Berry Aguelira adalah seorang wanita pembunuh bayaran yang sudah berumur 35 tahun.
Berry ingin pensiun dari pekerjaan gelap nya karena dia ingin menikmati sisa hidup nya untuk kegiatan normal. Seperti mencari kekasih dan menikah lalu hidup bahagia bersama anak-anak nya nanti.
Namun siapa sangka, keinginan sederhana nya itu harus hancur ketika musuh-musuh nya datang dan membunuh nya karena balas dendam.
Berry pun mati di tangan mereka tapi bukan nya mati dengan tenang. Wanita itu malah bertransmigrasi ke tubuh seorang anak SMA. Yang ternyata adalah seorang figuran dalam sebuah novel.
Berry pikir ini adalah kesempatan nya untuk menikmati hidup yang ia mau tapi sekali lagi ternyata dia salah. Tubuh figuran yang ia tempati ternyata memiliki banyak sekali masalah yang tidak dapat Berry bayangkan.
Apa yang harus dilakukan oleh seorang mantan pembunuh bayaran ditubuh seorang gadis SMA? Mampukah Berry menjalani hidup dengan baik atau malah menyerah??
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hilnaarifa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28
Seharusnya, Alice tidak terlalu lembek pada pemain lawan. Mungkin karena merasa sudah unggul banyak poin, dia sedikit mengurangi kewaspadaan nya yang mana moment itu langsung saja di gunakan oleh lawan nya.
Saat Ziva sedang memegang bola yang di berikan oleh Alice dan ingin membawa nya ke ring lawan tanpa dia sadari dari samping seorang gadis dari tim Lorence menabrak nya dengan kuat hingga dia terjatuh.
Bola yang ia pegang pun di rebut secara paksa, Ziva berteriak kesakitan sambil memegangi pundak nya.
Ruby dan tim nya terkejut melihat itu, jelas-jelas ini sudah termasuk pelanggaran keras, semua murid Dominic berteriak marah.
Namun, wasit hanya meniup peluit untuk
menghentikan permainan untuk lihat kondisi Ziva.
Tapi tidak ada hukuman pada si pelanggar tadi. Alice baru sadar jika dia sudah mengambil keputusan yang salah, untuk membiarkan anggota tim nya yang lain memegang bola.
Karena tidak mau menjadi sorotan, Alice memilih untuk membagikan kemenangan nya pada tim, namun...
Gadis yang menabrak Ziva tadi tersenyum miring. Wasit nya berpura-pura memarahi nya tanpa mengeluarkan nya dari lapangan.
Sedangkan, korban nya sudah di bawa keluar karena tidak dapat melanjutkan permainan.
Alice marah. Dia menatap tajam wasit itu, dan mendatangi nya. "Ini pelanggaran, apa anda tahu?"Ucap Alice datar.
Wasit itu hanya melirik Alice sebentar, "Tidak ada pelanggaran"Jawab nya singkat.
Mendengar itu Alice terkekeh geli, wasit itu kini menatap Alice bingung.
Gadis itu mengangguk seakan-seakan paham, "Seberapa banyak uang yang kau dapat dari mereka untuk membuatmu buta?"Bisik Alice tajam.
Wasit itu terkejut namun berusaha bersikap normal. "Kembali ke posisi mu, jangan membuat keributan." Perintah nya pada Alice.
Alice mengejek wasit itu, dia menatap tim nya. Sekarang mereka kembali kekurangan pemain, Alice melirik jam.
Masih ada satu babak lagi, poin mereka masih sangat unggul. Bahkan jika pemain Lorence mengejar poin, waktu nya tidak akan sempat.
Mereka memang akan menang tapi perbuatan curang mereka tidak akan bisa Alice maafkan.
Dia mengangguk kan kepala pada wasit itu, "Nikmati permainan nya, wasit." Ucap nya datar.
Dia memanggil Ruby, "Kita ganti rencana."
"Lo yakin? Waktu nya hanya tinggal sepuluh menit, untuk babak terkahir. Kita juga tetap menang." Kata Ruby heran.
Alice melihat Ziva yang di bawa oleh petugas medis. "Memang tapi gue nggak bakal tinggal diam melihat tingkah semena-mena mereka." Jawab Alice.
"Apa yang mau Lo lakuin?"Tanya Ruby, dia melihat ada sedikit perubahan pada Alice, gadis ini memang pendendam, pikir Ruby.
