Mencari Daddy Sugar? Oh no!
Vina Rijayani, mahasiswi 21 tahun, diperhadapkan pada ekonomi sulit, serba berkekurangan ini dan itu. Selain dirinya, ia harus menafkahi dua adiknya yang masih sangat tanggung.
Bimo, presdir kaya dan tampan, menawarkan segala kenyamanan hidup, asal bersedia menjadi seorang sugar baby baginya.
Akankah Vina menerima tawaran Bimo? Yuk, ikuti kisahnya di SUGAR DATING!
Kisah ini hanya fantasi author semata😍
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewi Payang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
31. Hanya Ingin Mendapat Bukti
"Izinkan aku pulang, untuk merawat adik-adikku."
Spontan Bimo mengangkat wajahnya dari laptop didepannya, menatap lekat wajah penuh permohonan Vina padanya.
Pria itu tidak bersuara. Dikesampingkannya pekerjaannya yang menumpuk didalam laptopnya. Atensinya kini berpusat pada setiap kata yang terlontar dari mulut Vina.
"Selain stok makanan, uang jajan, pakaian, tempat tinggal, adik-adikku juga membutuhkanku untuk mendampingi mereka belajar dan mengerjakan PR sepulang sekolah. Mereka juga butuh didengarkan setelah seharian sibuk belajar dan bermain," urai Vina panjang lebar.
"Selama ini, aku sebagai kakak mereka selalu mengusahakan yang terbaik, walau pada kenyataannya itu jauh dari kata cukup karena keterbatasanku yang masih harus menuntut ilmu," lanjut Vina, diiringi desahan beratnya.
"Aku tidak bisa mengatur atau mengemas perkataan yang baik dan indah didengar, tapi aku harap Daddy bisa mengerti posisiku. Aku bisa kok berkerja paruh waktu jadi OB setelah pulang kuliah sampai pukul sepuluh malam, tapi setelah itu, tolong izinkan aku pulang untuk menemani adik-adikku," tutup Vina penuh permohonan.
"Biar aku fikirkan nanti."
Vina menelan salivanya, menatap nanar pria berwajah datar yang kembali fokus pada laptopnya. Panjang lebar ia menjelaskan, tapi dijawab singkat dan tanpa kepastian. Gemes, dongkol, kesel, itu yang ia rasakan.
Supaya mood-nya tidak semakin buruk, Vina gegas beranjak, membawa mangkuk dan kain basah yang ia gunakan membersihkan tubuh Vino. Untuk saat ini, yang terpenting adalah kesembuhan Vino.
"Vina, ada sesuatu yang ingin aku bicarakan," ucapan Bimo menghentikan langkah Vina menuju kamar mandi.
"Apa itu?"
"Duduklah disini," perintah Bimo, menunjuk sofa tunggal didepannya.
Tidak mau banyak drama, Vina kembali membawa mangkuknya, dan duduk pada sofa yang ditunjuk Bimo. Seperti biasanya, pria itu memasang wajah serius setiap berbicara dengannya.
"Bibi Anggi-mu juga sedang dirawat di rumah sakit ini."
Vina terkejut, matanya melebar. Ingatannya seketika melayang ke siang tadi, ketika seorang perawat memberitahu Bimo bila bibi Anggi sudah sadar.
Dirinya memang penasaran ketika itu. Dengan sikap Bimo yang tergesa-gesa, ditambah rasa cemasnya pada Vino adiknya, ia lupa bertanya setelahnya.
"K-kenapa Bibi bisa ada disini?" tanya Vina cemas. Meski Anggi sering berlaku buruk terhadap dirinya dan adik-adiknya, namun Vina tetap merasakan ikatan keluarga diantara mereka.
Setelah kehilangan kedua orang tuanya, Vina hanya memiliki bibi Anggi sebagai keluarga dekat dari pihak ayah.
Namun, tentang keluarga ibunya, Vina tidak pernah mendapatkan jawaban yang jelas. Setiap pertanyaan selalu dijawab dengan diam atau mengalihkan topik, seolah-olah ada sesuatu yang tidak ingin dibicarakan.
"Aku yang menjadi penyebabnya. Kamu boleh marah padaku, tapi tolong dengarkan dulu penjelasanku, kenapa aku bisa melakukan hal yang itu." Bimo memulai ceritanya.
"Hari kedua kamu berada di penthouse bi Anggi menelpon lewat ini," Bimo mengeluarkan ponsel jadul era sembilan puluhan dari sakunya, tentu saja Vina mengenalinya walau casingnya diganti baru.
"Itu ponselku!" Vina berdiri, tangannya menggapai ingin merampas.
"Duduk! Jangan mengganggu konsentrasiku saat sedang berbicara," tegas Bimo dengan nada memerintah.
