Rumah tangga yang sudah lama aku bina, musnah seketika dengan kehadiran orang ketiga di rumah tanggaku..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5
Naura terbaring lemah di ranjang rumah sakit, matanya yang sayu memandang sekitar mencari satu sosok yang sangat dirindukannya. Segera setelah sadar, pertanyaan pertama yang terlontar dari bibirnya yang pucat adalah tentang ayahnya, Adnan.
"Di mana Papa?" bisiknya dengan suara serak.
Sebelah ranjang, ibuku menghela napas panjang, raut wajahnya memerah karena amarah yang terpendam. "Adnan memang sangat egois, bisa bisanya anak seperti ini tidak ke sini!" teriaknya, tidak peduli dengan suasana rumah sakit yang seharusnya tenang.
Aku mencoba meredakan situasi, "Mas Adnan lagi sangat sibuk, Buk. Mungkin ada pekerjaan mendadak yang tidak bisa ia tinggalkan," jawabku, sambil memijat pelan pundak ibu, berharap dapat menenangkan hatinya sekaligus hatiku yang juga kalut.
"Hallah, apapun alasan tidak bisa dibenarkan," ucap ibu dengan nada tinggi, kekecewaan jelas tergambar di wajahnya.
Mendengar itu, aku berjalan mendekati Naura, duduk di sisi tempat tidurnya. Kugenggam erat tangan kecilnya yang dingin, mencoba memberikan sedikit kehangatan dan kenyamanan.
"Nanti Papah pasti kesini," ucapku lembut, berusaha memberikan penghiburan, meski di dalam hati kecilku, aku sendiri mulai meragukan janji itu.
Mata Naura berkaca-kaca, penuh harap, namun juga ada kekecewaan yang mulai terbentuk karena kehadiran yang dinanti tak kunjung tiba.
Ponselku berdering, tergeletak di atas meja dekat tempat tidur Naura. Aku melirik layar dan melihat nama Mas Adnan.
Suara ponsel itu semakin kencang, namun rasa malas dan kecewa melanda diriku. Aku yakin, pasti Mas Adnan akan mencari alasan lagi.
"Siapa yang menelfon, Mah?" tanya Naura penasaran.
"Ah, nggak ada siapa-siapa, kok," jawabku berbohong sambil tersenyum pada Naura.
Aku memang tidak ingin dia tahu bahwa sebenarnya Mas Adnan yang menelpon. Kalau dia benar-benar sayang dan peduli, pasti dia datang ke sini untuk anaknya.
"Yasudah, cucu nenek, gak usah mikirin Papah ya. Papah kamu lebih sayang pekerjaannya," ibuku menyindir penuh emosi. Wajahnya nampak marah dan kesal dengan Mas Adnan.
Entah mengapa, aku merasa sedih sekaligus frustasi ketika mendengar ucapan sinis ibu. 'Apakah aku begitu tidak berarti di mata suamiku?' batinku dengan pilu. Tak lama kemudian, Tyas masuk ke dalam bangsal membawa sarapan untuk kami.
"Sarapannya datang!" seru Tyas.
"Ada bubur ayam nggak, aunty?" tanya Naura dengan suara serak.
"Gak ada, Naura. Adanya ayam krispi," jawab Tyas ceria.
"Mau dong, aunty!" sahut Naura semangat.
"Oke, deh!" Tyas lalu memberikan sarapan untukku dan juga ibu.
Ibu menyuruhku makan dulu, sementara dia akan menyuapi Naura. Aku mengikuti saran ibu, mengejapkan air mata yang mulai menggenang, dan mulai mengunyah sarapan dengan berat hati.
Setelah menyelesaikan sarapan pagi ini, aku bergegas untuk mandi dan mengenakan pakaian yang dibawa Sumi tadi. Kini giliran Ibu yang akan mandi, dan aku bertugas menjaga Naura yang baru saja selesai dibersihkan oleh Ibu.
Rasanya begitu tenang dan terorganisir ketika Ibu ada di sini, dia selalu tahu apa yang harus dilakukan untuk membuat semuanya beres.
Tiba-tiba, Tyas berseru, "Kak, minta uang dong, mau kuliah nih." Aku merasa tanggung jawab sebagai kakak, ingin membantu adikku sebaik mungkin.
"Iya, nanti Kakak transfer ya," jawabku.
Tyas tampak lega, "Oke, Kak. Makasih, ya!"
Aku mengangguk sambil tersenyum, "Iya, sama-sama."
"Yaudah, Tyas pulang dulu ya, Kak. Nanti bilangin Ibu," kata Tyas sambil berlalu pergi.
Aku merasa haru melihat adikku tumbuh dan berusaha mencapai cita-citanya. Semoga kebaikan yang aku berikan akan bermanfaat baginya di masa depan.
