Tidak cantik, tidak menarik, tidak berdandan apik, tidak dalam keadaan ekonomi yang cukup baik. Namun, hidupnya penuh polemik. Lantas, apa yang membuat kisah hidupnya cukup menarik untuk diulik?
Tini Suketi, seorang wanita yang dijuluki sebagai legenda Desa Cokro yang melarikan diri. Kabur setelah mengacaukan pesta pernikahan kekasih dan sahabatnya.
Didorong oleh rasa sakit hati, Tini berjanji tak akan menginjak kampungnya lagi sampai ia dipersunting oleh pria yang bisa memberinya sebuah bukit. Nyaris mirip legenda, tapi sayangnya bukan.
Bisakah Tini memenuhi janjinya setelah terlena dengan ritme kehidupan kota dan menemukan keluarga barunya?
Ikuti perjalanan Tini Suketi meraih mimpi.
***
Sebuah spin off dari Novel PENGAKUAN DIJAH. Yang kembali mengangkat tentang perjuangan seorang perempuan dalam menjalani hidup dengan cara pandang dan tingkah yang tidak biasa.
***
Originally Story by juskelapa
Instagram : @juskelapa_
Facebook : Anda Juskelapa
Contact : uwicuwi@gmail.com
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon juskelapa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
29. Refleksi Hidup
Kehidupan tetap berjalan. Mereka semua melewati hari-hari yang sudah ditakdirkan kepada mereka. Tini menjalani kehidupannya tetap menjadi seorang wanita pemandu karaoke di awal minggu dan menjadi seorang SPG rokok di akhir minggu.
Selama pengamatan Tini, Dijah terlihat semakin dekat dengan pria yang mengantarkannya pertama kali. Pria dengan motor besar berwarna merah itu adalah wartawan harian digital dan cetak. Belakangan, pria itu diketahui Tini bernama Bara Wirya.
Asti baru saja ditimpa kemalangan. Gadis itu mengetahui kalau dirinya hanya dijadikan seorang selingkuhan. Asti beberapa hari mengurung diri di kamar dan tak mau keluar. Tini hanya bisa menasehatinya sebagai seorang teman.
Dijah yang juga sedang sibuk dengan dirinya sendiri, hanya menasehati gadis itu sepintas lalu. Boy membantu dengan mengajak gadis itu makan dan mengajaknya keluar mengerjakan sesuatu. Biasa Boy meminta pertolongan kepada Asti yang membuat sahabatnya itu mau keluar kamar. Sedangkan Mak Robin, mengomeli Asti layaknya anak sendiri.
Hari-hari kebersamaan Tini dan Dijah menjadi banyak berkurang. Mereka yang biasa banyak menghabiskan waktu bersama, kini waktu itu banyak berkurang. Baru kali itu Dijah benar-benar dekat dengan seorang pria.
Tini memahami kalau Dijah bukanlah miliknya sepenuhnya. Dijah adalah seorang wanita muda yang memiliki usia selisih empat tahun darinya. Meski mereka bersahabat, tapi Tini tidak sepenuhnya mengetahui soal sahabatnya itu yang paling dalam. Yang Tini tahu, Dijah sekarang menjadi lebih bahagia.
Bagi Tini, Dijah sudah cukup hidup menderita, karena ulah mantan suami yang tak pernah rela melepasnya. Saat tengah masa pendekatan Bara pada Dijah, tak henti-hentinya Tini ikut meyakinkan sahabatnya itu. Hal itu Tini lakukan karena ia yakin dengan Bara yang terlihat begitu gigih dan sungguh-sungguh mendekati sahabatnya.
Tini menyayangi Dijah sebagai seorang sahabat, sebagai seorang adik perempuan seperti Evi. Tini mau Dijah bahagia. Dijah lebih dari pantas mendapat kebahagiaan dan perlindungan dari seorang pria yang mencintainya.
Lagi pula, ini bukan hanya soal pendamping, tapi juga sosok ayah untuk anaknya.