Vina patuh. Meski belum bisa mengambilnya, setidaknya ia merasa lega kalau ponselnya itu ternyata belum tamat seperti yang pernah laki-laki itu tunjukan padanya saat dimobil.
"Bibi Anggi-mu menagih hutangmu, ditambah hutang snack adik-adikmu senilai dua puluh juta rupiah."
"Itu tidak benar. Semua hutang sudah lunas terbayar, saat bibi Anggi mengambil alih rumah Ayah yang sekarang ditempatinya," protes Vina tidak terima.
"Aku tahu itu, tapi aku tetap membayarnya, berharap Bibimu tidak menyulitkanmu dan adik-adikmu. Ternyata aku salah. Tadi pagi Bibi-mu datang ke Viktoria Hotel."
"B-bagaimana bisa?" Vina keheranan.
"Setahuku, tidak ada satupun pintu mobil yang bisa dimasuki tubuh besar Bibi, begitupun dengan kendaraan roda dua, bobot Bibi yang obesitas selalu meledakan ban motor begitu ia duduk diatasnya," imbuhnya, masih dengan raut keheranan
"Kenyataannya, Bibi-mu datang kesana, dan sempat membuat lalu lintas macet mengular didepan gerbang hotel, karena tidak mau membayar ongkos mobil pick-up yang mengantarnya."
"Oh Bibi... beliau tidak pernah berubah juga," Vina bergumam pelan sambil menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Malu, kesal, bercampur jadi satu, teringat sikap sang bibi yang suka seenaknya pada orang lain.
"Karena kehausan, Bibi-mu memesan jus buah naga, timun, semangka, alpukat, jeruk mandarin, dan anggur. Dalam wadah jumbo," lanjut Bimo.
"Apa? Sebanyak itu? Dan Daddy mengabulkannya?" Vina kembali terkejut dengan mata melebar seperti yang sudah-sudah.
'Iya, sebagai tuan rumah yang baik," hati Bimo menghangat, satu kata pamungkas dari mulut Vina membuatnya merapikan kemejanya dengan sudut bibir sedikit terangkat.
"Tapi Bibi punya riwayat diabetes, Daddy. Kadar gula darahnya sangat tinggi," ekspresi Vina kembali cemas.
"Iya, aku fikir Bibi-mu hanya mencicipinya sedikit-sedikit saja dari setiap gelas, rupanya beliau menghabiskannya. Bahkan aku memesankan Bibi seloyang pizza ai frutti di mare, dengan toping kerang dan cumi-cumi, dan semuanya ludes..." Bimo berkata pelan diujung kalimatnya, merasa bersalah.
"Semuanya? Oh my God, Daddy! Daddy bisa membunuh Bibi dengan seloyang pizza?" Vina kembali terperangah mendengarnya.
"Lalu? Bagaimana Bibi bisa sampai dirawat dirumah sakit?" Vina kembali bertanya saat melihat Bimo tidak melanjutkan ceritanya.
"Bibi memecahkan kaca meja di ruang kerjaku dengan kekuatan satu kaki gajahnya," sarkas Bimo.
"Kenapa?" Vina mengerutkan keningnya.
"Bibi marah karena aku tidak mau membayar lima puluh juta, nilai hutangmu yang ia tuduhkan."
"Lima puluh juta? Hutangku?" Vina memastikan, menunjuk dirinya sendiri.
"Iya," Bimo mengangguk.
"Oh, astaga Bibi! Bibi mau memeras Daddy kalau begitu caranya," Vina kembali menutup wajahnya, tidak habis fikir dengan sikap absurd bibinya. Ia begitu malu atas apa yang dilakukan sang bibi pada pria kaya itu.
"Karena Bibi mengancam mau melaporkanmu ke polisi, aku terpaksa melaporkannya balik, berhubung para polisi yang sempat datang karena laporan para pengendara yang terjebak macet digerbang hotel karena ulah bi Anggi masih ada dibawah. Untuk menangkapnya, aku menggunakan tuduhan bila Bibi merusak properti kantor dan telah menampar pipiku ini.'
Lagi, Vina terperangah melihat pipi kanan Bimo yang ditunjukan pria itu, lebam hasil tamparannya masih terlihat walau mulai samar.
"Maafkan aku, sebenarnya aku tidak ingin melakukan itu padamu saat mendatangimu di penthouse siang tadi. Aku hanya ingin mendapat bukti kekerasan fisik untuk memperkuat laporanku pada polisi."
Vina tidak bisa berkata-kata. Tidak tahu, harus percaya atau tidak pada perkataan Bimo, pasalnya pria itu pernah menciumnya kasar sebagai hukuman saat dirinya ketahuan melarikan diri waktu itu.
Bersambung...✍️
Pesan Moral : Berbahagialah orang yang bisa mengambil pelaharan dan kesalahan orang lain. (By. Author Tenth_Soldier)
syaratnya🤭