Saran author, sebelum membaca novel ini sebaiknya baca dulu "Gadis Bayaran Tuan Duren" ya kak. Biar ceritanya nyambung.
Novel ini menceritakan tentang kehidupan putra dari Arhan Airlangga dan Aina Cecilia yaitu King Aksa Airlangga dan keempat adiknya.
Sejak tamat SMP, Aksa melanjutkan studinya di Korea karena satu kesalahan yang sudah dia lakukan. Di sana dia tinggal bersama Opa dan Oma nya. Sambil menyelesaikan kuliahnya, Aksa sempat membantu Airlangga mengurusi perusahaan mereka yang ada di sana.
Tak disangka sebelum dia kembali, sesuatu terjadi pada adiknya hingga menyebabkan sebuah perselisihan yang akhirnya membuat mereka berdua terjebak diantara perasaan yang seharusnya tidak ada.
Bagaimanakah kelanjutan ceritanya?
Jangan lupa dukungannya ya kak!
Semoga cerita ini berkenan di hati kakak semua.
Lope lope taroroh untuk kalian semua 😍😍
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kopii Hitam, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
TPTG BAB 29.
"Aakhhh..."
Erangan Aksa terdengar dahsyat saat mencapai puncak kepuasannya. Matanya memicing, bibirnya menganga, kakinya bergetar dan punggungnya tersandar di dinding toilet dengan keringat yang mengucur deras membasahi dahi.
Lumpur panas itu keluar setelah membayangkan ciuman panas bersama Inara tadi. Aksa menggigit leher Inara saat gairahnya sudah tak bisa dikendalikan, tangannya berkeliaran menyentuh permukaan dada Inara hingga tanpa sadar meremasnya sambil mengesap dalam bibir mungil milik adiknya itu.
Seumur-umur, baru kali ini Aksa merasakan hal ini dan itu membuatnya hampir saja kehilangan akal sehat. Larut dalam buaian asa, dilema di sangkar asmara yang menggelora.
Setelah membersihkan diri dan merapikan penampilan, Aksa keluar dari toilet. Dia kembali duduk di samping Inara yang tengah termenung dalam pemikirannya, terlihat jelas ada guratan kekecewaan di wajah gadis itu. Tanpa pikir Aksa merengkuh pundak Inara dan membawanya ke dalam dekapan dadanya, Aksa juga tak segan mengecup pucuk kepala adiknya itu.
"Lepasin aku!" lirih Inara yang sudah kehilangan sebagian tenaganya. Sakit, perih, marah, kecewa, frustasi, itulah yang dia rasakan saat ini. Merasa terhina dan hilang harga diri di depan kakaknya sendiri.
Dia ingin sekali berteriak sekencangnya, dia ingin mencabik-cabik bibir Aksa agar tak lagi menciumnya, dia juga ingin mematahkan tangan bajingan itu agar tak lagi menyentuhnya.
Tapi kenapa dunia tidak mau berpihak padanya? Dia bahkan tak memiliki keberanian untuk melawannya.
Selemah inikah dirinya? Serapuh inikah dia sehingga tak memiliki daya untuk memberantas kejahatan yang sudah dilakukan kakaknya itu.
Dia merasa jijik dengan Aksa, dia juga jijik dengan dirinya sendiri yang sudah membiarkan bajingan itu mencuri kepuasan darinya. Inara merasa dirinya sangat kotor, bahkan seorang pela*cur lebih berharga dari pada dirinya.
"Maaf," Hanya satu kata itu yang terlontar dari mulut Aksa.
Dia tau ini salah, dia tau ini menyakiti Inara dan dia juga tau gadis itu membencinya. Tapi apa yang bisa dia lakukan? Perasaan yang tertanam di hatinya sudah membuat jiwa kelakian nya meronta, sedikit sentuhan saja mampu membuatnya gila. Gila akan belaian, gila akan kehangatan. Semakin Aksa mencoba menyadari posisinya, semakin kuat pula rasa itu membelenggu dirinya.
"Lepasin aku!" pinta Inara lagi.
"Sssttt... Diam dan tidurlah! Setelah sampai nanti, aku akan membangunkan mu." gumam Aksa sambil menangkup tangannya di pipi Inara.
Inara mengepalkan tangan, kepalanya mendongak dengan tatapan sendu yang mampu mengiris hati Aksa. "Bolehkah aku meminta sesuatu padamu?"
"Katakan saja!" jawab Aksa.
Inara menghela nafas berat. "Saat tiba nanti, tolong jauhi aku! Jangan ganggu aku lagi, biarkan aku melanjutkan hidupku dengan tenang!"
"Deg!"
Aksa membulatkan mata dengan sempurna, hembusan nafasnya berpacu dengan detak jantung yang berdegup tak menentu. "Apa kamu yakin?"
"Iya," angguk Inara.
Aksa memicingkan matanya sejenak, saat membukanya lagi dia menatap Inara dengan sendu. Hembusan nafasnya terdengar berat.
"Baiklah kalau itu maumu, aku janji tidak akan mendekatimu lagi setelah kita tiba nanti. Tapi untuk kali ini, tidurlah di pelukanku untuk yang terakhir kalinya!"
Aksa memicingkan mata. Meski berat dia terpaksa menuruti permintaan Inara. Jika tanpa dia Inara bisa bahagia, maka dia akan berusaha melepaskan rasa ini dan mengikhlaskan.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
"Mas, ayo cepat!"
