Panggilan Emran, sang papa yang meminta Ghani kembali ke Indonesia sebulan yang lalu ternyata untuk membicarakan perihal pernikahan yang sudah direncanakan Emran sejak lama. Ancaman Emran membuat Ghani tak bisa berkutik.
Ghani terpaksa menyembunyikan status pernikahannya dari sang kekasih.
Bagi Khalisa bukan sebuah keberuntungan bertemu dengan Ghani kembali setelah tak pernah bertukar kabar selama tujuh belas tahun.
Bisakah Khalisa bertahan dengan pernikahan tanpa cinta ini, sedang suaminya masih mencintai perempuan lain.
***
"Kamu sendiri yang membuatmu terjebak." Ghani sudah berdiri di depannya, menyalahkan semua yang terjadi pada Khalisa. "Kalau kamu tidak menyetujui lamaran Papa tidak akan terjebak seperti ini." Sangat jelas kekesalan lelaki itu ditujukan padanya.
"Kalau kamu bisa menahan Papamu untuk tidak melamarku semua ini tidak akan terjadi Gha, kamu memanfaatkanku agar masih bisa menikmati kekayaan yang Papamu berikan."
"Benar, aku akan menyiksamu dengan menjadi istriku, Kha." Suara tawa yang menyeramkan keluar dari mulut lelaki itu. Membuat Khalisa bergidik ngeri, berlari ke ranjang menyelimuti seluruh tubuh. Ghani kemudian pergi meninggalkan kamar.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Susilawati_2393, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
29
Khalisa lebih memilih diam di loby dibanding menyaksikan adegan suaminya berpelukan. Kuat Kha, kamu kuat. Kamu bisa Kha, sabar Kha sabar. Berulang kali hatinya menguatkan diri sendiri. Walau kenyataannya sesak itu memenuhi rongga dada.
Sekuat apa perempuan kalau melihat suaminya bersama perempuan lain pasti akan rapuh juga. Apalagi kalau mereka masih saling mencintai.
"Kha, kenapa di sini?" Tegur Guntur saat melihat Khalisa duduk sendirian di loby. "Ghani mana?"
"Di ruangannya sama Clara." Sahut Khalisa santai, tidak menunjukkan kekecewaannya sama sekali.
"Apa?" Guntur meninggalkan Khalisa, melangkahkan kakinya ke ruangan Ghani. Dengan paksa dia menarik Clara dari pelukan Ghani.
"Dasar perempuan tidak tahu diri." Ucap Guntur dengan nada tinggi. "Masih punya nyali datang ke sini setelah selingkuh dibelakang Ghani."
"Lepaskan Guntur, sakitt.." Pekik Clara.
"Guntur, cukup, biarkan dia pergi tanpa harus memakinya." Tegur Ghani, kepalanya berdenyut hebat memikirkan Khalisa yang baru saja berhenti marah padanya.
"Keluar." Guntur menarik paksa Clara keluar ruangan.
"Ghaaa...!!" Clara menarik tangannya dari cengkraman Guntur... "lepas Guntur aku bisa jalan sendiri."
Tomi keluar dari pertapaannya mendengar keributan dari ruangan sebelah. Matanya menangkap Guntur sedang menarik Clara keluar dari ruangan Ghani.
"Kenapa bisa perempuan ini masuk ke sini, Guntur!" Tegur Tomi. Orang yang diajaknya bicara hanya menggendikkan bahu, tanda tak tau.
"Cepat bawa keluar, jangan sampai papa tau. Bikin orang ribet aja." Tomi masuk menemui Ghani yang terduduk lemas di sofa sambil memegangi kepala, mengacak-acak rambutnya.
"Tom, cari Kha pasti dia lagi marah." Tanpa babibu Tomi langsung berlari keluar, khawatir perempuan itu pingsan lagi saat stres.
Tomi mendahului Guntur yang masih menyeret Clara, menemukan Khalisa duduk di loby dengan tenang, syukurlah dia bisa mengendalikan pikirannya, gumam Tomi mendekati perempuan itu.
"Kha, masuk yuk ditunggu Ghani."
"Iya." Sahut Khalisa mengekori Tomi, tanpa memperlihatkan kesedihannya. Hatinya serasa di peras sekarang, tapi dia tidak boleh lemah. Perempuan itu akan tertawa bahagia kalau melihatnya sengsara.
Tomi memelankan langkah kakinya saat berpapasan dengan Guntur dan Clara, tidak boleh ada adegan Kha pingsan di depan Clara.
"Lepas Guntur, aku ingin bicara dengan perempuan ini."
Clara mendorong Guntur menarik paksa tangannya yang ngilu karena lelaki itu. Clara menarik Khalisa menepi ke tembok, tidak mempedulikan dua lelaki yang menatap tajam padanya. Gadis itu menampakkan senyuman sinis.
"Nikmatilah sekarang kemenanganmu. Cukup kamu tau Ghani hanya mencintaiku, dia menikahimu hanya karena terpaksa."
Khalisa tidak meladeni ucapan perempuan yang sedang marah dihadapannya. Walau dia tau itulah kenyataannya, Ghani tidak mencintainya. Panas ini cukup membakar dada. Dia tidak boleh terpancing emosi karena ucapan Clara.
"Kamu sudah merebut Ghani dariku. Aku tidak akan melepaskannya begitu saja. Aku akan merebut kembali milikku." Ucap Clara dengan menekankan kalimatnya.
