Ketika adik-adiknya sudah memiliki jodoh masing-masing, Ara masih diam tanpa progres. Beberapa calon sudah di depan mata, namun Ara masih trauma dengan masa lalu. Kehadiran beberapa orang dalam hidupnya membuat Ara harus memilih. Teman lama atau teman baru? Adik-adik dan keluarganya atau jalan yang dia pilih sendiri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon veraya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 23 : Rapat keluarga
Ara masuk ke lobi hotel sendirian. Wajahnya terpulas sedikit make up natural dan sederhana. Poni sampingnya dijepit dengan pin lidi yang sederhana. Rambutnya yang panjang bergelombang dibiarkan tergerai sempurna. Rok rempel polos selutut dipadu atasan kaos ditutup cardigan crop motif bunga.
Dengan penuh percaya diri Ara masuk ke lokasi ulang tahun. Dia mencari Risty tapi kok belum terlihat. Ara berkeliling menyusuri meja-meja panjang yang menyajikan makanan ringan dan minuman dalam cangkir kecil.
Dia melihat sekeliling yang sudah penuh dengan orang-orang bergaun malam dan berkilau-kilau. Para pria juga memakai jas. Ara melirik roknya lalu ke sepatunya sendiri. Sepatu kets ber-sol tebal dan bertali warna putih.
Apakah dia sudah salah kostum?
Ara tidak begitu peduli. Dia melanjutkan wisata kulinernya sendirian. Banyak makanan dengan desain artistik tapi nggak tega untuk dimakan.
Risty sudah melihat Ara dari kejauhan. Dia menghampiri Ara sambil tersenyum.
"Ara."
Ara membalikkan badannya dan seketika mulutnya terbuka lebar. Risty memakai dress bludru warna navy dengan belahan dada rendah. Ekor gaunnya tampak terjuntai indah di belakang kaki jenjang Risty yang nampak dari belahan paha.
Rambutnya sleek ditambah sanggul tanpa aksesoris. Anting panjang berkilauan serta kalung berlian kecil menghiasi lehernya.
"Kamu top model, kah? Aku nggak salah lihat nih?"
Risty tertawa elegan.
"Makasih udah datang. Bentar lagi acaranya mulai. Ada kejutan buat kamu."
"Hah? Kejutan?"
Risty menyunggingkan senyum tipis. "Duduklah."
Risty berjalan meninggalkan Ara dan duduk di kursi paling depan bersama orang-orang yang terlihat seperti golongan elite.
Ara duduk di kursi paling belakang. Seorang pembawa acara memulai acara pembuka dengan menayangkan profil hotel serta pencapaiannya selama setahun ini. Hingga tiba saatnya memotong kue, Risty maju ke atas panggung ditemani oleh beberapa jajaran direksi. Hadirin bertepuk tangan meriah.
"Oke, setelah ini silakan menikmati sajian dari kami yang sudah tersedia ya. Termasuk sajian istimewa yang satu ini. Sambutlah hadirin sekalian...THE RED ROSE!"
Tepuk tangan kembali meriah menyambut para personel masuk ke panggung. Ara menutup mulutnya saking kaget dan senangnya ada Mahesa di sana. Dia tidak menyangka band mereka akan menjadi tamu dalam acara ini.
Kali ini Ara tidak maju ke pinggir panggung karena semua hadirin duduk di kursi. Lagu yang dibawakan The Red Rose juga lagu-lagu yang slow dan tidak menghentak seperti sebelumnya. Mungkin ini disesuaikan dengan tamu-tamu yang hadir.
Mahesa tampil gemilang seperti biasanya. Tapi kali ini dia tidak kelamaan berdiri, Mahesa duduk sambil memeluk gitar akustiknya. Menambah kesan romantis dalam suasana yang kalem.
Tiba-tiba di tengah lagu yang sedang dia nyanyikan, seorang perempuan berambut coklat keemasan maju ke panggung lalu menyelipkan setangkai bunga mawar di ujung gitar Mahesa.
Mahesa terlihat bingung sesaat namun cepat kembali fokus pada lagu yang dia mainkan. Dia tersenyum singkat pada perempuan itu.
Ara melihat perempuan itu turun lalu tertawa sambil bersalaman tangan dengan Risty sebelum duduk kembali di kursi belakang Risty. Raut wajah mereka akrab seolah saling menggoda.
Ara tercenung. Untung saja Mahesa tidak melihatnya karena posisi Ara di belakang dan tertutupi banyak orang.
Ketika lagu kedua selesai, Risty kembali naik ke panggung dan mengambil alih microphone dari pembawa acara.
"Hari ini sangat istimewa bagi saya dan R&D karena selain first anniversary, saya juga akan mengumumkan project besar yang akan saya garap bersama tim Real Dream. Ada sebuah film yang akan kami angkat dari sebuah novel karya...saya sendiri awalnya nggak percaya ya, ternyata penulisnya adalah teman saya sendiri semasa SMA. Dia hadir di sini juga sekarang. Please give your love for her. Aradila."
