HARAP BIJAK MEMILIH BACAAN, PASTIKAN UDAH PUNYA KTP YA BUND😙
Bosan dengan pertanyaan "Kapan nikah?" dan tuntutan keluarga perihal pasangan hidup lantaran usianya kian dewasa, Kanaya rela membayar seorang pria untuk dikenalkan sebagai kekasihnya di hari perkawinan Khaira, sang adik. Salahnya, Kanaya sebodoh itu dan tidak mencaritahu lebih dulu siapa pria yang ia sewa. Terjebak dalam permainan yang ia ciptakan sendiri, hancur dan justru terikat salam hal yang sejak dahulu ia hindari.
"Lupakan, tidak akan terjadi apa-apa ... toh kita cuma melakukannya sekali bukan?" Sorot tajam menatap getir pria yang kini duduk di tepi ranjang.
"Baiklah jika itu maumu, anggap saja ini bagian dari pekerjaanku ... tapi perlu kau ingat, Naya, jika sampai kau hamil bisa dipastikan itu anakku." Senyum tipis itu terbit, seakan tak ada beban dan hal segenting itu bukan masalah.
Ig : desh_puspita
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 18
Ini di luar kendali, Ibra menikmati setiap rasa sakit yang terlihat jelas di matanya. Adrian kini terkulai lemas, bersamaan dengan dirinya yang juga sebenarnya lemah.
Matanya menatap Kanaya yang tengah berdiri tak jauh darinya, dadanya naik turun lantaran napasnya yang terasa cukup sulit saat ini. Menatap tanda merah di pipi Kanaya, pria itu kembali marah.
Namun untuk memberi pelajaran kedua kali pada Adrian rasanya tak mungkin lantaran kini Mahatma yang menjadi pelindung pria itu.
Entah mimpi apa hingga suasana bisa berubah menjadi segila ini. Kecewa tentu saja, terutama pada Kanaya. Batin Mahatma seterluka itu begitu mengetahui bahwa Kanaya melakukan kesalahan semacam ini.
"Aaaarrrgggghhhhh!!!
Seakan kurang, Ibra masih sempat menginjak dada Adrian sebelum benar-benar berlalu. Lamaran paling berbeda dari pria lain. Bertengkar bahkan sampai membuat kedua orang itu sama-sama hampir tumbang.
"Kau tidak lebih baik darinya, jangan berpikir kalian termasuk dalam kelompok orang terhormat ... cara kalian yang begini jelas menunjukkan betapa murahhannya kalian."
Menatap tajam dengan manik elang ketiga pria di sana, Mahatma yang menjadi saksi dari tumbangnya Adrian hanya mengelus dada pelan. Siapa pria yang ada di depannya kini, kenapa bisa membuat kegaduhan dengan cara paling gila dan seakan mengabaikan sopan santunnya.
Sebagai kepala keluarga jelas Mahatma harus berperan di sini, mencoba menghadapi dengan kepala dingin lantaran semua penghuni di rumah ini sama gilanya.
Kanaya yang masih terpukul dengan perlakuan Adrian, Abygail yang kini tengah mencoba menenangkan Adrian, dan Gibran yang sebenarnya tidak berfungsi sama sekali hanya mengarahkan matanya pada Kanaya seorang.
Khawatir, ingin sekali rasanya dia hampiri, setidaknya memeluk dan memberikan sentuhan lembut di wajah mantan kekasihnya itu.
"Ibrahim, tolong kamu pergi dulu ... biarkan kami menyelesaikan masalah keluarga kami."
Mahatma terpaksa mengatakan hal ini, karena tidak mungkin dia neneruskan pembicaraan sebelumnya pada Ibra. Bagaimana nantinya, setidaknya ada waktu untuk mereka memahami keadaan dan tidak terbawa emosi pada Kanaya.
"Tidak, izinkan aku menyelesaikannya juga, masalah ini menyangkut diriku dan Kanaya, jadi aku berhak kan?"
Tidak ada kata Om, atau sapaan yang mengutarakan ia bersikap sopan. Hanya nada berbicara sedingin itu ia utarakan.
"Belum waktunya, Ibra. Kembalilah beberapa hari lagi, aku rasa Kanaya juga butuh waktu untuk menenangkan diri."
"Menenangkan diri? Dan membiarkannya tinggal di atap yang sama dengan tiga badjingan ini? Tidak bisa, aku yang akan membawa Kanaya pergi."
Melihat kejadian ini, dapat Ibra simpulkan seberapa buruknya perlakuan Adrian pada Kanaya. Dan tak menutup kemungkinan Abygail akan melakukan hal sama.
