NovelToon NovelToon
Alter Ego Si Lemah

Alter Ego Si Lemah

Status: sedang berlangsung
Genre:Ketos / Mengubah Takdir / Identitas Tersembunyi / Fantasi Wanita / Bullying dan Balas Dendam / Balas dendam pengganti
Popularitas:595
Nilai: 5
Nama Author: Musoka

Apakah benar jika seorang gadis yang sangat cantik akan terus mendapatkan pujian dan disukai, dikagumi, serta disegani oleh banyak orang?

walaupun itu benar, apakah mungkin dia tidak memiliki satu pun orang yang membencinya?

Dan jika dia memiliki satu orang yang tidak suka dengan dirinya, apakah yang akan terjadi di masa depan nanti? apakah dia masih dapat tersenyum atau justru tidak dapat melakukan itu sama sekali lagi?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Musoka, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Valeria dan Vanessa

Happy reading guys :)

•••

Warna putih mendominasi sebuah ruangan yang terlihat begitu sangat besar. Di dalam ruangan itu terlihat seorang gadis kecil sedang tertidur dengan memeluk erat sebuah boneka beruang putih.

Gadis kecil itu sangat imut dan lucu. Warna kulit putih ditambah dengan kedua pipinya yang tembam membuat ia menjadi sangat menggemaskan.

Perlahan-lahan gadis itu menunjukkan sebuah senyuman tipis, seakan ia sedang memimpikan sesuatu yang sangat membuatnya menjadi bahagia.

Pintu ruangan terbuka, menampilkan seorang gadis kecil lain yang mempunyai wajah mirip dengan gadis sebelumnya.

Gadis kecil itu berjalan masuk ke dalam ruangan, menghampiri gadis kecil yang sedang terlelap dalam tidur. Ia naik ke atas kasur, lalu menepuk-nepuk pelan pipi tembam gadis kecil itu.

“Adek, ayo, bangun, ini udah pagi, loh. Ayo, kita ke meja makan, mama sama papa udah nungguin,” kata gadis kecil itu dengan suara yang sangat imut.

Gadis kecil yang sedang tertidur tidak menghiraukan perkataan sang kakak. Ia masih terus terlelap seakan tidak mendengar suara orang yang telah membangunkan.

Beberapa menit berlalu, sang kakak masih terus mencoba untuk membangunkan sang adik yang masih terlelap dalam tidur.

Sang kakak mencoba berbagai cara, mulai dari mencubit pipi, menggoyang-goyangkan bahu, hingga menggelitiki perut sang adik. Namun, semua cara itu berakhir dengan kegagalan, sang adik tidak juga bangun dari tidurnya.

“Kakak, adek belum bangun juga?” tanya seorang perempuan, seraya berjalan mendekati kasur tempat kakak dan adik itu berada.

Gadis kecil itu mengangguk, menatap ke arah perempuan itu. “Belum, Ma. Adek dari tadi gak mau bangun. Padahal udah Kakak gelitiki perutnya, tapi dia gak bangun juga.”

“Hmm, gitu, ya, Kak.” Perempuan itu mendudukkan tubuhnya di kasur, mengelus pelan rambut dan wajah sang putri yang masih terlelap di alam mimpi. “Adek, bangun, yuk, ini udah pagi, loh. Kamu pasti laper, kan, belum makan dari kemarin sore? Jadi, ayo, bangun, kita sarapan bareng.”

Mendengar suara sang mama, membuat gadis kecil itu menggeliat pelan, lalu perlahan-lahan mulai membuka mata. Ia berkedip beberapa kali, berusaha menetralkan cahaya yang memasuki kedua indera pengelihatannya.

“Selamat pagi, Mama. Selamat pagi, Kakak,” kata gadis kecil itu, melihat sang mama dan sang kakak yang tengah menatap dirinya.

“Akhirnya Adek bangun, Ma.” Sang kakak tersenyum tipis ke arah sang mama.

“Iya. Akhirnya, ya, Kak.” Perempuan itu membalas senyuman salah satu putrinya seraya memberikan elusan pelan pada puncak kepala.

Gadis kecil yang baru saja terbangun itu menggosok-gosok mata seraya menatap bingung ke arah sang mama dan sang kakak. “Emang adek susah dibangunin? Gak, kan, Ma?”