Seperti pertanyaan Dijah selama ini padanya, “Menurut kamu, apa Bara bener serius kea ku, Tin? Apa keluarga Bara mau Nerima aku dan Dul?”
Itu adalah pertanyaan yang sudah diulang puluhan kali oleh Dijah. Dan pertanyaan itu selalu dijawab sama oleh Tini. “Laki-laki yang bener cinta ke kamu, pasti bakal berusaha untuk kamu. Yang penting, kamu juga dukung usahanya.”
Namun, sepertinya hal itu tak membuat Dijah semakin yakin. Dalam hal-hal tertentu Dijah masih sangat tertutup. Tini tak mungkin mencampuri urusan sahabatnya terlalu dalam. Kecuali, memang diminta.
Hal itu terjadi saat Tini diselingkuhi oleh Gatot. Dijah harus kembali bergumul dengan salah satu penghuni lantai dua yang ternyata diam-diam menjalin hubungan dengan Gatot. Wanita selingkuhan Gatot terusir, Tini puas meski patah hati. Dan itu semuanya karena Dijah.
Begitu pula saat Dijah bermasalah dengan Bara sampai memutuskan hubungan, mereka semua menemani Dijah melewati hari-hari itu. Tini dan Dijah tumbuh dekat karena perasaan senasib. Wanita berbeda status namun merasa memiliki derita yang sama. Sama-sama merasa memiliki bapak tapi tak bisa diandalkan. Sama-sama merasa minder ketika berhadapan dengan laki-laki yang mau menerima keadaan mereka.
Beruntungnya, Dijah sudah lebih dulu menemukan hidupnya. Bara melamarnya dan Dijah segera berstatus seorang istri. Dalam waktu bersamaan, Tini bahagia, tapi juga kehilangan sesuatu dalam hidupnya.
Selama ini, Tini tanpa Dijah bukan apa-apa. Begitu pula, Dijah tanpa Tini. Sekarang, semua berubah. Dijah telah menemukan seseorang yang menjadi tempatnya bersandar, berkeluh-kesah dan bermanja-manja. Dijah tak akan mencari Tini lagi hanya untuk mengeluhkan soal keluarga atau anaknya. Dijah tak akan datang padanya dengan sepiring lauk dan mengajaknya makan bersama.
Tanpa semua orang sadari, Tini adalah seseorang yang paling kehilangan Dijah dari kos-kosan itu. Ia bahagia, tapi ia juga kesepian.
Tini merasa, Mak Robin, Boy atau Asti sedikit sulit memahaminya. Biasanya, Tini hanya perlu bertukar pandang dengan Dijah, untuk bisa mengerti isi pikiran mereka satu sama lain.
“Bara gimana, Jah? Menikah gimana?” tanya Tini suatu kali.
“Bara baik, Tin. Menikah enak. Kalau bangun pagi ada yang dipegang-pegang,” jawab Dijah dengan polosnya.
Hal itu membuat Tini kesal, namun ia tidak marah. Ia mengerti sahabatnya. Dijah sudah berbahagia.
Perubahan kehidupan Dijah, membawa pengaruh besar terhadap kehidupan mereka semua.
Perkenalan terhadap orang-orang baru yang membawa pengaruh positif tentu saja mampu mengubah kehidupan seseorang.
Dalam perjalanan perkenalan Tini dengan sosok Bara, Tini turut mengenal sosok pria lain yang ikut menoreh hal istimewa dalam pikirannya. Pria itu bernama Heru. Nama lengkapnya adalah Heru Gatot Setyadarma.
Sepanjang hidupnya, Tini tak pernah melihat makhluk semenarik Heru. Dari segi fisik Heru memenuhi semua hal yang diminati Tini dari seorang pria. Tubuh yang tinggi semampai, tegap berisi dengan otot yang membuat Tini bergidik. Juga jambang halus, lesung pipi serta suara berwibawa yang sangat maskulin dan hangat. Bagi Tini, Heru adalah tipe laki-laki impiannya. Setelah melihat dan berkenalan dengan Heru, standar Tini terhadap seorang laki-laki meningkat tajam.