"Itu urusan gue. Mulai sekarang, Lo yang bakal cetak poin dan gue yang akan merebut bola dari mereka." Ucap Alice menjelaskan dengan singkat, Ruby hanya bisa mengangguk setuju.
***
Peluit kembali di tiup dan pertandingan pun di mulai. Tim lawan memegang bola dan mereka menggiring nya secara bergantian.
Alice hanya tersenyum miring melihat itu, apa menurut mereka, taktik seperti itu bisa mengecoh nya?
Tentu saja tidak!
Alice berlari dengan cepat, dia mendekatkan diri pada pemain yang memegang bola, dia menotok titik di leher gadis itu dengan cepat, tentu saja tidak ada yang bisa melihat nya.
Karena tangan Alice yang lain dengan segera merebut bola itu. Gadis tersebut terjatuh tanpa daya, semua bingung dengan apa yang terjadi pada gadis itu.
Wasit tidak bisa mengatakan apapun selain tetap melanjutkan permainan, Alice membawa bola itu kembali dan melempar nya ke Ruby.
Satu pemain lawan telah tumbang tanpa kata. Tim mereka mencetak poin lagi, Alice tidak perduli dengan poin, dia hanya fokus pada pemain lawan dan terus menerus menyiksa mereka.
Terkadang dia berpura-pura tidak sengaja
memukul tangan lawan atau menabrak mereka. Dia memainkannya secara halus,
bahkan wasit yang di bayar pun tidak akan melihat kecurangan nya meski dia ingin.
Alice hanya membalas, toh mereka bahkan sudah menang meski dia tidak berbuat seperti ini.
Darrel dan teman-teman nya merasa heran dengan cara bermain Alice. "Dia tidak mau
mencetak poin lagi." Gumam Noah pelan.
Dia memperbaiki kaca mata nya yang melorot turun. Esa berdecak kagum, "Kalian tidak sadar? Dia mengincar tim lawan, siapa pun akan di beri tanda oleh nya"Ucap pemuda itu sambil terkekeh geli melihat tingkah Alice.
"Gadis itu memang pendendam." Timpal Darrel yang seperti nya baru sadar akan pola permainan Alice.
Dia mendekati lawan dan berpura-pura merebut bola padahal gadis itu memang
sengaja ingin membuat lawannya terluka.
Satu menit sebelum pertandingan selesai, Alice mengambil bola nya dan melempar dari jarak jauh. Dia membuat poin tinggi sebagai penutup pertandingan.
Peluit bertiup kencang dan wasit menyelesaikan permainan. Sekolah Dominic menang telak, meski kehilangan beberapa pemain.
Semua murid Dominic berteriak gembira akan kemenangan telak mereka, semua menyuarakan nama Alice dan Ruby.
Tapi, Alice tidak terlalu senang. Dia dan kapten tim berjalan ke tengah lapangan sebagai salam terakhir. Dia meremas tangan gadis itu dan memberikan peringatan pada nya.
Terdengar ringisan kecil dari gadis di depan
nya, Alice pun tersenyum. "Selamat, karena telah masuk ke dalam buku hitam ku." Ucapnya pelan.
Gadis itu tidak mengerti, Alice segera melepaskan tangan nya dan berbalik pergi.
Meski Ruby ingin menahan nya untuk merayakan kemenangan mereka tapi Alice sudah menghilang dengan cepat di antara kerumunan penonton.
Di sisi lain,
Karla yang tadi nya ingin pergi ke toilet tiba-tiba saja di cegat oleh beberapa murid perempuan sekolah Lorence, dia dapat
mengetahui secara langsung dari lambang seragam mereka.
"Mau apa Lo pada?"Tanya Karla tidak senang, mereka tidak menjawab dan hanya tersenyum sinis pada Karla, kemudian menarik gadis itu tanpa basa-basi.
Mereka menutup mulut Karla dengan sapu tangan agar tidak berisik dan menyeret nya pergi menuju lorong yang sepi di dekat jalan menuju toilet.
Karla berusaha memberontak tapi dia
kalah jumlah dari mereka. Para gadis itu mengikat tangan Karla dan mendorong nya masuk ke dalam ruangan yang terlihat seperti gudang barang bekas di lorong sepi.
Entah dari mana mereka bisa mengetahui tempat seperti itu disini. Mereka menampar dan menarik rambut Karla dengan kasar hingga gadis itu pun menjerit kesakitan namun karena mulut nya di tutup dengan sapu tangan, tidak ada suara yang terdengar.