Dan aku pun kembali fokus untuk menjaga Naura dan membantu Ibu menjalani hari yang penuh semangat dan kasih sayang.
Tyas meninggalkan bangsal Naura. Aku mengelus lembut wajah Naura dengan penuh kasih sayang,
"Aku kesal sama Papah," keluh Naura dengan wajah yang memancarkan kekecewaan.
"Loh, kenapa nak?" tanyaku penasaran.
"Papah gak sayang Naura, Papah jahat," sahut Naura.
"Ssst, gak boleh gitu, nak. Papah lagi kerja untuk kita kan, nak?" jawabku mencoba menenangkan hatinya.
"Naura gak peduli, Naura benci Papah," sahut Naura dengan kekeh, semakin menunjukkan kekesalannya pada sang ayah.
Tok tok.
"Masuk," kataku ketika mendengar ketukan di pintu.
Pintu terbuka, tampak seorang lelaki dengan seragam polisi berdiri di ambang pintu. Hatiku terperanjat, begitu pula dengan Ibu yang baru saja selesai mandi. Kami saling bertatapan, heran dan bingung.
"Maaf, cari siapa, Pak?" tanya Ibu mencoba mencari tahu
"Cari Naura, Bu," jawab si polisi. Naura, yang mendengar namanya disebut, langsung menoleh ke arah pintu dengan penuh antusiasme.
"Om Kevin!" serunya, wajahnya berubah bahagia seketika, seperti menemukan secercah harapan di tengah kekecewaan yang tengah dirasakannya.
"Om Kevin?" Heran ku dan ibu secara bersamaan.
"Iya, Om Kevin, sini Om masuk," seru Naura sangat semangat.
Pria bernama Kevin itu masuk, dan aku bertanya-tanya dalam hati, sejak kapan Naura kenal dengan pria berpakaian polisi ini?
"Ibu," seru Kevin dengan sopan dan ramah, ia menyalami tangan ibu.
Aku dan pria itu saling bertatapan, pria itu tersenyum manis ke arahku. Aku balas dengan senyuman di wajahku, menggambarkan rasa penasaran yang mulai mengusik.
"Om Kevin, kenalkan ini Mamah aku," seru Naura.
"Oo, Mamah kamu," sahut pria itu. Ia memberikan tangannya untuk berkenalan denganku.
"Rania," ucapku singkat, masih mencoba mencerna kehadiran pria ini dalam kehidupan putriku.
"Kevin," serunya, dan kami saling berjabat tangan.
Aku mulai berpikir, apakah dia ini teman baik Naura? Seharusnya aku lebih mengenal teman-teman putriku, supaya tahu siapa yang bisa diandalkan dan siapa yang tidak.
"Mah, dia itu Om Kevin yang menolongku waktu aku tersesat mau ke butik Mamah," jelas Naura. Aku mencoba fokus mendengarkannya. "Nah, sejak itu aku dan Om Kevin jadi teman Naura,.soalnya kami sering bertemu tanpa sengaja."
"Ooh, jadi waktu itu yang menolong cucu saya Anda, Nak Kevin?" seru ibu dengan antusias.
"Kebetulan saja, Buk," sahut Kevin, tersenyum manis di wajahnya.
"Terima kasih banyak, ya, Nak Kevin. Untung bertemu dengan Anda, kalau tidak cucu saya bisa jadi hilang entah kemana," puji ibu.
Aku merasa bingung, harus berkata apa. Kami memang tidak saling kenal, tapi jelas sekali Naura sangat bahagia dengan kehadiran Kevin.
Kevin melangkah mendekati Naura, ia membawa mainan boneka dan beberapa buah untuknya. Sementara itu, ibuku menyenggol lenganku dengan lembut.
"Ucapkan terima kasih, Ran. Anak kita sudah pernah ditolong olehnya," bisik ibu lembut.
Aku menggigit bibir ragu, "Tapi Bu, aku merasa tidak enak dengan Mas Adnan." Ibuku menghela nafas, seolah kesal dengan kebimbangan yang aku rasakan.
"Dasar anak, pria seperti Adnan tidak perlu terlalu dipikirkan. Dia bukan tipe yang mudah tersinggung, biarkan saja kalo Adnan lihat" ujarnya, sebelum berlalu dengan wajah kecewa
Hatiku terasa berat, namun aku memutuskan untuk mengikuti saran ibuku. Aku berjalan mendekati Kevin dan Naura yang sedang asyik berbicara. Senyum merekah di wajah mereka, membuatku merasa lega sekaligus bersyukur karena Naura bisa sebahagia ini.
Menguatkan hati, aku menatap mereka dan berkata dengan nada gugup, "Terima kasih ya, Kevin, sudah membantu anakku dan meluangkan waktu untuk menjenguk Naura."
***