penyabar dan tidak pernah mengeluh pada sang suami yang memilih menganggur sejak tahun ke tiga pernikahan mereka. Lisna dengan tulus menjadi tulang punggung keluarga.
Setelah tujuh tahun pernikahan akhirnya sang suami terhasut omongan ibunya yang menjodohkannya dengan seorang janda kaya raya. Dia pun menikahi janda itu atas persetujuan Lisna. Karena memang Lisna tidak bisa memberikan suaminya keturunan.
Namun istri kedua ternyata berhati jahat. Dia memfitnah Lisna dengan mengedit foto seakan Lisna sedang bermesraan dengan pria lain. Lagi lagi suaminya terhasut dan tanpa sadar memukul Lisna bahkan sampai menceraikan Lisna tanpa memberi kesempatan Lisna untuk menjelaskan.
"Aku pastikan ini adalah air mata terakhirku sebagai istri pertama kamu, mas Fauzi." Ujarnya sambil menghapus sisa air mata dipipinya.
Bagaimana kisah selanjutnya?
Saksikan di serial novel 'Air Mata Terakhir Istri Pertama'
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RahmaYesi.614, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Wulan hamil
Lisna mengikuti mobil Fauzi secara diam diam dengan menggunakan taksi.
"Pak pelan pelan saja, yang penting jangan sampai kehilangan mobil di depan!" Seru Lisna pada sopir taksi.
"Baik, mbak."
Mobil yang dikwndalikan Fauzi malah belok ke jalan menuju rumah mamanya. Sampai pada akhirnya mobil itu berhenti tepat di depan rumah mamanya, dan terlihatlah Fitri dan Fatimah yang sudah menunggu kedatangan Fauzi.
"Pak, kita berhenti disini." Titah Lisna meminta taksi berhenti tidak jauh dari rumah mama mertuanya. Bahkan Lisna bisa mendengar semua pembicaraan mereka.
"Mama sama Fitri sudah siap?" Tanya Fauzi yang turun dari mobil.
"Sudah dong." Jawab Fatimah sambil menarik kopernya.
"Kamu jadi ikut kan, Fit?"
"Ya jadi dong mas. Siapa memang yang gak mau ikut liburan ke Bali. Itu impian aku sejak dulu." Ujarnya yang juga membawa kopernya.
Fauzi membantu memasukkan koper mama dan juga koper Fitri kedalam mobil. Sementara dua wanita itu sudah masuk ke mobil lebih dulu.
"Terimakasih ya sayang, kamu memang menantu terbaik."
"Iya ma. Mama senangkan diajak liburan ke Bali?"
"Tentu senang sayang."
Wulan tersenyum bahagia. Dia juga senang bisa mengajak mertua dan adik iparnya untuk liburan ke Bali.
"Fitri senang juga, dong?"
"Senang banget mbak. Terimakasih ya mbak, sudah mewujudkan impianku untuk bisa mendatangi Bali."
"Kita mau ke Bali ya, ma?"
Itu suara si kecil Queen.
"Iya sayang. Kita mau liburan ke Bali."
"Kenapa ibu tidak diajak saja, ma?"
Pertanyaan itu membuat Wulan, Fitri dan Fatimah saling bersitatap. Mereka bingung harus memberi jawaban apa pada gadis kecil itu.
"Ibu tidak bisa ikut, sayang. Ibu kan kerja." Jawab Fauzi yang sudah siap di bangku kemudi.
Queen mengangguk saja. Meski dia masih tetap tidak mengerti mengapa ibu nya itu tidak di ajak liburan.
Lisna teridam saja mendengar apa yang menjadi obrolan mereka. Rasanya, Lisna memang sudah tidak dianggap lagi oleh suami, mertua dan iparnya.
"Pak, antar saya ke alamat ini." Lisna memperlihatkan alamat yang akan ditujunya pada supir taksi itu.
"Baik, mbak."
Taksi itu melaju menuju alamat yang ingin di tuju oleh penumpangnya.
Setelah beberapa lama berpacu di jalanan, akhirnya taksi itu berhenti tepat di depan rumah mewah dua lantai. Lisna pun langsung turun setelah membayar ongkosnya.
"Mbak, aku di depan!" Seru Lisna melalui sambungan telepon dengan pemilik rumah itu.
Tidak lama kemudian pemilik rumah pun langsung menghampiri Lisna yang tampak sedih berdiri di depan pagar rumahnya.
"Lisna!"
Dia Mirna. Dia berlari menghampiri Lisna.
"Ayok masuk." Ajaknya ramah.
Lisna pun ikut masuk ke rumah itu.
"Kamu sudah makan? Mau makan atau mau minum.."
Mirna menawari Lisna setelah mempersilahkan Lisna untuk duduk di ruang tamunya yang luas.
"Mas Fauzi dan Wulan liburan ke Bali, mbak."
Kalimat yang keluar dari mulut Lisna, membuat Mirna yang tadinya semangat untuk menjamunya mendadak diam dan ikut duduk di sebelah Lisna.
"Lis.. kamu sedang tidak baik baik saja." Mirna memeluknya.
"Mas Fauzi membohongiku, mbak. Mas Fauzi dan Wulan bermain curang."
