Reynard Fernando, seorang CEO sukses yang lumpuh, menikahi Caitlin Revelton, gadis ceria dan penuh semangat yang dikenal tak pernah mau kalah dalam perdebatan. Meskipun Caitlin tidak bisa membaca dan menulis, ia memiliki ingatan yang luar biasa. Pernikahan mereka dimulai tanpa cinta, hanya sekadar kesepakatan.
Namun, apakah hubungan yang dimulai tanpa cinta ini dapat berkembang menjadi sesuatu yang lebih mendalam? Atau, mereka akan terjebak dalam pernikahan yang dingin dan hampa?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon linda huang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 7
Tom menatap Reynard dengan ekspresi penuh kebingungan, hampir tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Wajahnya tegang, dan suaranya bergetar saat akhirnya bertanya, "Tuan, apa maksud Anda?"
Reynard, tanpa ragu, menatap langsung ke arah Tom. Ia menghela napas pendek sebelum mengulang pernyataannya dengan nada tegas. "Aku ulangi sekali lagi, yang akan aku nikahi adalah Caitlin Revelton."
Ruangan kembali sunyi. Semua mata kini tertuju pada Caitlin, yang tampak terkejut dan kebingungan. Gadis itu menatap Reynard dengan mata penuh pertanyaan. “Bukankah kakakku yang dijodohkan untukmu, kenapa aku yang kamu pilih? Apa niatmu sebenarnya?” tanyanya, suaranya mengandung nada ketidakpercayaan yang dalam.
Reynard menatap Caitlin dengan tatapan yang tak terbaca. Ia mengatur napasnya sejenak sebelum berkata, "Niatku adalah ingin kamu menjadi istriku. Dan ada sesuatu yang ingin aku bicarakan denganmu."
Nancy, yang merasa posisinya terancam, segera angkat bicara. Wajahnya penuh kemarahan dan kecewa. "Tuan, apakah ada yang salah? Kenapa tiba-tiba saja berubah pikiran? Aku yang dijodohkan untukmu, bukan Caitlin!" serunya, suaranya mulai meninggi.
Reynard menatap Nancy dengan tenang, namun nadanya dingin ketika ia menjawab, "Sejak awal aku tidak pernah berpikir melamarmu. Aku datang karena masih menghormati Tuan Revelton. Tapi aku tidak akan sampai mengorbankan diriku untuk menikahi putrinya. Pertemuan ini sama sekali tidak berarti bagiku."
Pernyataan Reynard yang dingin dan tak berperasaan membuat suasana semakin memanas. Nancy membeku, mulutnya ternganga seolah-olah semua kata-katanya hilang.
Beberapa saat kemudian, Reynard membawa Caitlin ke sebuah kafe untuk membahas lebih lanjut tentang syarat-syarat pernikahan mereka. Di sebuah meja sudut yang sepi, Nico, tangan kanan Reynard, menyodorkan selembar kertas putih yang penuh dengan tulisan kontrak pernikahan. Reynard duduk santai sambil meneguk minumannya, sementara Caitlin menatap kertas itu dengan curiga.
"Ini apa?" tanya Caitlin dengan nada waspada, tangannya ragu-ragu menyentuh kertas tersebut.
Reynard memandangnya sambil meletakkan gelasnya dengan tenang. "Surat kontrak. Baca dan pahami, agar kamu tidak keliru," jawabnya, nadanya tak tergoyahkan.
Caitlin mengerutkan kening, wajahnya tampak kesal. "Baca? Apa kamu sedang mengujiku, ya? Aku tidak bisa membaca atau pun menulis," katanya blak-blakan, tanpa rasa malu. Dia kemudian mengeluarkan nota kecil dari saku bajunya dan mulai mencoret-coret sesuatu dengan konsentrasi penuh, tampaknya lebih tertarik pada coretan-coretan itu daripada pada kontrak di hadapannya.
Reynard tampak tenang, bahkan sedikit tersenyum mendengar pengakuan Caitlin. "Nico akan membantumu," ujarnya sambil melirik ke arah Nico yang sudah siap menjelaskan isi kontrak.
Nico mulai membaca dengan suara datar, namun jelas, setiap persyaratan yang tercantum dalam kontrak. "Pernikahan kontrak akan dilangsungkan selama satu tahun, dan hanya pihak pertama, Tuan Fernando, yang menentukan berakhirnya kontrak," ucapnya, membuka klausul pertama.
Caitlin berhenti mencoret-coret dan menatap Nico sejenak sebelum kembali memfokuskan diri pada notanya.
"Kedua, sementara pihak kedua harus mengikuti persyaratan yang dicantumkan dalam surat kontrak. Tidak bisa membantah, dan harus menjadi istri pihak pertama serta setia berada di sisinya," lanjut Nico dengan nada tanpa emosi.
