Hampir empat tahun menjalani rumah tangga bahagia bersama Rasya Antonio, membuat Akina merasa dunianya sempurna. Ditambah lagi, pernikahan mereka langsung dianugerahi putri kembar yang sangat cantik sekaligus menggemaskan.
Namun, fakta bahwa dirinya justru merupakan istri kedua dari Rasya, menjadi awal mula kewarasan Akina mengalami guncangan. Ternyata Akina sengaja dijadikan istri pancingan, agar Irene—istri pertama Rasya dan selama ini Akina ketahui sebagai kakak kesayangan Rasya, hamil.
Sempat berpikir itu menjadi luka terdalamnya, nyatanya kehamilan Irene membuat Rasya berubah total kepada Akina dan putri kembar mereka. Rasya bahkan tetap menceraikan Akina, meski Akina tengah berbadan dua. Hal tersebut Rasya lakukan karena Irene selalu sedih di setiap Irene ingat ada Akina dan anak-anaknya, dalam rumah tangga mereka.
Seolah Tuhan mengutuk perbuatan Rasya dan Irene, keduanya mengalami kecelakaan lalu lintas ketika Irene hamil besar. Anak yang Irene lahirkan cacat, sementara rahim Irene juga harus diangkat. Di saat itu juga akhirnya Rasya merasakan apa itu penyesalan. Rasya kembali menginginkan istri dan anak-anak yang telah ia buang.
Masalahnya, benarkah semudah itu membuat mereka mau menerima Rasya? Karena Rasya bahkan memilih menutup mata, ketika si kembar nyaris meregang nyawa, dan sangat membutuhkan darah Rasya. Bagaimana jika Akina dan anak-anaknya justru sudah menemukan pengganti Rasya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rositi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
21. Seperti Ada yang Ditutup-Tutupi
“S—sayang ...?!”
Rasya kacau. Rasya kehilangan jejak Irene. Ia mencari-cari ke sekitar dengan perasaan yang begitu hancur. Rasa ingat-ingat tadi tubuh istri tercintanya mental ke mana. Namun seseorang berdalih, bahwa di bawah mobil sedan yang terbalik, ada seorang wanita hamil.
Mendengar kabar tersebut, tubuh Rasya langsung kebas. Rasya hilang arah dan bergegas nyaris tiarap untuk memastikan apa yang di bawah mobil sedan di hadapannya. Benar saja, Irene yang sudah tak berdaya tampak amat sangat kesakitan. Irene tampak masih berusaha bertahan di tengah tubuhnya yang sudah penuh darah. Gaun putih berbahan lembut—adem yang Irene pakai, sungguh sudah tak berupa. Semuanya nyaris sudah basah oleh darah segar.
“S—SAYANGGGGG! S—SAYANG BERTAHANLAH AKU AKAN MENOLONGMU!” Rasya nyaris gila hanya karena menyaksikan sang istri yang hamil besar, justru tertindih mobil! Bahkan sebelum itu, Irene juga sempat terlempar dari mobil akibat kecelakaan lalu lintas yang mereka alami!
Dibantu oleh banyak orang yang kebetulan berdatangan, Rasya yang sempat nyaris gila, sengaja mengangkat mobil. Suasana di sana sungguh mirip drama mencekam. Korban-korban yang berjatuhan segera diboyong. Ada yang diboyong menggunakan ambulance maupun mobil pribadi. Namun khusus Irene, Rasya memboyongnya menggunakan mobil ambulans yang segera sigap datang.
Sepanjang perjalanan, Rasya terus menangisi Irene lantaran istri kesayangannya itu nyaris sekarat. Tangan kanan yang tak diinfus olrh perawat, ia genggam eran. Namun tak lama kemudian, Rasya jadi ingat semua sumpah serapah yang ia dapat. Bukan hanya untuknya, tapi juga untuk Irene. Dari keluarga Akina, sumpah serapah dari Akina sendiri, dan terakhir itu sumpah serapah dari Zeedev. Begitu banyak sumpah serapah yang mereka dapat akibat apa yang Rasya lakukan kepada Akina dan anak-anak mereka.
“Apakah ini ... apakah ini karena semua sumpah serapah mereka? Apakah semua ini karena ... kesalahan kami yang sudah sangat zalim kepada Akina dan anak-anak kami?” rintih Rasya yang kemudian meraung-raung menggenggam erat tangan kanan Irene yang sampai ia cium.
Ambulans yang membawa Irene dan Rasya, melaju dengan ugal-ugalan. Apalagi beberapa kali, Rasya meraung-raung ketakutan meminta sang sopir untuk lebih cepat lagi. Irene dan Rasya kembali ke rumah sakit yang baru saja mereka tinggalkan.
Bertepatan dengan rombongan orang tua Akina yang baru sampai di depan pintu masuk rumah sakit, ambulans yang membawa Rasya dan Irene datang. Rombongan orang tua Akina yang ada tujuh orang refleks menoleh memastikan ke ambulans. Betapa terkejutnya mereka lantaran yang diangkut ambulans tersebut justru Rasya. Rasya yang setelah membuang Akina dan anak-anaknya, tak pernah menemui mereka. Karena yang ada, Rasya seolah sengaja menghapus jejaknya dari kehidupan mereka bahkan itu kehidupan anak-anak Akina.