"Gue nggak tahu, kesalahan apa yang udah lo buat sama ketua Jupiter. Kami disini hanya mengikuti perintah dari nya." Ucap salah seorang gadis yang terlihat seperti pemimpin para gadis sekolah Lorence itu, untuk melukai Karla.
Karla bingung, dia harus menanggapinya seperti apa. Dia tidak membuat masalah apapun terhadap Jupiter, lalu kenapa dia menjadi korban mereka secara tiba-tiba?
Mereka kembali melanjutkan perlakuan buruk mereka pada Karla. Meski hanya di perintahkan, mereka tampak menikmati dalam hal menyakiti seseorang.
Bug
Salah satu kepala gadis yang menyerang Karla, tiba-tiba terluka karena sebuah lemparan batu kecil dari belakang. Mereka segera berhenti dan berbalik untuk melihat siapa yang berani mengganggu mereka.
Ternyata hanya seorang gadis yang sedang berdiri diam sambil memegang sebuah tongkat kayu.
"Alice?"Bisik Karla pelan, dia segera berteriak meminta tolong pada gadis itu.
Alice sudah melihat keadaan Karla dan dia
semakin marah pada anak murid sekolah Lorence yang sangat berani membuat masalah di sekolah nya.
Tanpa banyak bicara Alice segera melayang kan pukulan keras pada gadis-gadis sialan itu.
Mereka berteriak kesakitan, Alice tidak membiarkan mereka melarikan diri, dia menghantamkan kayu itu ke kaki mereka
dengan cepat hingga mereka terjatuh.
Ada lima orang gadis yang mengganggu Karla, satu telah terluka di kepala karena Alice melempar nya dengan batu kecil tadi hingga mengeluarkan darah.
Empat orang lainnya, ia pukul dengan kayu hingga terluka sana sini. Alice tidak memberi jeda sama sekali, barangkali dia butuh
melampiaskan kekesalan nya pada tim basket sekolah Lorence tadi.
Karla terdiam melihat betapa bar-bar nya Alice memukuli murid perempuan itu. Bahkan mereka sudah tidak sanggup bergerak untuk melawan lagi.
Hei, dia perlu di selamatkan disini, dia juga korban. Seperti mendengar kata hati Karla, Alice pun akhirnya berhenti dan menatap ke arah gadis itu.
Dia berjalan mendekati Karla dan segera membuka tali yang mengikat tangan gadis itu tadi. "Pergi sekarang, gue nggak bisa bawa Lo dari sini. Urusan gue sama mereka belum selesai." Ucap Alice dengan datar.
Karla ingin protes namun ketika melihat raut wajah Alice yang sangat gelap, mau tidak mau pun dia menuruti perkataan gadis itu.
Karla segera pergi dari sana dengan cepat, tentu saja menuju ke UKS untuk mengobati dirinya yang terluka dia sana sini.
Alice menatap dingin para gadis tadi, yang masih terus menerus meringis kesakitan. Dia harus membawa orang-orang idiot ini pada tuan nya.
***
Bagas mendapatkan pesan dari salah seorang murid sekitar jika ada yang mencari dirinya dan menunggu untuk bertemu di taman belakang sekolah Dominic.
Dia begitu penasaran, siapa yang berani bermain teka-teki dengan nya. Oh, dia juga membawa teman-teman geng nya, bukan karena takut hanya mereka juga ingin melihat siapa yang meminta Bagas untuk bertemu.
Setelah sampai nya di taman belakang, betapa terkejutnya mereka melihat murid perempuan sekolah Lorence tergeletak di tanah dengan penuh luka di tubuh mereka, bahkan ada juga yang berdarah.
Tentu saja, teman-teman Bagas marah dan tidak terima melihat keadaan murid dari sekolah mereka seperti ini.
Siapa yang berani melukai anak-anak Lorence? Mereka mendekati gadis-gadis itu, dan memeriksa keadaan nya.
Ternyata luka mereka cukup parah dan harus di bawa ke rumah sakit dengan segera.
"Bagaimana, keren kan?"Ucap suara dingin dari atas pohon.
Mereka semua, termasuk Bagas mengangkat kepala dan melihat ke atas pohon. Ada Alice disana.
Duduk dengan santai nya di batang pohon sambil memegang tongkat yang ia gunakan untuk memukul para gadis tadi. Bagas mendatarkan wajah nya, sudah ia duga. Siapa lagi yang berani melakukan hal seperti ini padanya jika bukan gadis aneh tersebut.