"Ketiga, pihak kedua harus meminta izin setiap ingin pergi atau bertemu dengan seseorang. Hanya dengan izin pihak pertama, maka pihak kedua akan dibenarkan keluar sesuai keinginannya," lanjut Nico, matanya tetap pada kontrak.
"Keempat, biaya keseluruhan akan ditanggung oleh pihak pertama. Pihak kedua berhak meminta apa saja yang diinginkan sebagai hadiah pernikahan," Nico menutup dengan poin terakhir, "Kelima, setelah kontrak berakhir, sebagian bayaran akan dilunaskan oleh pihak pertama."
Setelah selesai, Nico meletakkan kembali kertas kontrak itu di atas meja, sementara Reynard menatap Caitlin dengan tenang.
"Bagaimana, kamu sudah paham?" tanya Reynard, nadanya penuh keyakinan bahwa Caitlin tidak akan bisa menolak.
Caitlin mendengus, matanya masih tertuju pada notanya, tetapi nada suaranya dipenuhi ketidaksenangan. "Tidak paham sama sekali. Kenapa aku yang menjadi korbanmu? Kalau menikah denganmu, setiap hari aku harus berada di sisimu dan tidak bisa melakukan apa pun. Hidupku akan seperti di neraka," jawabnya dengan terus terang sambil terus mencoret-coret kertas kecilnya, seolah tidak peduli dengan kontrak di depannya.
Reynard tersenyum kecil, melihat keteguhan Caitlin. "Kamu bebas melakukan apa saja. Persyaratan yang aku ajukan tidak merugikanmu. Kamu hanya harus berada di sisiku, karena kamu adalah istriku," katanya dengan tenang, seolah hal itu adalah sesuatu yang wajar.
Caitlin mengangkat kepalanya, menatap langsung ke mata Reynard dengan tatapan yang penuh tantangan. "Kamu licik, sama seperti pamanmu. Kenapa aku harus menikah denganmu? Aku tidak begitu bodoh," katanya dengan nada yang tidak kalah tegas.
“Kenapa kamu menyamakan aku dengan pamanku? Kamu mengenalnya, bukan?” tanya Reynard.
Caitlin, yang dari tadi masih sibuk mencoret-coret sesuatu di notanya, mengangkat wajahnya sejenak. "Tidak perlu berpura-pura. Aku tidak ingin ada hubungan denganmu!" jawabnya tanpa basa-basi, kembali fokus pada coretannya.
"Aku dan dia menjalani kehidupan yang berbeda," ujar Reynard, mencoba meyakinkan Caitlin dengan nada yang sedikit lebih lembut. "Kamu hanya perlu mengenalku lebih lama."
Namun Caitlin tidak tergerak sedikit pun. Ia menjawab dengan ketus, "Tidak berminat," sambil terus menggambar entah apa yang ia pikirkan, tanpa memedulikan kehadiran Reynard di depannya.
"Kalau kamu setuju, aku akan bekerja sama dengan perusahaan pamanmu. Aku mendapat informasi bahwa perusahaannya sedang tidak baik-baik saja. Kalau kamu menolak, sama saja menolak membantu pamanmu."
Caitlin berhenti mencoret, tetapi hanya untuk sesaat. Dengan nada tenang, ia menjawab, "Itu bukan tanggung jawabku sehingga harus menikah denganmu. Seharusnya yang kamu lamar adalah putrinya."
"Bukankah seharusnya kamu membalas budi pada paman dan bibimu yang telah membesarkanmu?" tanya Reynard.
"Balas budi ada banyak cara, tidak perlu sampai harus mengorbankan kebahagiaan sendiri," ujarnya dengan nada penuh keyakinan. "Mengenai hal ini, seharusnya kakakku yang melakukannya, bukan aku. Dia diberi fasilitas mewah, berpendidikan tinggi, tapi tidak mau bekerja. Kenapa tidak menikah saja dengannya?"
Reynard merasa terpancing oleh keteguhan gadis itu, tetapi ia tetap tenang di luar. "Apa kamu yakin kamu tidak berminat?" tanyanya sekali lagi, kali ini dengan nada yang lebih rendah.
Caitlin menatapnya lurus-lurus, tanpa sedikit pun ragu. "Tidak!" jawabnya dengan tegas.
Reynard duduk bersandar di kursinya, mengamati Caitlin yang kembali sibuk dengan notanya. Di dalam batinnya, ia bergumam, "Aku tidak percaya gadis ini tidak punya kelemahan." Namun, di balik ketenangan itu, Reynard mulai merasakan bahwa Caitlin bukanlah gadis yang mudah ditaklukkan dengan cara biasa.
seru nih