TAMAT 02 NOVEMBER 2023
Ning Aisha menangis setelah King tak sengaja menciumnya. "Jangan dekati aku lagi!"
"Terus, gimana cara Gue jagain Lo, Cengeng?"
"Nggak perlu, aku bisa jaga diri baik-baik! Kita bukan mahram, jangan deket-deket! Setan pasti suka godain Kita, terutama kamu yang nggak kuat iman! Nggak mau shalat. Pasti jadi temen setan!"
"Lo mau dihalalin sama temen setan ini? Bilang! Besok Daddy sama Mom biar ngelamar Lo buat Gue!"
"Sinting..."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pasha Ayu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB DUA-TUJUH
Celana jeans hitam, kaus hitam, dilapisi jaket kasual berwarna army, King tampak rapi dan stylish. Sambil bercermin, rambut belah duanya dia songgar dengan sebelah tangan.
"Kamu mau ke mana, King?"
Pemuda itu menoleh ke arah Aisha yang telah rapi dengan stelan hijab barunya. Celana dan blouse longgar yang modis, kemarin Mommy Lily yang berikan.
King melangkah maju, menyungging senyum tipis, lantas menatap lekat wajah bingung istrinya. Semalam, telah Aisha beri seluruh hidup kepadanya dan King sangat bahagia.
"Ada acara di rumah Roland. Kamu tunggu di rumah ya." King kecup kening wanita itu dan Aisha mengangguk menurut.
Tumben sekali King tak bersikap kanak-kanak, apa setelah malam tadi, King mendadak jadi suami sungguhan? Aisha berasumsi.
Aisha harus ikut sarapan pagi bersama keluarga lainnya. Keduanya pun turun lewat tangga bersama-sama.
Di bawah, Glory terdiam memandangi piring yang kosong. Khaira sang Kakak sedang menikmati segelas susu, dua buah apel dan rotinya.
Ada Baby Dil dan pengasuhnya di sisi Kak Khaira. Sedang Gus Emyr, sepertinya sudah berangkat ke kantor pengadilan karena harus menemani sidang kliennya.
"Kamu mau ke mana?"
Kak Khaira bingung dengan pakaian yang dikenakan adik tampannya. King tengah menjadi terduga, tapi berani sekali King ingin keluar rumah.
"Ada acara di tempat Roland." King meraih segelas susu dan menenggaknya.
King harus berkilah, atau Gus Emyr sang jaksa akan bertindak dengan prosedur yang berlaku di Indonesia.
Aisha yakin King tak mau sarapan. Gadis itu meraih sandwich yang tersedia di atas piring milik King, lantas memberikannya pada sang suami.
"Sarapan di mobil ya." King mengangguk seraya ambil sandwich dari Aisha.
Kecupan lembut mendarat di pipi Aisha, lalu beralih ke pipi Kak Khaira, dan Glory hanya mendapat usapan kecil di pucuk kepalanya.
Aisha tersenyum, sekarang King mulai paham tentang batasan menjadi sepupu. Setidaknya tidak sampai mencium Glory.
"Ati-ati di rumah, Sayang."
Glory melirik tajam kakak sepupunya. Benar benar tidak masuk nalar, hanya dengan gadis desa saja, King bisa takluk seperti itu.
King berlari kecil untuk segera masuk ke mobil sport miliknya. Tak butuh waktu lama untuk King melajukan mobilnya dan berlalu.
Sembari menyetir, satu persatu pucuk-pucuk sandwich dia pagut. Setelah habis, tangannya dia gunakan untuk mengabari para temannya.
Lokasi yang dia tuju dibagikan ke group chat. Dan Roland, Mahesa, Dewa juga Gladys akan datang menyusulnya.
Semua berjalan lancar bahkan tanpa kendala kemacetan kota, sampai di setengah perjalanannya, kening King mengerut tipis.
Di depannya, ada mobil Flory yang melaju cukup kencang. King baru ingat, di meja makan tadi, Flory tak ada nampak, ternyata Flory sudah ada di jalanan.
"Flo..." Lebih terasa janggal lagi ketika King sadar akan sesuatu. Yaitu, motor Liam yang melaju di depan mobil Flory.
Sontak, King bergulat dengan pikirannya. Ada apa dengan Liam dan Flory? Kenapa mereka bisa menuju ke arah yang sama dengannya?
Tidak! Semoga saja ini hanya sebuah kebetulan semata. King berusaha kuat untuk tidak curiga pada keduanya.
King menambah kecepatan lajunya seiring dengan bertambah cepatnya motor Liam dan mobil Flory.
Entah apa yang terjadi di antara mereka, ketiganya selalu saja memilih jalur yang sama.
King semakin penasaran dibuatnya, ngomong ngomong, untuk apa Liam dan Flory keluar dari kotanya secara bersamaan?
Semula King menepis dugaannya. Namun, ketika Liam masuk ke bangunan mangkrak yang sudah dipenuhi dengan rerumputan dan tanaman rambat, di sini King mulai yakin jika dugaan baiknya telah meleset.
"Lo nggak mungkin lakuin ini ke Gue Liam!"
King mencoba meyakinkan dirinya sendiri, jika Liam masih karibnya. Tapi lihatlah, Liam memarkirkan motor di depan gedung tua.
Bukankah ini tempat di mana klien Respatih mengajaknya bertemu? Jadi apakah benar jika Liam lah dalang dari fitnahnya?
Penuh dengan emosi, King keluar dari mobilnya. Menendang punggung Liam hingga jatuh tersungkur di atas lantai yang kotor.
"Jadi Lo orangnya hah?" King meraih kerah jaket Liam untuk ditarik berdiri. Liam sempat mengalihkan pandangan ke dalam gedung.
