para pemuda yang memasuki hutan yang salah, lantaran mereka tak akan bisa pulang dalam keadaan bernyawa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Novita Ledo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9 Bayangan yang Tak Terhapus
Raka dan Bima berhasil keluar dari Hutan Giripati saat matahari mulai meninggi. Udara segar pagi menyambut mereka, tapi langkah mereka berat. Tubuh lelah dan luka-luka kecil di tangan serta kaki menjadi saksi pertempuran panjang yang mereka alami.
“Ini nyata, kan?” Bima bertanya sambil menoleh ke belakang, ke arah hutan yang kini terlihat seperti hamparan pepohonan biasa. Tidak ada tanda-tanda altar, pohon raksasa, atau Bayangan Purba.
“Semua itu nyata,” jawab Raka lirih. “Tapi kita berhasil. Kita menghancurkan pintu itu. Sudah selesai.”
Mereka berjalan menuju jalan besar, di mana sebuah truk pengangkut hasil kebun kebetulan melintas. Sopirnya berhenti, menatap mereka dengan wajah bingung.
“Kalian dari mana? Kok kelihatan kayak habis perang?” tanya sopir itu.
“Dari Giripati,” jawab Raka singkat.
Mendengar nama itu, wajah sopir berubah pucat. Ia tidak bertanya lebih jauh, hanya mempersilakan mereka naik ke belakang truk.
---
Setelah perjalanan beberapa jam, mereka tiba di desa kecil. Rumah-rumah penduduk tampak sederhana, dan suasana desa begitu tenang, berbeda jauh dari teror yang mereka alami di hutan. Raka dan Bima memutuskan beristirahat di sebuah warung kecil.
Namun, saat mereka duduk dan memesan makanan, sesuatu mulai terasa aneh. Penduduk desa yang berlalu-lalang terus melirik ke arah mereka dengan tatapan waspada.
“Kenapa mereka lihat kita kayak gitu?” bisik Bima.
Raka menggeleng. Tapi sebelum ia sempat menjawab, seorang lelaki tua mendekati mereka. Wajahnya penuh keriput, dan matanya menyiratkan ketakutan.
“Kalian dari hutan itu?” tanyanya tanpa basa-basi.
Raka dan Bima saling pandang, lalu mengangguk.
“Kalian tidak seharusnya kembali,” kata lelaki tua itu, nadanya dingin.
“Apa maksudnya?” tanya Raka, bingung.
Lelaki tua itu menunduk, lalu berbisik, “Hutan Giripati tidak pernah membiarkan siapa pun pergi. Jika kalian kembali, itu artinya kalian membawa sesuatu.”
---
Malam itu, Raka dan Bima menginap di sebuah rumah kosong yang disediakan penduduk desa. Meski tubuh mereka lelah, mereka sulit memejamkan mata. Kata-kata lelaki tua tadi terus terngiang di kepala mereka.
Saat malam semakin larut, suasana di dalam rumah menjadi dingin. Angin dingin bertiup, meski jendela-jendela tertutup rapat. Lampu minyak yang mereka gunakan berkedip-kedip, dan suara aneh mulai terdengar dari sudut ruangan.
“Lo denger itu?” tanya Bima dengan suara bergetar.
Raka mengangguk. Mereka berdua menoleh ke arah sudut ruangan. Di sana, bayangan mereka yang seharusnya mengikuti gerakan tubuh, tampak berdiri diam.
“Bayangan kita… kenapa nggak bergerak?” bisik Bima, suaranya hampir tak terdengar.
Raka mendekat perlahan, mencoba memastikan apa yang ia lihat. Namun, saat ia hanya beberapa langkah dari bayangan itu, bayangan tersebut mulai bergerak… melawan arah gerakan Raka.
Bayangan itu mengangkat tangan, menunjuk ke arah pintu.
Dan dari balik pintu, terdengar ketukan perlahan.
Tok… tok… tok…
“Siapa itu?!” teriak Bima.
Tidak ada jawaban, hanya keheningan. Tapi ketukan itu semakin keras, semakin cepat.
Raka mengambil kayu dari sudut ruangan, bersiap menghadapi apa pun yang ada di balik pintu. Dengan napas tertahan, ia membuka pintu itu.
Tidak ada siapa pun di sana.
Namun, ketika mereka menoleh kembali ke dalam ruangan, bayangan-bayangan di dinding mulai berubah bentuk. Mereka tidak lagi menyerupai Raka dan Bima, melainkan menjadi sosok-sosok tinggi dengan mata merah yang menyala.
“Kita nggak pernah benar-benar keluar dari hutan itu,” bisik Raka dengan wajah pucat.
---
Raka dan Bima berlari keluar dari rumah, tapi suasana desa berubah drastis. Rumah-rumah yang sebelumnya tampak biasa kini dipenuhi akar-akar pohon, dengan darah mengalir di dindingnya. Penduduk desa yang mereka lihat sebelumnya berdiri diam di jalan, mata mereka hitam pekat, menatap tanpa ekspresi.
“Kita nggak di desa,” kata Bima dengan suara gemetar.
“Ini… ini hutan yang menyamar,” jawab Raka, akhirnya menyadari kebenaran yang mengerikan.
Giripati tidak pernah melepaskan mereka. Saat mereka menghancurkan pintu di pohon raksasa, mereka memang menghancurkan Bayangan Purba. Tapi mereka tidak pernah benar-benar keluar dari kekuasaan hutan itu.
“Hutan ini… menciptakan dunia sendiri,” lanjut Raka. “Dunia yang terlihat seperti dunia nyata, tapi sebenarnya kita masih di dalamnya.”
---
Suara langkah berat terdengar lagi, kali ini lebih jelas daripada sebelumnya. Dari kejauhan, sosok Andre muncul, diikuti oleh Dinda, Citra, dan bahkan pria tua yang membantu mereka sebelumnya. Semua tubuh itu bergerak seperti boneka yang dikendalikan.
“Kita harus lari!” teriak Bima.
Namun sebelum mereka sempat bergerak, akar-akar dari tanah tiba-tiba mencengkeram kaki mereka, menarik mereka kembali ke tanah.
“Lepaskan kami!” teriak Raka, mencoba melawan.
Sebuah suara bergema di seluruh tempat itu, suara yang familiar—Bayangan Purba.
“Kalian bisa menghancurkan tubuhku, tapi aku adalah bagian dari hutan ini. Dan hutan ini adalah bagian dari kalian.”
Raka dan Bima menatap satu sama lain dengan ketakutan. Mereka menyadari kebenaran yang paling mengerikan: mereka tidak pernah bisa keluar. Giripati telah menjadi bagian dari jiwa mereka, bayangan yang tidak pernah hilang.
Dan saat kegelapan menelan mereka sepenuhnya, dunia di sekitar mereka berubah menjadi hutan yang tak berujung.
Mereka telah menjadi korban selanjutnya—bayangan yang kini akan menghantui siapa pun yang berani memasuki Hutan Giripati.