Tangan Risty terbuka sambil menunjuk di mana Ara duduk. Ara terkejut bukan main. Dia belum bilang jika ingin muncul sebagai Ara untuk The Dreamer secepat ini dan dalam suasana seperti ini. Ara merasa panik tapi dia paksakan untuk tersenyum sambil menunduk. Seminimal mungkin menampakkan wajahnya yang gugup.
"Dukung film kami agar kami bisa terus berkarya dan bergerak maju memberi kontribusi positif pada dunia perfilman dan ide kreatif di Indonesia. Terima kasih."
Mahesa adalah orang pertama yang kaget. Kaget atas kehadiran Ara, kaget atas film itu, dan kecemasan dia tentang adegan bunga mawar Alice.
Risty turun ke panggung dan lagu berikutnya dimainkan kembali oleh The Red Rose. Ara merasa tidak nyaman, dia memutuskan untuk meninggalkan kursinya namun panggilan Risty menahannya di dekat pintu keluar.
"Ara...mau ke mana?"
"Ng...ke toilet sebentar."
"Maaf ya aku tadi kasih pengumuman tanpa minta izin kamu dulu. Tapi aku rasa ini bagus untuk penjualan film nanti. Kamu juga pasti bangga dengan karyamu, kan?"
Ara hanya mengangguk kaku lalu pergi meninggalkan Risty. Entah kenapa Ara merasa Risty sengaja menekan rasa takutnya.
Risty melihat Ara yang berlari kecil meninggalkannya.
"Kamu masih saja kayak anak kecil, Ara. Tidak pernah belajar untuk waspada. Setelah ini kita lihat seberapa jauh kamu bisa berlari."
Di dalam toilet, Ara menelpon Pamungkas dengan suara bergetar.
"Kak, ternyata yang punya Real Dream itu temenku SMA. Dan dia udah buka identitasku di muka umum. Gimana dong? Bukankah kemarin kita adain perjanjian nggak perlu nunjukin mukaku?" Ara menjentik-jentikkan kuku jarinya dengan cemas.
"Aku sudah bilang sama mereka untuk sementara nggak perlu ekspos kamu. Paling nggak sampai film-nya rilis. Aku juga kaget kamu crita gitu. Ya udah, nggak apa-apa, mau gimana lagi. Kamu sebenarnya sudah siap dari awal aku bilang film ini akan digarap Pak Doni, kan? Memang itu strategi marketing mereka."
"Tapi...tapi..."
"Apa yang kamu takutkan lagi? Sudah terbuka pintunya, jadi keluarlah dari sisi gelapmu ya. Kamu harus jalan menuju terang. Oke?"
Ara masih berdebat dengan dirinya sendiri di kepala. Di satu sisi dia belum siap, di sisi lain dia menertawakan dirinya sendiri yang ketakutan.
"Baiklah..."
Akhirnya hanya kata itu yang bisa diucapkannya pada Pamungkas. Tangan Ara masih gemetar ketika dia mengakhiri sambungan telepon itu. Ara menarik nafas panjang, menahannya, mengeluarkannya perlahan. Begitu terus berulang-ulang sampai detak jantung dan nafasnya kembali normal.
Ara tidak bisa balik lagi ke tempat acara, dia butuh udara segar untuk sesaat sebelum pulang. Ara menuju pinggir kolam renang sambil duduk di bawah pohon palem. Sore ini cuaca benar-benar cerah. Semburat ungu dan merah muda mulai berpendar di langit.
Dari arah seberang, Ara melihat Risty melingkarkan lengannya pada seorang laki-laki. Ara memicingkan matanya dan menduga itu adalah orang yang dia kenal.
Ara mengeluarkan ponsel dan menekan tombol kamera. Dengan fitur zoom in, Ara bisa melihat bahwa laki-laki itu adalah Saka. Ara mengabadikan momen itu dengan kamera dan video.
Rasa ngilu di hatinya muncul lagi bagaikan luka lama yang terbuka. Dalam satu momen dia menyaksikan dua orang yang tadinya begitu dekat kini terasa jauh bagaikan tak tergapai.
Saka dan Risty. Mahesa dan rambut coklat.
...* * * * *...
Sarah bersedekap sambil menarik nafas dalam-dalam. Semua anggota keluarga hadir di ruang tengah setelah Sarah meneriakkan 'KUMPUUUUL!' di grup Darmana Family.
Kecuali Syila. Dia sudah tidur. Dan ini bukan obrolan anak balita
"Mama terpaksa ngumpulin kita semua karena perlu banyak masukan positif untuk kasus yang satu ini. Kakak kalian, Aradila, sudah banyak bikin kontroversi di keluarga ini. Silakan, terdakwa beri penjelasan."
Ara malas sekali dengan pertemuan keluarga macam begini. Meskipun tujuannya baik, tapi Ara merasa ini berlebihan.