Hati ibu Nina—mama kandung Akina seolah dicabik berulang kali dengan sangat keji hanya karena pemandangan kini. Dari kedua matanya yang sudah sembab dan memang masih basah karena terlalu sibuk menangis, kembali berjatuhan cairan hangat. Ia yang sudah tak sengaja bertatapan dengan Rasya, sengaja menghampirinya. Rasya membopong seorang wanita berperut besar dan tubuhnya penuh darah. Ibu Nina mengenal si wanita sebagai Irene, dan sejak awal dikenalkan Rasya sebagai kakak perempuan pria itu.
“Lihat! Merinding ... saya benar-benar merinding!” tegas ibu Nina sambil menunjukkan kedua tangannya yang awalnya tertutup gamis. Seperti yang ia tegaskan, pertemuan mereka membuat dirinya merinding.
“Jangan pernah meremehkan doa-doa orang yang kalian zalimi. Apalagi doa seorang ibu yang sampai menitikkan air mata, mengadukan semua luka hatinya ke Allah karena anak dan cucunya sudah dizalimi! Doa kami sungguh langsung tembus langit!!” tegas ibu Nina kali ini sampai meraung-raung.
Pak Akala selaku ayah Akina yang meski diam, sudah menatap Rasya dengan tatapan mematikan. “Masih belum ingat pada luka-luka yang kamu lakukan ke Akina dan anak-anaknya? Ingat ... apa pun alasannya, ... kalian itu pembunuh ulung! Kalian membunuh Akina dan anak-anaknya secara perlahan lewat mental mereka!” Ia sengaja membawa sang istri dari hadapan Rasya. Tak sudi rasanya jika masih harus berurusan dengan Rasya, apa pun alasannya. Bahkan meski di darah si kembar masih mengalir darah Rasya. Masalahnya, kenyataan Rasya yang mereka ketahui tega tak menyumbangkan darahnya ke si kembar, membuat pak Akala menganggap Rasya memang sudah meninggal. Karena hanya mereka yang sudah meninggal saja yang jadi sulit dimintai bantuan. Itu saja tak semuanya begitu.
Rasya benar-benar merasa tertampar bahkan diadili. Setelah langsung lanjut masuk ke dalam IGD, Irene dinyatakan kehilangan banyak darah. Rasya sengaja mendonorkan darahnya setelah ia menghubungi keluarga besar. Sebab Irene langsung diboyong ke ruang operasi untuk menjalani persalinan. Bayi di dalam perut Irene harus segera dikeluarkan karena sudah kehabisan air ketuban. Irene menjalani semua prosesnya sendiri karena selain Rasya harus diambil darahnya, keluarga mereka juga baru datang.
Irene mendadak linglung. Baru ia sadari, berjuang sendiri di tengah kenyataannya yang terluka parah, sangat menyakitkan. Rasa sakit yang amat sangat menyiksa. Apalagi dikata perawat dan tim dokter yang menjalani, ia yang wajah dan tubuhnya masih berlumur darah, akan menjalani sesar. Padahal, sekujur tubuhnya seolah remuk. Sakit yang amat sakit ia rasa hingga kadang, Irene merasa mati rasa saking sakitnya.
Kepala, leher, dan juga bagian tubuh Irene yang lain, sakit semua. Sekadar digerakkan tidak bisa. Termasuk untuk bicaranya, Irene yang nyaris sekarat juga sangat terbatas dalam melakukannya. Karena jangankan Irene, yang melihat keadaan Irene saja, jadi ikut sesak. Iba.
“Seperti mimpi, tapi ini nyata. Sakit sekali ... benar-benar sakit! Sayang, kamu di mana? Aku takut! Aku mohon, temani aku. Aku enggak mau sendiri! Semuanya tidak ada yang tidak membisikkan kekhawatiran mereka. Dan rasanya .... kewanitaanku sangat sakit. Padahal, aku sesar. Ya Allah punya anak sesakit ini. Apa karena aku berusaha melukai anak-anak Akina? Apa karena aku menjadi bagian dari alasan Akina kehilangan putranya?” pikir Irene yang sekadar bersuara saja tidak bisa.
“Yang sabar ya, Mom. Suami Mom sedang diambil darahnya buat Mom. Sekarang, Mom harus rileks karena Mom akan menjalani sesar. Baby harus segera dikeluarkan karena cairan ketuban sudah habis dan, ... pembukaan Mom juga enggak nambah-nambah. Bismillah, kita lakukan yang terbaik. Yang penting, Mom dan baby sehat!” lembut sang perawat sambil mengelap setiap darah di wajah maupun kepala Irene. Namun sebelum itu, ia sengaja mencabut sisa pecahan kaca di wajah Irene lebih dulu.
••••
Hingga sang bayi lahir, Irene belum diizinkan untuk melihatnya. Padahal tadi, sekitar lima menit lalu, Irene sudah dibisingkan oleh tangis bayinya. Tangis lemah seolah bayi itu sesak napas. Bukan tangis lepas layaknya bayi baru lahir pada kebanyakan.
“Sus, kenapa saya belum boleh melihat anak saya? Anak saya enggak prematur-prematur banget, kan?” lemah Irene masih kesakitan. Tim dokter mengabarkan bahwa dirinya yang meski sesar, tetap mengalami pendarahan hebat di jalan lahirnya.
Alih-alih jawaban, yang Irene dapatkan justru tatapan penuh keresahan, iba, bahkan belas kasih dari tim dokter maupun perawat di sana.
“Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa mereka terkesan menutup-nutupi sesuatu dariku dan itu tentang anakku?” pikir Irene yang berakhir tak sadarkan diri. Seluruh tulang rusuknya seolah dipatahkan secara bersamaan atas pendarahan yang terus ia alami dari jalan lahirnya.