Di ulang tahun pernikahannya yang kedua, Lalita baru mengetahui kenyataan menyakitkan jika suaminya selama ini tidak pernah mencintainya, melainkan mencintai sang kakak, Larisa. Pernikahan yang selama ini dia anggap sempurna, ternyata hanya dia saja yang merasa bahagia di dalamnya, sedangkan suaminya tidak sama sekali. Cincin pernikahan yang yang disematkan lelaki itu padanya dua tahun yang lalu, ternyata sejak awal hanya sebuah cincin yang rusak yang tak memiliki arti dan kesakralan sedikit pun.
Apa alasan suami Lalita menikahi dirinya, padahal yang dicintainya adalah Larisa? Lalu akankah Laita mempertahankan rumah tangganya setelah tahu semua kebenarannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tiwie Sizo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hanya Sandiwara
Tubuh Lalita terasa bagaikan tak memiliki tulang. Dia lunglai begitu saja tanpa peduli gaun indah yang saat ini tengah dikenakannya mungkin akan kotor. Sebuah kenyataan pahit yang baru saja dia dengar tadi benar-benar membuatnya syok. Erick bahkan membayangkan wajah Larisa setiap kali melakukan hubungan suami-istri dengannya, sungguh sulit dipercaya.
Lalita tergugu. Suami dan kakaknya itu telah pergi beberapa saat yang lalu. Tapi sebelum pergi, mereka terus berdebat dengan sengit. Perdebatan yang justru semakin memperjelas betapa dalamnya hubungan mereka dulu kala. Erick juga berulangkali menegaskan jika dirinya hanya mencintai Larisa saja, bahkan setelah menikah dan menjalani hidupnya bersama Lalita selama dua tahun ini.
"Kenapa seperti ini? Ini pasti mimpi, bukan kenyataan …." Lalita berusaha untuk menyangkal kenyataan yang dihadapinya saat ini, meski tentu hatinya sangat tahu jika hal itu nyata adanya.
"Erick dan Kak Risa … tidak mungkin mereka punya hubungan sebelumnya. Tidak mungkin," gumam Lalita lagi sembari menggelengkan kepalanya. Isakannya semakin kuat dan air matanya juga mengalir semakin deras.
Sekuat tenaga Lalita mencoba menyangkal, tapi tetap saja hatinya tak bisa dibohongi. Bibirnya mungkin tak mau menerima, tapi pikirannya sejalan dengan kenyataan yang ada saat ini. Sejauh ingatannya menelusuri perjalanan kehidupan pernikahannya, Erick memang tak pernah sekalipun menyatakan cinta atau melakukan hal manis untuknya.
Tadinya, Lalita berpikir jika suaminya itu adalah tipe lelaki kaku yang tak pandai mengungkapkan perasaan. Tak disangka jika alasan Erick selalu bersikap datar padanya adalah karena lelaki itu tak memiliki perasaan sedikit pun terhadapnya, melainkan mencintai Larisa. Sebuah kenyataan yang menghancurkan hati Lalita hingga nyaris tak berbentuk lagi.
"Bagaimana bisa?" Akhirnya Lalita bergumam parau dengan penuh kepedihan. Dia memang telah jatuh cinta pada Erick bahkan sejak pertama kali lelaki itu dibawa oleh papanya, tapi bukankah Erick sendiri yang datang melamarnya?
Lalita ingin menela'ah apa yang sebenarnya terjadi, tapi otaknya terlampau buntu karena rasa sakit. Yang bisa dilakukannya hanya menangis dan terus menangis hingga hatinya sedikit merasa lega. Setelah beberapa saat, akhirnya Lalita pun bangkit dan berusaha untuk menyeret langkahnya meninggalkan tempat itu. Tujuannya tentu bukan kembali ke pesta, melainkan langsung menuju ke kamar hotel yang sebelumnya telah dia sewa untuk bermalam dengan sang suami.
Sejenak Lalita mematung saat memasuki kamar tersebut. Nuansa romantis langsung menyambutnya, membuat hatinya semakin terasa pilu. Entah berapa lama dia menyiapkan pesta ulang tahun pernikahannya malam ini, sungguh tak disangka jika sekarang dirinya justru akan merasakan luka yang teramat sangat dalam.
Setelah menghela nafas panjang, Lalita akhirnya melangkah mendekati tempat tidur, lalu merebahkan tubuhnya di sana. Air matanya kembali mengalir, meski dia berusaha untuk tak menangis lagi. Dengan kasar Lalita lalu menyeka air matanya itu. Dia kembali bangkit dan mengambil sebuah kotak kecil yang sebelumnya sengaja dia taruh di atas nakas agar Erick melihatnya dengan mudah, lalu membukanya. Sebuah kejutan yang tadinya ingin dia berikan pada suaminya itu sebagai kado ulang tahun pernikahan mereka.