Mendengar suara lucu sang anak yang bercampur dengan suara serak layaknya orang baru bangun tidur, membuat perempuan yang masih setia mengelus lembut puncak kepala salah satu putrinya sontak menoleh. “Iya, Gak, kok. Adek gampang banget buat dibangunin, buktinya Mama baru aja datang, Adek udah bangun, kan?”

“Tuh, gak, kan, Kak. Adek gak susah dibangunin tau,” kata sang adik, mengembungkan kedua pipi seraya mengalihkan pandangan ke arah sang kakak.

Sang kakak tersenyum manis saat melihat kedua pipi sang adik yang sudah bertambah menjadi sangat tembam. Ia mendekati sang adik, lalu memeluk tubuh kembarannya itu. “Iya, iya. Adek Vanessanya kakak ini emang paling enak buat dibangunin.”

Vanessa membalas pelukan sang kakak tanpa mengatakan apa-apa.

Melihat kedua putrinya sedang berpelukan, membuat perempuan itu sontak tersenyum bahagia. “Kakak, Adek, udah dulu pelukannya. Ayo, ke meja makan, kita sarapan. Kasihan, loh, papa sama kakak udah nungguin dari tadi.”

Kedua gadis kecil itu mengangguk, melepaskan pelukan mereka, bangun dari atas kasur, lalu berjalan meninggalkan ruangan dengan tangan yang digandeng oleh sang mama.

Pintu ruangan tertutup dengan rapat. Di tengah-tengah pintu itu, terdapat tulisan dua buah nama yang begitu sangat indah dan cantik. Kedua tulisan nama itu dihiasi dengan berbagai gambar, seperti bunga, burung, matahari, dan masih banyak lagi.

Dua buah nama itu, adalah nama ‘Valeria dan Vanessa’.

•••

“Papa, Kak Galen, selamat pagi,” sapa Valeria dan Vanessa secara bersamaan, seraya berlari mendekati kedua laki-laki yang sedang duduk di kursi meja makan.

Kedua laki-laki itu sontak menoleh ke arah Valeria dan Vanessa. Mereka berdua tersenyum tipis, lalu merentangkan tangan agar Valeria dan Vanessa memeluk mereka.

Valeria masuk ke dalam pelukan Galen. Sedangkan Vanessa, gadis kecil itu masuk ke dalam pelukan sang papa.

“Kok, kalian lama banget turunnya?” tanya papa kepada Vanessa, seraya memberikan ciuman penuh kasih sayang ke putri kecilnya itu.

“Adek terlalu nyenyak tidurnya, Pa, sampai susah buat dibangunin,” jawab Valeria, yang sudah duduk dipangkuan Galen.

“Eh, iyalah? Adek nyenyak banget tidurnya? Coba, cerita ke papa, adek tadi mimpi apa, sampai susah buat dibangunin?” tanya papa, menaikan tubuh Vanessa ke atas pangkuannya.

Vanessa bersandar pada dada lebar milik sang papa, menaruh jari telunjuk di dagu, mengingat mimpi yang tadi ia alami.

“Ah, Adek ingat. Tadi, Adek mimpi makan ice cream banyak banget, terus habis makan ice cream, Adek main sama Kak Galen dan Kak Vale, kita bertiga main layang-layang, Pa. Papa tau gak, layang-layangnya besar banget tau, sampai Kak Galen mau ikut terbang sama layang-layangnya.” Vanessa menceritakan semua hal yang ia mimpikan kepada sang papa, seraya memperagakannya menggunakan kedua tangan.

Sepanjang Vanessa bercerita, Galen, mama, dan papa hanya menunjukkan senyuman tipis, merasa sangat lucu dengan raut wajah milik Vanessa saat ini. Sedangkan Valeria hanya diam, mendengarkan dengan saksama semua cerita dari Vanessa.

“Jadi, gitu, Pa, ceritanya,” kata Vanessa setelah selesai bercerita, mengangkat kepala untuk melihat wajah sang papa.

“Wah, mimpi Adek bagus banget. Papa jadi laper sekarang gara-gara bayangin makan ice cream banyak-banyak.” Papa mencium gemas kedua pipi tembam Vanessa.