"Lakukan apa yang kamu suka Clara, nikmatilah permainanmu sendiri. Kita akan lihat siapa yang menang. Kamu hanyalah pacarnya sedang aku istri sahnya." Jawab Khalisa dengan tertawa kecil, "ingat, aku sah di mata agama dan negara sebagai istri Ghani, Clara. Dan kamu tau, Ghani memohon untuk tidak cerai dariku." Tekannya lagi sebelum meninggalkan Clara yang menjadi gusar.
"Kamu tidak seperti yang kupikirkan Kha." Ucap Tomi lirih, lalu menyeringai memberi kode pada Guntur untuk membawa Clara pergi. Dia berjalan mengikuti Khalisa.
Dengan santai Khalisa memasuki ruangan suaminya. Menatap wajah Ghani yang sedang frustasi, ingin sekali Khalisa menenangkannya. Tidak Kha, kamu harus jual mahal, jangan melemah sekarang. Gha akan baik-baik saja. Kamu harus memanfaatkan kesempatan ini untuk menarik hatinya yang mulai bimbang itu.
"Kha...!!" Ghani langsung menghambur kepelukan istrinya.
Khalisa berdiri mematung tanpa berkomentar apapun. Ditahannya tangan yang ingin mengusap kepala Ghani. Sesakit apapun yang dirasakannya tetap saja lelaki ini masih suaminya.
"Maaf Kha, kalau kamu mau marah padaku marahlah. Tapi jangan tinggalkan aku."
Tidak ada jawaban... hening
"Kha...!!" diciuminya puncak kepala Khalisa, Ghani tau perempuan itu sangat membencinya. Selalu saja dia menyakiti hati istrinya ini. Tomi menatap nanar tanpa bergeming, mengusap kasar wajahnya.
"Jangan diam seperti ini Kha. Marahlah padaku Kha.." Ghani menatap mata kosong istrinya, menepuk-nepuk pipi gadis itu. "Kha... jangan diam...!"
"Kha, jangan tinggalkan aku. Ajari aku jatuh cinta lagi."
Khalisa meneteskan air matanya tanpa mampu berucap, sakit sungguh sangat sakit. Luka itu tidak dapat dihindari, sekuat apapun ditahannya air mata yang sejak tadi ingin lepas itu takkan bisa ditahan.
Lukanya sudah terlalu dalam, harapannya sudah terlampau tinggi ingin bersama Ghani. Saat suaminya berucap seperti itu tak mampu membuatnya acuh lagi. Hatinya melunak berharap Ghani serius dengan ucapannya.
"Kamu tidak boleh menangis karenaku lagi Kha, air matamu membuatku dihantui rasa bersalah."
"Maaf aku tidak bisa bersamamu lagi Gha."
Kalimat itu membuat Ghani menarik kembali istrinya ke dalam pelukannya.
"Kha temani aku, jangan tinggalkan aku Kha. Maafkan aku."
Di ujung meja Tomi tertawa kecil dengan tingkah Khalisa, cerdas Kha, kamu memainkannya dengan sangat indah. Tadi membuat Clara terbakar emosi, sekarang kamu membuat Ghani memohon.
"Tomi tolong antar aku pulang." Pinta Khalisa mengurai pelukan Ghani yang lemas.
"Ayo, Kha." Tomi beranjak dari duduknya tersenyum smirk pada Ghani.
"Kha." Ghani menarik tangan Khalisa yang ingin meninggalkannya, dia menjatuhkan tubuhnya ke lantai berlutut pada istrinya. "Jangan pergi, temani aku di sini." Butiran bening terjatuh di pipinya.
Tidak tega melihatnya, Khalisa merengkuh tubuh lelakinya untuk bangun.
"Jangan menangis Gha. Aku di sini."
"Tetap bersamaku Kha, temani aku. Sakit Kha...!!"
"Tomi, tolong keluar sebentar tutup pintunya." Pinta Khalisa, kemudian beralih pada suaminya. "Apa yang sakit Gha?"
"Dadaku sesak Kha, aku mencintai Clara tapi tak ingin kamu pergi. Aku ingin kamu membantuku melupakan Clara."
"Jangan menangis Gha." Khalisa membawa suaminya duduk, menghapus air mata dengan jari mungilnya. "Aku bantu meredakan sakitnya ya." Khalisa menempelkan bibirnya pada Ghani lalu ********** lembut. Dadanya juga sesak saat suaminya mengatakan mencintai perempuan lain. Tapi lebih sesak saat melihat lelakinya menangis memohon padanya.
Tangan Ghani masuk ke dalam jilbabnya, memijat tengkuknya. Membuat Khalisa menggeliat semakin menempelkan tubuhnya pada Ghani.
"Sudah tenang," Khalisa menarik dirinya dari Ghani, tidak ingin terbawa suasana.
"Maaf Kha, membuatmu seperti ini. Aku tidak bermaksud menjadikanmu pelarianku. Tapi aku ingin menghabiskan sisa waktuku bersamamu."
"Aku pulang ya." Khalisa mencium kening suaminya kemudian pergi menemui Tomi. "Ayo Tom."
Sepanjang perjalanan air matanya mengalir deras, mengabaikan Tomi yang memandang padanya. Sakit.
Sekarang Khalisa bagai debu yang beterbangan terombang-ambing tanpa arah dan tujuan. Antara bertahan dan meninggalkan sama-sama menyakitkan. Luka tak dapat dihindari, kenyataan pahit tak dapat dielakkan semua berjalan sesuai ketentuan pencipta Nya.