"Iya sayang, tunggu sebentar!"
"Ih, lama banget sih. Jangan sampai mereka kelamaan menunggu kita!"
"Iya, iya, ini sudah selesai."
Nayla benar-benar sudah tidak sabar ingin bertemu dengan putri semata wayangnya. Empat bulan sudah Nayla menahan kerinduannya dan kini putri kecilnya sudah kembali. Ibu mana yang tidak bersemangat menyambut kedatangan anak mereka?
Pukul tiga lewat sepuluh sore, pesawat yang ditumpangi Aksa dan Inara mendarat di bandara. Keduanya turun dan berjalan dengan jarak yang cukup jauh. Sesuai janjinya, Aksa akan membiarkan Inara hidup tenang tanpa dirinya.
"Aksa, Inara,"
Baru saja keduanya sampai di pintu masuk bandara, suara Nayla sudah melengking di telinga mereka.
"Bunda..." Inara meninggalkan kopernya dan berhamburan ke dalam pelukan Nayla. "Bunda, Inara kangen." lirihnya.
"Bunda juga kangen Nak, sangat." Nayla tak sanggup menahan diri. Air matanya tumpah begitu saja, dia menangkup tangan di pipi Inara dan mengecup pipi, kening dan hidung putrinya tanpa henti.
Setelah puas memeluk sang bunda, Inara beralih memeluk Hendru yang masih terpaku di samping Nayla.
"Ayah, Inara kangen." lirihnya berderai air mata.
"Ayah juga kangen," Meski tangisannya tidak keluar tapi mata Hendru berkaca memeluk putri kecilnya yang sangat dia sayangi.
"Bunda, Ayah,"
Aksa ikut memeluk mereka setelah Inara melepaskan pelukannya.
"Aksa sudah membawa Inara pulang sesuai janji Aksa sama kalian semua. Sekarang pulanglah, Aksa harus pergi!"
Dengan berat hati, Aksa melepaskan pelukannya dan menjauh sambil menarik kopernya.
"Aksa, kamu mau kemana Nak?" teriak Nayla yang nampak kebingungan.
Aksa menghentikan langkahnya dan berbalik. "Tidak perlu memikirkan Aksa, Aksa sudah dewasa dan bisa menjaga diri Aksa sendiri!" Setelah mengatakan itu, Aksa tersenyum dan kembali melanjutkan langkahnya. Dia masuk ke dalam mobil Arhan yang dikendarai oleh Rai dan menghilang dalam sekejap mata.
Nayla dan Hendru saling menatap heran, berbagai pertanyaan mulai membelit di benak keduanya. Sementara Inara sendiri hanya diam tanpa ekspresi.
"Kita mau kemana?" tanya Rai yang tengah fokus mengendarai mobilnya.
"Villa," jawab Aksa singkat.
"Villa?" Rai melirik melalui kaca spion depan. "Kenapa ke villa? Bukankah-"
"Jalan saja, atau aku akan menurunkan mu di sini!"
Rai mengerutkan keningnya. Dia bingung melihat Aksa yang seperti tengah dilanda kegalauan yang hakiki. Tak ingin disembur lagi, Rai terpaksa diam dan fokus melajukan mobilnya sesuai arahan Aksa.
Dua jam menempuh perjalanan, tibalah mobil itu di gerbang sebuah villa mewah yang ada di pinggiran kota. Setelah penjaga membukakan pintu gerbang, mobil itu melesat masuk dan berhenti tepat di depan pintu utama.
"Selamat datang Tuan muda Aksa," sapa Pak Joko, penjaga villa yang sudah bertahun-tahun mengabdikan diri menjaga villa milik Airlangga itu.
"Makasih Pak, tolong bawa masuk koperku ke kamar!" ucap Aksa, kemudian meninggalkan Pak Joko dan Rai begitu saja.
Sedih? Tentu saja. Marah? Apalagi. Tapi Aksa tidak memiliki pilihan lagi selain menjauhkan diri dari Inara. Apa lagi yang bisa dia lakukan?
Memaksa? Sudah cukup dia memaksakan diri.
Seberapapun kerasnya dia berusaha, Inara tidak akan pernah tertarik padanya.
"Sial," Aksa mengumpat sambil meremas rambutnya dengan kasar.
Dia masuk ke ruang bawah tanah yang dulunya pernah menjadi tempat bermainnya bersama keempat adiknya. Ruangan yang memiliki ukuran cukup luas dan dilapisi cat berwarna hitam di setiap sisinya.
"Kau pikir kau itu siapa? Dasar keras kepala!" Aksa kembali mengumpat sambil menghempaskan tubuhnya di atas sofa.
Pusing, itulah yang dirasakan Aksa saat ini. Kepalanya berdenyut memikirkan wanita yang kini sudah memiliki tempat istimewa di dalam hatinya.
"Cinta ini menyebalkan sekali. Hufttt..."
Aksa tak henti-hentinya mengumpat. Jauh dari lubuk hatinya yang terdalam, dia tidak ingin seperti ini. Cinta membuatnya menjadi bodoh.
Kemana Aksa yang dulunya dingin, kaku, keras dan malas memandang wanita. Justru sekarang wanita lah yang membuatnya lemah.
Bersambung...