Pernyataan Ibra terdengar jelas di telinga Kanaya. Wanita itu tak salah dengar dan dia memang mengatakan hal yang membuat Naya berdesir tiba-tiba.
"Tidak bisa begitu, apa kata orang jika kau membawanya pergi dari rumah ini."
"Aku tidak peduli, apa salah seorang pria membawa pergi calon istrinya dari keluarga mengerikan semacam ini?" tanya Ibra seraya menatap Kanaya sekilas, wajah pilu yang membuatnya ingin sekali menarik Kanaya dalam pelukan saat ini juga.
"Tapi, Ibra ... om tidak mengizinkan kamu membawa Kanaya, dia anak om dan om berhak melarang siapapun membawanya pergi."
Salah satu yang membuat Kanaya bertahan hidup selama ini. Kasih sayang Mahatma yang justru lebih baik daripada mama kandungnya. Melihat bagaimana sendunya wajah Mahatma, Kanaya kini tergores dibuatnya.
*******
"Biarkan dia pergi, Mas!!"
Deg
Sakit sekali, suara itu datang bersamaan dengan munculnya Khaira bersama wanita yang telah melahirkan Kanaya.
Sempat terjatuh lemas, dan kini dia merasa tidak akan lebih baik jika penyebab sial itu masih ada. Bersama Khaira yang membantunya di sisi kiri, Widya menatap benci Kanaya dari atas hingga bawah.
"Widya?" sungguh Mahatma heran, kenapa justru Widya tampak santai dengan kepergian Kanaya.
"Aku tidak butuh aib seperti dia, mulai saat ini anakku hanya tiga dan kau bukan diantara mereka!!" teriak Widya serak, wanita itu belum sepenunya baik, namun dengan kemarahan dan emosi yang kian mendera, Widya mengabaikan kesehatannya.
"Jaga bicaramu, Widya ...."
"Apa yang perlu dijaga, Mas?!! Dia memang aib dan sejak dahulu memang hidupnya selalu menyulitkan." Dia membentak, meluapkan amarah dan melepaskan kebencian terhadap wanita tersebut.
Kanaya hanya bisa menunduk, melawan seorang ibu adalah yang tidak akan Kanaya lakukan walau sesakit apapun. Bahkan saat Khaira merasa hidupnya penuh kasih sayang sementara Kanaya tidak, dia tidak iri sama sekali.
Ibra mengepalkan tangannya, andai saja bukan orang tua dari Kanaya, maka sudah tentu dia akan menghantam wanita itu dengan bogem mentah.
Tidak ada yang menerima dia sedikutpun kecuali Mahatma, sang ayah tirinya. Bahkan Abygail yang biasanya akan melindungi Kanaya justru menatapnya penuh kekecewaan dan kebencian tak terkira.
"Terima kasih, setidaknya saya semakin yakin bahwa Kanaya harus ikut saya detik ini juga."
Terserah, sama sekali mereka tak peduli pada kenyataannya. Adrian pun sama sekali tak menolak jika Kanaya pergi, bahkan sejak dulu memang ia ingini.
"Bawalah ... dan kau dengar baik-baik Kanya!! Jangan pernah kembali, kamu bukan anakku lagi."
Usai mengatakan hal itu, Widya berlalu pergi dengan langkah pelan karena merasa pusingnya menyakitkan. Tidak ada jawaban dari Kanaya, dia hanya pasrah dan berharap Abygail masih akan membantu Mahatma mempertahankannya.
Sayangnya, Abygail tak berpikir untuk merangkul Kanaya lagi. Terlampau kecewa dan batinnya terasa sakit dengan semua yang Kanaya perbuat.
"Aku serahkan padamu, kau yang punya hak sebagai pengganti almarhum papa," ujar Abygail menatap kecewa Kanya di ujung sana, untuk saat ini dia takkan berusaha menjaga, karena pada nyatanya Kanaya tak menghargai semua yang ada dalam dirinya.
"Ck, aku ikut kata Mama ... kami sepakat dan kau bisa mengartikan sendiri, Kanaya." Apa maksud kalimat yang Adrian ucapkan, mereka sepakat dan mengungkit hak sebagai pengganti papanya.
"M-maksud Mas?"
"Pergi jika kau mengerti bahasa manusia, hiduplah sesukamu di luar sana ... najissh kau ada ada di rumah ini, Kanaya." Adrian seakan lupa bagaimana cara Ibra memberikan luka di sudut bibirnya. Apa perlu Ibra ulangi agar berhenti membuat Kanaya terluka, tutur batin Ibra menatap Adrian sebegitu bencinya.