Vanessa terkekeh kecil, merasa sangat geli saat sang papa terus-terus menciumi kedua pipinya.

“Makan, dong, Pa, kalo udah laper.” Mama mendudukkan tubuhnya di samping papa, mengambil satu piring, lalu mengisinya dengan berbagai lauk yang ada di atas meja. “Ini, udah Mama ambilin, silahkan dimakan.”

Papa menoleh ke arah mama, tersenyum tipis, lalu mencium kening istrinya itu. “Makasih, ya, Ma.”

“Iya, sama-sama. Udah, gih, buru dimakan, katanya laper. Sini, biar Adek sama Mama dulu,” kata mama, seraya memindahkan tubuh Vanessa dari pangkuan papa ke pangkuannya. “Kak Galen sama Kak Vale mau makan pakai apa? Sini, biar Mama ambilin.”

Galen dan Valeria menggelengkan kepala seraya mengambil piring untuk diri mereka sendiri. Mereka berdua lalu menaruh beberapa lauk yang ada di atas meja.

“Gak usah, Ma. Galen ambil sendiri aja. Mama ambilin buat Vale sama Vanessa aja,” kata Galen, masih sibuk mengambil beberapa lauk untuk ia makan.

“Vale juga, Ma. Vale juga bisa ambil sendiri. Mama ambilin buat Adek aja, ya,” sambung Valeria, mulai memakan semua lauk yang telah dirinya ambil.

Melihat kedua anaknya yang sudah bisa mandiri, membuat mama sontak tersenyum tipis. Ia menundukkan kepala, menatap wajah Vanessa yang hanya diam.

“Adek udah laper?” tanya mama, mengelus lembut puncak kepala Vanessa.

Vanessa mengangkat kepala, melihat wajah sang mama, lalu mengangguk. “Iya, Ma. Tapi, Adek mau makan roti, boleh, ya?”

Mama sedikit mengerutkan kening. “Mau makan roti? Boleh, kok. Ya, udah, Mama ambilin rotinya dulu, ya, di lemari.”

Vanessa menggelengkan kepala, kemudian turun dari pangkuan sang mama. “Gak usah. Mama duduk aja di sini sambil makan, biar Adek yang ambil rotinya.”

Setelah mengatakan itu, Vanessa berlari kecil menuju lemari yang berada di dapur. Ia mengambil roti tawar beserta dengan selai cokelat, lalu kembali berlari menuju meja makan.

Saat sedang asyik berlari, Vanessa tiba-tiba saja kehilangan keseimbangan, membuat dirinya sontak terjatuh di atas lantai dengan menimbulkan suara yang cukup kencang.

Vanessa ingin kembali berdiri. Namun, kepalanya perlahan-lahan mulai merasakan sakit yang sangat luar biasa. Ia sontak memegangi kepala dengan kedua tangan seraya mengerang kesakitan.

“Mama, Papa, Kak Galen, Kak Vale, kepala Adek sakit banget,” kata Vanessa pelan di sela erangannya.

Suasana ruang makan menjadi hening dan sunyi, tidak ada satu orang pun yang merespons perkataan Vanessa. Di dalam ruangan ini, Vanessa seperti benar-benar hanya seorang diri.

Vanessa kembali bersuara, memanggil semua anggota keluarganya. Namun, hasilnya tetap sama, panggilannya itu tidak mendapatkan respons dari mama, papa, Galen, dan Valeria.

Mata Vanessa menutup sempurna, air mata mulai tumpah membasahi pipinya, merasakan rasa sakit yang semakin luar biasa di bagian kepala.

“Sakit, sakit banget. Tolongin Adek, Ma, Pa, Kak,” gumam Vanessa, dengan suara yang sudah sesenggukan.

Selesai Vanessa bergumam, terdengar suara Valeria yang seperti sedang memperingati seseorang dari arah depan.

“Stop, jangan pernah ganggu adek aku kalau kalian masih mau hidup dengan tenang,” ujar Valeria, dengan suara sangat tegas.

Mendengar suara sang kakak, membuat Vanessa perlahan-lahan mulai membuka mata dan mengangkat kepala untuk melihat sesuatu yang sedang dilakukan oleh Valeria.