"Lo! Ternyata Lo yang berani lukai teman-teman kita! Turun Lo sekarang!"Teriak
teman-teman Bagas dengan marah.
Alice yang mendengar itu hanya terkekeh geli, "Berisik sekali." Kata nya main-main.
Alice mengayunkan tongkat nya memukul dahan pohon terdekat yang mana di atas nya ada sarang semut merah besar. Sarang itu pun hancur dan ratusan semut merah jatuh tepat di atas teman-teman Bagas.
Bagas telah menghindar lebih dulu, ketika dia melihat Alice mengayunkan tongkat nya, teman-teman Bagas berteriak ketika semut-semut itu menggigiti mereka.
Alice hanya tertawa dari atas pohon melihat penderitaan mereka.
"Sialan! Awas ya Lo!"Teriak para pemuda itu, mereka segera berlari entah kemana untuk menghilangkan semut-semut itu dan meninggalkan Bagas seorang diri.
Untuk para gadis itu, mereka telah memindahkannya agar bersandar di dinding.
Alice melompat dari atas pohon, dia menatap Bagas dengan tajam. "Lo yang nyuruh gadis-gadis itu untuk melukai, Karla kan?"Tanya Alice berbasa-basi meski dia sebenarnya sudah tahu jawabannya. Dia mengitari Bagas dengan santai.
Pemuda itu hanya mendengus, "Lalu, kalau emang gue yang nyuruh. Lo mau apa?"Balas Bagas dengan acuh.
Dia tidak takut pada gadis ini, di mata nya
gadis ini hanya seorang perempuan biasa.
Alice menggelengkan kepalanya pelan, "Tidak banyak. Mungkin, membalas mu dengan beberapa pukulan." Jawab Alice datar.
Bagas mengerutkan kening nya, dia belum sempat membuka kembali mulut untuk berbicara, Alice tiba-tiba saja melompat
dan memukul punggung nya dengan tongkat itu.
Ngomong-ngomong, itu hanya tongkat sapu yang Alice ambil dari gudang sekolah. Meski begitu, tongkat tersebut dapat membuat luka yang cukup parah.
Bagas berteriak terkejut, dia memegang pundak nya. Dia segera berbalik untuk melihat Alice tapi gadis itu telah hilang dan kembali memukul nya dari sisi yang lain.
Kali ini, wajah Bagas terluka sedikit. Tidak sampai disitu, Alice juga melayang kan pukulan di kepala si pemuda, tidak terlalu kuat.
Namun, dapat menimbulkan bekas atau benjolan.
"Gue sanggup membunuh anak buah lo hanya dalam hitungan detik dan sekarang, gue juga bisa melakukan hal itu sama Lo." Ucap Alice datar, dia kembali memukul Bagas di sekitar punggung belakang nya.
Alice tidak memiliki rasa kasihan untuk Bagas. Gadis itu pun terus memukulinya hingga Bagas berteriak meminta ampun dan berhenti.
Akhirnya, Alice pun mengikuti perkataan pemuda itu, dia tersenyum manis pada Bagas. Pemuda itu menatap nya ketakutan.
"Ini belum seberapa dibandingkan penderitaan korban-korban mu yang lain. Tapi, aku melepaskan mu kali ini." Ucap Alice tajam, dia menepuk kepala Bagas dengan tongkat secara perlahan.
"Ingat jangan membuat ulah lagi." Lanjut Alice sinis. Dia pun segera pergi dari sana, Bagas diam namun dalam hati nya, dia sudah mengumpati Alice dengan seribu kata.
"Kenapa selalu ada monster di Dominic?"Gumam nya kesal.
Dia pun berdiri, dan berjalan pergi meninggalkan tempat itu. Untuk para gadis, dia akan menyuruh anak buah nya untuk membangunkan mereka. Dia sudah kehilangan wajah di sekolah ini.
Alice melangkah masuk ke dalam rumah nya, hari ini dia sangat lelah. Sudah di putuskan oleh otak nya, untuk tidak datang lagi ke sekolah dua hari ke depan. Dia ingin beristirahat dan tidur tanpa ada yang
mengganggu.
"Alice." Panggil suara dari ruang tamu. Gadis itu yang sedang menunduk lemas pun mengangkat kepala nya dan terkejut ketika melihat ruang tamu penuh dengan beberapa orang. Termasuk kedua orang tua nya.