"Yang mana dulu yang perlu dibahas?"
"Mahesa."
"Mahesa dan Ara nggak pacaran. Video yang kalian lihat itu hanya ekspresi persahabatan aja. Ada mawar nganggur, dikasih ke Ara."
"Yaaah...padahal kalian romantis banget. Yang gendong-gendongan itu juga. Bagus kan kalau judul video pernikahan kalian besok 'Teman Tapi Menikah' kayak film yang terkenal itu." kata Alan.
"Gendong-gendongan?!" Sarah melotot ke arah Ara lalu berpaling ke suaminya. "Pah!"
"Ara kan udah bilang tadi kalau mereka cuma temenan, sahabat dari kecil kadang kebiasannya masih kebawa sampai mereka besar." bela Agung.
Ara mengacungkan jempolnya untuk Papanya.
"Pokoknya Mama nggak mau kamu pacaran sama artis lagi! Udah cukup si Kutu Kupret yang dulu itu, Ara! Sekarang tentang Saka..." lanjut Sarah.
"Mas Saka udah punya pacar."
"APAA?!" Ini kali kedua Sarah berteriak sambil melotot. Anak-anaknya merasa habis ini tensi Mamanya itu akan melejit bagai roket.
"Ara ada buktinya. Nih." Ara menunjukkan foto Risty dan Saka ke hadapan Mamanya. Adik-adiknya juga ikutan penasaran.
"Belum tentu itu pacarnya. Bisa saja rekan kerjanya, sepupunya, atau adiknya."
"Adik Mas Saka itu cowok, Ma. Ara udah pernah ketemu. Dan Ara juga kenal sama wanita itu. Masa' rekan kerja kok peluk-peluk lengan gitu."
Sarah memijit keningnya. "Pa!"
Agung menghela nafas panjang. Merasa ada yang salah dengan informasi dari Agus. Tapi dalam hatinya dia tidak ingin menyalahkan siapa-siapa. Orang bisa berubah seiring waktu berjalan
"Ya udah, mungkin Ara memang harus bertapa dulu di Gunung Gede untuk menghilangkan kutukan."
"Papa!" Kali ini Ara dan Mamanya kompak protes.
Azka dan Alan bukannya sedih malah tertawa ngikik.
"Jodoh itu Tuhan juga yang kasih jalan, Ma. Kalau memang mereka berjodoh, walaupun udah punya pacar sekalipun, Saka bisa aja balik lagi."
"Iya, itu...kayaknya Mas Saka-nya terpaksa gitu sama mbak yang cantik itu. Jangan-jangan itu cuma sandiwara mereka aja biar Mbak Ara cemburu. Cemburu kan tanda sayang." Tari menambahkan.
"Mama udah bilang, kan? Kamu harus memperbaiki diri. Mungkin Saka nggak mau sama kamu karena kamunya masih kekanak-kanakan."
"Ara udah kayak gini dari lahir, mau berubah gimana? Yang mau sama Ara ya yang harus bisa nerima karakter Ara dong! Masa' Ara harus berubah kayak Paris Hilton atau Raisa dulu baru dapat jodoh?"
"Mama dulu nggak kayak gini, Ara. Tapi demi bisa nikah sama Papa kamu, Mama rela berubah, minimal memperbaiki diri lah."
"Emang Mama dulu gimana?"
"Lebih sangar lagi. Sembarang orang dia tendang." kata Papa.
Sarah mendelik ke arah Agung. "Papa jangan mengalihkan topik utama dong."
Kali ini Ara yang memijit keningnya. Dia hanya ingin berhenti. Berhenti mencari, berhenti memikirkan siapa jodohnya kelak.
"Ada yang harus Ara selesaikan dulu, Ma. Kalau semua cita-cita Ara tercapai, Ara akan pikirkan lagi soal menikah."
Sarah memandang Ara dengan tatapan sangsi. Dia beralih pada kedua anak laki-lakinya.
"Alan! Azka! Kalian kan masih ingat Mama kasih tugas cari kandidat lain buat kakak kalian! Ada hasil, nggak?" tanya Sarah galak.
"Nggak." Mereka berdua kompak menjawab singkat. Seperti Ara, mereka berdua juga ingin segera mengakhiri rapat ini.
"Dista ada..." belum kelar kalimat Dista, Alan sudah membekap mulut calon istrinya itu.
"Dista apa?" tanya Sarah curiga.
Dista menggeleng membatalkan mulutnya yang kelepasan bicara.
"Alan! Lepasin! Biarin Dista ngomong."
"Emang Dista mau ngomong?" Alan malah balik bertanya.
"Itu...Dista cuma mau ngingetin, tadi kayaknya Mama manasin sayur. Hari ini Mbok Siran libur kan?"
"ASTAGA!!"
Sudah tidak terhitung lagi berapa banyak Sarah berteriak hari ini.