Kedua mata Vanessa sontak melebar sempurna, melihat ruang makan tempat keluarganya tadi berkumpul telah berubah menjadi sebuah taman bermain yang begitu indah.

Di hadapan Vanessa, kini terlihat Valeria merentangkan kedua tangan, seakan sedang melindungi sang adik dari beberapa gadis kecil yang berada di depannya.

Beberapa gadis kecil itu berdecih, memberikan tatapan tajam ke arah Vanessa sebelum akhirnya meninggalkan tempat mereka berdiri saat ini.

Valeria menurunkan kedua tangannya saat beberapa gadis itu telah pergi. Ia berbalik badan, berjongkok, lalu menangkup kedua pipi tembam milik Vanessa.

“Adek gak papa, kan?” tanya Valeria, seraya menghapus sisa-sisa air mata Vanessa.

“Kepala Adek sakit banget, Kak,” jawab Vanessa, memegangi bagian kepalanya yang terasa sangat sakit.

Tangan Valeria naik ke atas kepala Vanessa, mengelus lembut bagian yang telah dipegang oleh sang adik. “Sakit banget, ya? Sssttt, udah, ya, bentar lagi sembuh, kok.”

Mendapatkan elusan lembut dari Valeria, kedua mata Vanessa kembali menutup, merasakan kenyamanan yang tiada tara. Bahkan, rasa sakit yang tadi terus menyiksa dirinya perlahan-lahan mulai menghilang entah ke mana.

“Adek, ikut Kakak, yuk,” ajak Valeria.

“Ke mana, Kak?” tanya Vanessa, kedua matanya perlahan-lahan mulai kembali terbuka, memberikan tatapan penuh tanda tanya ke arah Valeria.

“Main. Ayo, ikut, Kakak.” Valeria berdiri dari posisi jongkok seraya membantu Vanessa untuk bangun dari posisi duduk.

Valeria menggenggam tangan kanan Vanessa, berlari, membawa sang adik menuju sebuah permainan yang berada di dalam taman bermain itu.

Selama berlari, Valeria dan Vanessa beberapa kali tertawa saat merasakan hembusan angin yang menerpa tubuh mereka.

Kedua gadis kecil itu berhenti berlari, melihat ke arah sebuah perosotan yang cukup besar di depan mereka.

Valeria tersenyum lebar, menoleh, melihat kedua mata Vanessa yang berbinar-binar dengan mulut sedikit terbuka. “Adek suka gak?”

Vanessa mengangguk dengan sangat antusias, lalu menoleh ke arah Valeria. “Suka banget, Kak.”

“Syukurlah kalo Adek suka. Ayo, main.” Valeria berlari menuju perosotan itu seraya menarik tangan Vanessa agar mengikutinya.

Setelah sampai di atas perosotan, Valeria melepaskan genggaman tangannya, menoleh ke arah samping, dan menatap wajah Vanessa.

“Kakak duluan atau Adek duluan?” tanya Valeria.

Vanessa diam sejenak, menaruh jari telunjuk kanan di dagu seraya melihat perosotan yang cukup tinggi. Beberapa detik Vanessa terus melihat ke arah bawah, hingga akhirnya ia menggelengkan kepala.

“Adek gak tau, Kak. Adek bingung,” jawab Vanessa.

Mendengar jawaban Vanessa, membuat Valeria berpikir, lalu tersenyum lebar saat mendapatkan sebuah ide yang sangat bagus.

“Adek di depan aja gimana? Nanti Kakak di belakang sambil peluk Adek,” saran Valeria.

“Boleh, Kak. Ayo, Adek udah gak sabar mau main,” kata Vanessa, seraya duduk di ujung perosotan.

Valeria mengangguk, mendudukkan tubuh di belakang Vanessa, lalu memeluk sang adik sebelum akhirnya tubuh mereka berdua meluncur dari atas.

Selama meluncur, Valeria dan Vanessa berteriak kegirangan dengan satu tangan yang terangkat ke udara. Kedua gadis itu menutup mata, merasakan hembusan angin segar yang menerpa tubuh mereka.

“Yeay, seru banget, Kak. Ayo, main lagi,” ajak Vanessa, masih dengan kedua mata yang tertutup.