"Sabar ya, Lis. Ini ujian untuk rumah tanggamu. Kamu pasti kuat melalui semua ini."
"Aku sudah tidak kuat, mbak. Aku ingin menyerah.. sepertinya sudah saatnya aku pergi dari kehidupan mas Fauzi dan mama mertuaku."
Mirna ingin mengatkan dengan lantang bahwa dia setuju dengan ide Lisna untuk meninggalkan suaminya yang curang itu. Tapi, entah mengapa, mulut Mirna seperti enggan membuka untuk menyuarakan itu pada Lisna. Sehingga yang bisa dia lakukan hanyalah memeluk erat dan mengelus punggung wanita malang itu.
*
*
*
Di Bali.
Sudah empat hari Wulan di Bali bersama anak, suami, mertua dan iparnya. Sungguh liburan yang menyenangkan. Namun, pikirannya terganggu, karena pria suruhannya untuk menyingkirkan Lisna masih juga belum berhasil melaksanakan tugasnya.
"Apa yang kamu lakukan selama ini, bodoh!" Seru Wulan emosi saat mendapat laporan dari pria suruhannya itu.
"Aku tidak mau tahu alasan apapun itu. Segera singkirkan dia. Jika kamu gagal lagi, aku tidak akan membayar sepeserpun." Makinya pada pria itu.
Fauzi datang tiba tiba ke kamar saat Wulan sedang bicara pada pria suruhannya itu.
"Kamu menelpon siapa sayang?"
Suara Fauzi membuat Wulan terkejut dan langsung mengakhiri pembicaraan dengan pria itu. Tapi, untuk menghilangkan kecurigaan Fauzi padanya, dia pun masih pura pura menelpon.
"Ya sudah pokoknya minggu depan saat saya sudah kembali, laporan itu sudah harus selesai." Kilahnya pura pura bicara pada sekretarisnya.
Fauzi langsung memeluknya dari belakang. Memberi ciuman di ceruk lehernya. Wulan pun mengakhiri obrolan bohongannya itu dan membalikkan badannya hingga dia dan suaminya saling berhadapan dan menatap satu sama lain.
"Mas, aku hamil." Ucap Wulan.
"Apa?" Fauzi bukan tidak mendengar, dia hanya ingin lebih yakin lagi apa yang didengarnya tidak salah.
"Aku mahil, mas." Ulang Wulan sambil tersenyum haru.
Mata Fauzi berkaca kaca, segera dibawanya tubuh istrinya itu masuk dalam pelukannya.
"Akhirnya, aku akan menjadi seorang ayah. Terimakasih sayang karena memberiku kesempatan untuk merasakan menjadi seorang ayah setelah sekian lamanya menanti."
Fauzi menangis. Dia benar benar bahagia. Setelah penantian tujuh tahun bersama Lisna masih tidak membuahkan hasil. Akhirnya hanya butuh waktu kurang dari sebulan, Wulan langsung hamil.
"Mas senang?"
"Tentu sayang. Tidak ada yang lebih membuatku senang dibanding mendapat berita kehamilan istriku ini." Ujar Fauzi bangga.
Diciuminya seluruh bagian wajah Wulan, bahkan diberinya ciuman cukup lama dan mesra di bibir istrinya.
"Sebentar lagi aku gajian. Semua gaji pertamaku hingga sembilan bulan kedepan untuk kamu sayangku." Ujarnya sangking bahagianya karena Wulan telah mengandung bayinya.
"Tapi, bagaimana dengan mbak Lisna, mas. Bukankah tidak adil kalau mas memberikan semua gaji mas padaku?"
Wulan tidak mengkhawatirkan Lisna, dia hanya ingin tahu bagaimana reaksi suaminya terhadap madu-nya itu.
"Lisna sudah terbiasa dengan hidupnya tanpa aku beri uangpun dia akan tetap bisa menjalani kehidupannya sebagai istri pertamaku sayang. Dia pasti akan mengerti, karena kamu telah memberi kebahagiaan untukku. Lagi pula, gaji Lisna juga sudah cukup banyak untuk dia habiskan sendiri."
"Begitukah?"
"Iya sayang."
"Tapi, apakah tidak apa mas menjadi suami yang tidak adil?"
Kening Fauzi mengkerut.
"Justru aku adalah suami yang adil, sayang. Aku memberikan semua uangku untuk istri yang sudah berjasa padaku. Lihatlah kamu bahkan sudah hamil di bulan pertama pernikahan kita. Sementara Lisna, tidak ada jasa apapun yang dia lakukan selain memberi pelayanan yang baik sebagai seorang istri."
"Jasa mbak Lisna adalah dengan dia menjadi istri yang baik untuk mas."
"Jangan salah paham sayang. Lisna melakukan semua itu karena dia takut aku tinggalkan. Dia menjadi istri yang sabar dan patuh karena dia tidak bisa memberiku keturunan."
Senyum penuh kemenangan terpampang jelas diwajah Wulan, untuk menutupi itu, dia pun kembali masuk dalam pelukan Fauzi dan menyembunyikan wajahnya di ceruk leher suami yang di puja pujanya itu.
uh..ampun dah..
biarkan metrka berusaha dengan keangkuhanya dulu