"Ayah?"Kata nya bingung, dia melihat pria itu dengan seksama.
Syukur, tidak ada bekas kdrt pada ayah nya, dia heran mengapa pria itu bisa duduk dengan selamat, meski ibu nya sedang ada di rumah sekarang.
"Kemari, nak." Ucap Marcell sambil menepuk tempat di sampingnya. Alice pun menuruti perkataan pria itu, dia duduk di samping sang ayah.
"Ramai banget, tamu ayah ya?"Tanya Alice penasaran. Pria itu hanya tersenyum tipis, dia melirik istri nya, "Kamu pasti sudah tahu, beberapa rahasia tentang kehadiran mu disini kan?"Tanya Marcell secara langsung. Dia tidak mau membuang waktu lagi, Alice sudah besar dan pasti mengerti.
Alice terdiam, dia menatap pria tua di depan nya dengan datar. Marcell pun kembali melanjutkan ucapannya.
"Mereka adalah keluarga kandung mu dan kehadiran mereka disini tentu saja untuk
membawa mu kembali bersama mereka." Pria tua itu tersenyum pada Alice.
Alice tidak bereaksi banyak, "Oh." Hanya itu yang ia ucap kan.
Pria tua itu mendadak bingung, dia pun menatap Marcell bertanya. Marcell tersenyum canggung, "Ayo, Alice. Sapa dia, Jeffrey Everest, kakek kandung mu." Ucap Marcell memperkenalkan pria tua yang sudah menunggu moment ini dalam beberapa jam yang lalu.
Alice yang tadi nya acuh tak acuh, mendadak membulatkan mata nya terkejut. Dia menatap Marcell dan pria tua itu secara bergantian.
"Everest? Berarti, kakek Ruby dan Cakra?"Tanya nya dengan spontan.
Pria tua itu mengangguk semangat ketika
Alice menyebutkan nama kedua cucu nya yang lain. Melihat itu, Alice mendadak pusing dan ingin tidur sekarang saja.
"Bu, seperti nya Alice bakalan sakit." Ucap nya dengan lemah sambil memegang kepala nya, mereka pun menjadi panik, terlebih gadis itu tiba-tiba pingsan di sebelah Marcell.
"Alice!"Teriak mereka semua.
Beberapa saat kemudian,
Alice hanya diam sedari tadi di dalam mobil, hari ini juga dia langsung di angkut dari rumah orang tua angkat nya dan di bawa ke rumah utama keluarga Everest.
Pria tua yang mengaku sebagai kakek nya, mengatakan, disana ada ayah kandung nya yang telah menunggu kehadirannya dengan kebahagiaan amat sangat.
Alice tidak bereaksi banyak, dia hanya mengangguk paham dan ikut dengan kakeknya.
Dia telah mengucapkan kata-kata perpisahan, tidak banyak karena dia akan tetap mengunjungi kedua orang tua angkat nya itu.
"Kakek baru tahu, kalau kamu dekat dengan Ruby dan Cakra. Mereka tidak pernah bilang sama kakek." Ucap Jeffrey membuka percakapan, meski terdengar canggung untuk seorang lelaki tua yang ingin berusaha dekat dengan cucu perempuan nya yang telah lama hilang.
"Tidak dekat." Jawab Alice acuh, dia melihat ke arah luar jendela, menikmati pemandangan malam hari yang cukup membuat hati nya tenang.
Jeffrey menjadi bingung, "Oh, tetapi kalian teman kan? Itu sudah bagus, kalian akan menjadi sepupu nanti." Ucap pria tua itu mencoba lagi.
"Kami musuh." Kata Alice datar.
Baiklah, Jeffrey menyerah dia akan membiarkan Alice dulu untuk sementara. Seperti nya, gadis itu masih terlalu shock
dengan kabar ini.
Mereka pun menikmati perjalanan dalam keheningan yang terasa sangat lama untuk Alice.
Dia sudah mengantuk dan ingin tidur. Namun, memikirkan dia akan serumah dengan Ruby, dia ingin melompat saja ke dalam sungai dan berubah menjadi ikan.
Agar tidak ada yang dapat menganggu ketenangan nya lagi. Dunia ini memang cukup kejam sampai-sampai menyiapkan hadiah seperti ini untuk nya.
^^
tp yg baca ko dikit y..
yooo ramaikan hahhlah
semangat kk