Ajakan Vanessa tidak mendapatkan jawaban dari Valeria. Saat ini, suasana kembali menjadi sunyi, membuat kedua kening Vanessa sontak mengerut seraya perlahan-lahan mulai membuka mata.

“Kakak, Kakak gak papa, kan?” tanya Vanessa, menoleh ke arah belakang untuk melihat wajah Valeria.

Kedua mata Vanessa sontak melebar sempurna, tubuhnya mulai bergetar dengan hebat, melihat wajah Valeria yang sudah bersimbah darah.

“Ka-Ka-Kakak! Kakak kenapa? Kenapa wajah Kakak jadi kayak gini? Kenapa, Kak?” tanya Vanessa, perlahan-lahan mulai memegang wajah Valeria.

Tidak ada jawaban dari Valeria. Bahkan, sekarang Vanessa sudah tidak dapat lagi mendengar detak jantung milik sang kakak yang masih setia memeluk tubuhnya dari belakang.

“Kakak, bangun, jangan tinggalin Adek.” Vanessa menepuk-nepuk pelan pipi Valeria.

Vanessa menghentikan tepukannya saat merasa hal itu hanya sia-sia. Ia mengamati sekeliling, berusaha mencari pertolongan. Namun, Vanessa baru saja sadar, jika dirinya saat ini sedang berada di dalam mobil milik sang papa.

Setelah menyadari akan hal itu, Vanessa dengan cepat menoleh ke arah depan, berharap mendapati sosok sang papa agar dapat dimintai pertolongan.

Kedua mata Vanessa kembali melebar sempurna, air mata mulai turun membasahi pipi dengan tubuh yang telah bergetar dengan sangat hebat.

Di depan sana, Vanessa dapat melihat kedua orangtuanya yang telah kehilangan kesadaran dengan wajah tertempel di dashboard mobil.

“Mama! Papa!” teriak Vanessa, sebelum akhirnya tubuhnya semakin melemas dan kehilangan kesadaran.

•••

“Adek, bangun, yuk. Sampai kapan kamu mau tidur terus?” kata seseorang, seraya menepuk-nepuk pelan pipi Vanessa.

Mendengar dan merasakan tepukan pada pipinya, membuat Vanessa perlahan-lahan mulai membuka mata, lalu melihat ke arah orang yang telah membangunkannya.

“Kak Galen,” panggil Vanessa, seraya berusaha bangun dari posisi tidurnya.

“Kamu kenapa, Dek? Habis mimpi buruk, kah?” tanya Galen, menangkup wajah dan menghapus air mata sang adik yang sudah menggenangi kedua pipi.

Vanessa tidak menjawab pertanyaan Galen. Ia hanya mengamati sekeliling ruangan tempat dirinya berada saat ini.

Merasa tempat ini sangat familiar baginya, membuat Vanessa kembali menatap wajah sang kakak. “Kak, ini kita di mana?”

Galen menjauhkan kedua tangan dari wajah Vanessa, bangun dari posisi jongkok, dan mendudukkan tubuhnya di samping sang adik. “Kita lagi di ruang keluarga, Dek. Kamu kenapa? Habis mimpi buruk, kah?”

Mendengar jawaban dari Galen, Vanessa kembali mengamati sekeliling. Dan benar saja, ia baru mengingat bahwa ini adalah ruang keluarga di rumahnya.

Vanessa memegangi kepala bagian kanan kala merasa sedikit pusing, lalu memberikan pijatan lembut guna menghilangkan rasa pusing itu.

Setelah rasa pusingnya menghilang, Vanessa kembali menatap wajah Galen, merentangkan kedua tangan, dan memeluk erat tubuh sang kakak.

“Kamu kenapa, Dek?” tanya Galen, membalas pelukan Vanessa, seraya memberikan elusan lembut di puncak kepala sang adik.

“Kak, Adek kangen sama mama, papa, dan kak Vale,” jawab Vanessa.

Galen mengembuskan napas panjang, mendengar Vanessa mengingat ketiga anggota keluarganya itu membuat dirinya tiba-tiba merasakan rasa sesak di bagian dada. “Kenapa tiba-tiba kangen, Dek? Kamu habis mimpiin mereka?”

Vanessa mengangguk, mengeratkan pelukannya pada tubuh Galen. “Iya, Kak. Semua kenangan kita dulu tiba-tiba aja masuk ke mimpi Adek.”