Lalita membuka sendiri kotak kecil tersebut dan mengambil isinya. Sebuah alat tes kehamilan yang memperlihatkan hasil jika dirinya sekarang sedang mengandung benih Erick. Tadinya, dia berpikir jika Erick pasti akan sangat senang menerima kejutan itu. Lalita bahkan membayangkan jika suaminya itu pasti akan memperlihatkan ekspresi bahagia di wajah datarnya. Tapi sekarang bayangan itu sirna layaknya debu yang tertimpa air hujan. Lelaki itu tak akan mungkin senang. Yang ada malah akan merasa terbebani dan semakin frustasi.
Sembari memejamkan matanya, Lalita akhirnya mematahkan alat tes kehamilan tersebut menjadi beberapa bagian, lalu membuangnya ke tempat sampah. Erick tidak perlu tahu keberadaan janin di dalam kandungannya. Tak ada gunanya. Toh, tadi lelaki itu bilang akan segera menceraikan dirinya, kan?
Kata-kata yang diucapkan oleh Erick pada Larisa tadi kembali terngiang di telinga Lalita, membuat air mata perempuan itu hendak jatuh lagi, tapi sekuat tenaga dia tahan.
"Berhentilah menangis, Lita. Jangan buang air matamu lagi," gumam Lalita pada dirinya sendiri.
"Kamu yang bodoh. Kamu yang terlalu cinta pada Erick sampai-sampai tak melihat bagaimana selama ini dia memperlakukanmu. Kamu yang bodoh …." Lalita hendak menguatkan dirinya sendiri, tapi dia malah kembali terisak.
Tentu saja hati Lalita hancur. Dua tahun dia mengabdikan dirinya untuk menjadi istri yang baik. Dia melepaskan statusnya sebagai putri dari seorang pemilik bisnis hotel ternama di hadapan Erick, lalu menjelma menjadi istri yang berbakti. Setiap hal yang Erick benci, dia akan dengan sukarela menjauhinya meksipun dia sangat menyukai hal itu. Pun sebaliknya, apapun yang Erick suka, Lalita juga akan berusaha untuk menyukainya juga meski dia harus melawan ketakutannya sendiri.
Cinta Lalita terhadap Erick terlalu luas dan tanpa batas, tapi lelaki itu justru berkata jika dirinya hanya perempuan manja dan tak tahu malu. Seperti ada sebuah belati yang menikam dada Lalita saat ini, rasanya begitu sesak dan juga nyeri. Bahkan, hanya untuk sekedar menghela pun rasanya sangat sulit.
Lalita lalu kembali merebahkan tubuhnya ke atas tempat tidur. Terserah jika saat ini orang-orang di pesta sibuk mencari dirinya. Tubuh dan pikirannya sekarang terlalu lelah dan sakit untuk memikirkan itu semua. Persetan dengan pesta yang telah dia persiapkan itu. Persetan pula dengan gosip yang mungkin saja akan beredar karena dirinya yang tiba-tiba saja menghilang dari pesta. Tak ada yang lebih buruk ketimbang mengetahui kenyataan jika suaminya mencintai kakaknya sendiri.
Dering ponsel membuyarkan isi kepala Lalita, membuatnya kembali beringsut duduk dan mengeluarkan benda tersebut dari tas tangannya. Helaan nafas panjang langsung keluar dari mulut Lalita saat melihat jika yang menghubunginya adalah Larisa, kakaknya.
Ingin rasanya Lalita menolak panggilan itu, tapi sepertinya hal tersebut hanya akan membuat orang tuanya khawatir. Sudah pasti Larisa menghubunginya karena disuruh oleh sang mama.
"Iya, Kak?" Lalita akhirnya menjawab panggilan tersebut.
"Kamu di mana?" tanya Larisa di seberang sana. Dapat Lalita dengar kekhawatiran dari nada bicara kakaknya itu.
"Aku sedang beristirahat di kamar. Kepalaku tiba-tiba pusing," sahut Lalita berbohong.
"Ya ampun, Lit, kenapa tidak bilang? Mama dan Papa dari tadi khawatir karena kamu tidak juga kembali ke pesta. Erick juga." Larisa menggerutu.
Erick khawatir? Lalita tersenyum miris mendengar itu. Bagaimana mungkin lelaki itu khawatir padanya setelah tadi terus mengucapkan kata-kata kasar yang ditujukan untuknya? Ah, Lalita baru ingat kalau kakaknya ini sering mengatakan hal serupa, Erick merindukannya, Erick mencemaskanya, dan masih banyak lagi.
Dulu dengan bodohnya Lalita mempercayai semua itu. Hatinya bahkan merasa berbunga-bunga. Entah bagaimana dia bisa begitu naif dan konyol, tidak merasa kalau kata-kata manis itu adalah sandiwara kakaknya saja. Sandiwara yang membuainya sampai kemudian terhempas dengan sangat keras dan menyakitkan seperti sekarang ini.
Bersambung ....