Sepintas King tatap area dalam gedung yang kosong tak berpenghuni. Tapi, barusan dia yakin jika Liam memandang seseorang di dalam sana.
"King!" Baru saja King melangkah, Liam sudah menarik jaketnya.
"Ada siapa di dalam?" King mencecar dengan selidiknya.
"Gue di sini sendiri!"
King terkekeh samar. "Jadi Lo mau ngaku, kalo Lo yang fitnah Gue, gitu?"
Pukulan mengenai wajah tampan Liam. Dan Flory yang baru saja turun dari mobil, gadis itu berlari untuk menolong pemuda terkasih.
"King!" Flory menghalangi tubuh Liam dengan merentangkan kedua tangannya.
"Ngapain Lo ke sini!" tegur King, mendelik.
"Flo mau ikutin Liam." Tak ada kerjaan lain selain menjadi stalker Liam, itulah Flory.
"Cowok bajingan begini Lo bela?!" King menegur ketus.
"Kiiiiing!" Flory lagi-lagi menghalangi Liam yang pada akhirnya tak berhasil King pukul.
Dari depan, empat teman karibnya berlari menyatroni. Roland, Dewa, Mahesa, dan Gladys menengahi.
"King, sabar King!" Dewa menghalau tubuh King yang sudah gatal sekali ingin menerjang rivalnya. "Biar Gue beri pelajaran dia!"
"Kalian apa-apaan sih!" Gladys berteriak cukup histeris. "Kalian lupa dulu kita kayak apa?"
"Cih!" Liam berdecih seolah tak sudi mengingat kembali kejadian masa lalu mereka.
"Bilang ini salah paham, Liam!" Dewa berusaha membujuk Liam, agar permusuhan mereka tak semakin kacau.
"Gue emang pelakunya! Gue yang bayar Respatih buat fitnah Lo!" ngaku Liam tertawa.
"Bajingan!" King menyerang, dan Flory yang menghalangi tubuh Liam.
"Pulang, Flo!"
Gadis itu menggeleng, menangis. "Nggak mau, Flo mau jagain Liam!"
"Lo denger Gue! Liam nggak pernah suka sama Lo!" teriak King. Sepupunya ini terlalu keras kepala.
"Biarin!" sanggah Flory.
"Argh!" King berteriak keras. Sekarang, harus apa dirinya? Bukti memang sudah ada, dia akan jebloskan pelaku ke penjara.
Namun, mungkinkah dia memenjarakan anak tiri mertuanya sendiri? Tapi jika tidak, King yang harus masuk jeruji besi karena semua tuduhan mengarah padanya.
"Lampiaskan semuanya. Nyatanya Lo kalah dari Gue. Lo, nggak akan bisa jeblosin anak tiri mertua Lo ke penjara..."
Lagi, King berusaha menyerang, dan lagi-lagi pula, Flory menghalaunya. "King, jangan, please!" tangisnya.
"Urusan kita belum selesai!"
King mengakhiri murkanya dengan keluar dari bangunan tua itu. Takkan mungkin dia terus berada di sini, sedang Flory terus menjadi penghalang serangannya yang sangat geram.
Salah-salah, Flory yang akan terkena pukulan darinya. Tak lama, Mahesa, Roland, Dewa dan Gladys ikut pergi setelah cukup lama diam terpaku memandangi luka Liam.
"Liam..." Flory membantu Liam berdiri, tapi sayang, gadis itu harus terhuyung karena dorongan pemuda itu.
"Minggir!"
Flory tak menyerah. "Kamu luka loh. Biar Flo kasih obat."
"Minggir Gue bilang!"
Teriakan Liam membuat Flory tersentak dan diam cukup lama. Saat Liam ingin masuk ke dalam bangunan, Flory berceletuk.
"Besok Flo balik ke California, Liam. Flo mau kasih sesuatu sebelum pergi."
"Gue nggak butuh! Pergi!" Dengan kaki berjingkat satu, Liam masuk ke dalam gedung tua itu lalu tampak menguncinya.
Flory yang terdiam, tiba-tiba dikejutkan oleh kelebatan seseorang dari kaca jendela yang memang transparan.
Flory penasaran pada gadis yang duduk di atas kursi roda dan tampak muncul di lantai atas sana. Gadis yang sepertinya menjadi tujuan Liam masuk ke dalam bangunan.
"Billy..." Benar, Flory mengenal gadis itu. Dia Billy, salah satu dari teman kecil King juga.
Flory urung untuk kembali ke mobil, dia harus pastikan jika benar Liam akan bertemu dengan gadis di kursi roda tersebut.
Flory mendekati jendela yang paling bisa dia intip dari luar. Setitik saja celah, dia bisa melihat betapa dekatnya Liam dengan Billy.
Flory remuk, ketika Liam juga melabuhkan kecupan di punggung tangan gadis itu. Jadi ini alasan Liam datang ke sini; untuk gadis yang mungkin sudah menjadi kekasihnya.
Flory menghela napas berat, dia harus kuat untuk berjalan menuju mobilnya. Dunia tidak akan kiamat hanya karena Liam sudah berpunya.
Tepukan pelan membuat Flory sadar akan keberadaan sopirnya. "Nona, Tuan muda King sudah menyuruh Nona pulang."
"Iya, Pak." Flory mengangguk. "Kita pulang."
Sebelum pergi, Flory meraih buket bunga, paper bag, dan kotak berisi hadiah kecil dari dalam mobilnya, untuk kemudian di letakkan di depan ban mobilnya.
Biar hancur, berharap semua benda itu remuk dan terlindas seiring dengan rasanya yang ingin dia musnahkan. Liam sudah memiliki kekasih, King benar, Liam tak pernah suka padanya.