“Gitu, ya. Besok kita ziarah ke makam mereka, yuk, Dek. Kakak juga kangen banget sama mereka,” ajak Galen, mencium puncak kepala Vanessa seraya melihat foto keluarga yang terpasang di dinding bagian kanan ruangan.

Vanessa melonggarkan sedikit pelukannya, mengangkat kepala untuk menatap wajah Galen. “Ayo, Kak. Adek mau ceritain semua yang udah kita alami sama mereka.”

Galen membalas tatapan Vanessa seraya tersenyum tipis. “Ya, udah, sekarang Adek tidur lagi, gih, udah malam banget. Besok pagi kita berangkat.”

Vanessa mengangguk, memberikan ciuman di pipi kanan Galen, melepaskan pelukannya dari tubuh sang kakak, lalu bangun dari atas sofa.

Gadis itu berpamitan kepada sang kakak, kemudian berjalan meninggalkan ruang keluarga untuk pergi ke dalam kamarnya.

Sesampainya di depan pintu kamar, kening Vanessa perlahan-lahan mengerut, mendengar suara seorang perempuan dari dalam kamarnya. Ia perlahan-lahan mulai membuka pintu dengan sedikit rasa takut yang mulai muncul.

Kedua mata Vanessa melebar sempurna, air mata mulai turun membasahi kedua pipinya, saat melihat ke arah seorang gadis yang sedang bermain boneka di dalam kamarnya.

“Ka … Kak Vale,” panggil Vanessa dengan suara yang telah bergetar.

Valeria berhenti memainkan boneka, menoleh ke arah Vanessa seraya menunjukkan senyuman yang sangat manis. Ia bangun dari tempat duduk, berjalan mendekati sang adik saat melihat kembarannya itu sedang meneteskan air mata.

Valeria menangkup wajah Vanessa, menghapus air mata yang masih mengalir. “Adek, jangan nangis.”

“K-Kak, ini beneran Kakak?” tanya Vanessa, perlahan-lahan tangan kanannya memegang wajah Valeria.

Valeria mengangguk, masih terus menghapus air mata Vanessa. “Iya, ini Kakak. Udah, ya, jangan nangis lagi, nanti cantiknya hilang, loh.”

Vanessa menggelengkan kepala secara perlahan dengan air mata yang semakin gencar mengalir.

“Kak, Adek kangen banget sama Kakak. Kakak kenapa tega banget ninggalin Adek sendirian? Kakak tau gak, Adek kesepian di sini, walaupun ada Kak Galen, tapi Adek tetep ngerasa ada yang hilang, Adek rindu banget sama Kakak, sama mama, dan sama papa,” jelas Vanessa, tubuhnya perlahan-lahan mulai bergetar dengan hebat.

“Sssttt. Udah, Adek jangan nangis lagi, sekarang, kan, Kakak udah ada sini. Dan perlu Adek tau, Kakak gak pernah ninggalin Adek sendirian, karena ….” Valeria menjauhkan tangan kanannya dari wajah Vanessa, lalu bergerak menyentuh dada kanan milik sang adik. “Kakak selalu ada di sini Adek, Kakak selalu ada di dalam hati Adek. Jadi, Adek sekarang jangan pernah merasa kesepian, karena Kakak selalu di hati Adek. Dan satu lagi, Dek. Mulai sekarang, Kakak akan selalu bantuin Adek sebisa mungkin.”

Mendengar perkataan sang kakak, membuat Vanessa hanya mengangguk pelan.

Valeria memegang bagian belakang kepala Vanessa, lalu menyatukan kedua kening mereka. “Ya, udah. Sekarang, Adek tutup mata, dan tunggu Kakak menghitung sampai angka tiga baru boleh

“Sekarang, Adek coba tutup mata buat nenangin diri, dan tunggu Kakak selesai menghitung sampai tiga baru boleh Adek buka,” perintah Valeria, seraya menatap lekat kedua mata Vanessa.

Vanessa menurut, perlahan-lahan mulai menutup kedua mata, mengembuskan napas panjang beberapa kali guna menenangkan dirinya.

“Satu.”

“Dua.”

“Ti … ga.”

To be continued :)

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!