Heru merupakan wisata paling indah buat tini. Sama seperti melihat pemandangan alam yang indah di kejauhan, atau saldo ATM melimpah yang tentu saja hanya mimpi. Begitulah sosok Heru bagi Tini. Ia hanya bisa memandang Heru dari kejauhan, ikut tersenyum saat Heru tersenyum dan ikut sebal karena Heru memperlakukan semua orang sama baiknya.
Malangnya Tini, satu-satunya pria yang dianggapnya begitu sempurna, ternyata adalah seorang ayah dari balita laki-laki dan seorang suami dari wanita cantik yang merupakan seorang pembawa berita nasional stasiun televisi ternama. Istri Heru adalah Fifi Mochtar. Tini bisa melihatnya di saluran berita pagi.
Kekaguman Tini pada Heru berbuah manis. Bukan soal perasaan spesialnya. Tapi, soal bagaimana Heru membuka pikirannya soal kehidupan. Soal Heru yang membantunya membuka kesempatan menjadi sosok berbeda. Heru mengenalkan Tini pada sosok Agus. Pria pemilik perusahaan yang menjual beberapa produk asuransi.
Tini mencoba tantangan Heru yang mengatakan bahwa ia berbakat dalam hal marketing. Heru meyakinkan Tini kalau ia bisa. Menyanggupi tantangan itu, Tini melalui hari-harinya sebagai seorang agen asuransi pemula. Tini memulai dari nol. Mencoba menaikkan kelas pergaulan dan pekerjaannya. Berbaur dengan orang-orang yang kesehariannya diwarnai oleh briefing dan meeting.
Dalam usahanya itu, Tini mengawali pengetahuannya soal Agus yang masih single. Pria berusia 36 tahun yang masih single tentu menimbulkan tanda tanya buat Tini. Bukan Tini namanya kalau tidak penasaran. Tini awalnya meragukan soal kenormalan Agus. Pria mana yang tahan untuk tidak menyentuh wanita di usia sematang itu. Agus bahkan lebih tua setahun dari Heru.
Tini tertarik pada Agus. Dan Agus selalu dingin padanya. Tak masalah, Tini adalah sosok pantang menyerah. Ia merasa tertantang dengan sosok Agus. Direktur perusahaannya yang lajang tulen dan bersikap dingin.
Bersamaan dengan itu, Tini yang mulai memiliki relasi dalam mengenalkan produk asuransinya, mengenal seorang pria lain. Sebut saja dia John Omaar. Tini biasa menyebutnya dengan Jono. John Omaar adalah General Manager dari hotel JM. Warrior. Bule keturunan Amerika-Uni Emirat Arab itu belakangan mulai sering menghubungi Tini.
Tini merasa di awang-awang. Konsentrasinya pada Agus pun terpecah. Tini menikmati banyak dinner dan lunch bersama Jono. Sehingga Agus yang selama ini merasa dipuja Tini, mulai merasa kehilangan perhatian.
Kehidupan percintaannya belum dimulai. Tini masih harus menyelami bagaimana sosok seorang Agus, dan bagaimana sosok seorang General Manager berkewarganegaraan Uni Emirat Arab kepadanya.
Tini duduk di teras kamarnya. Wajahnya terlihat kesal. Seorang wanita muda yang menjadi penghuni baru kamar Dijah, bertingkah tidak sopan. Sebagai seorang senior, Tini merasa dilangkahi. Tini kesal. Apalagi Boy langsung terlihat dengan penghuni baru itu. Namanya Dara. Wanita tomboy yang sepertinya tertukar identitas dengan Boy.
Mak Robin hanya mengatakan padanya untuk mengerti dan bersabar. Dara adalah gadis baik dan mungkin akan menjadi sahabat baiknya nanti. Sedangkan Asti? Gadis itu tak punya banyak waktu sejak menjadi pegawai di kantor berita Heru.
Tini cemberut. Hari Sabtu tapi ia tak tahu harus ke mana. Agus sedang membuatnya bosan karena selalu mengutamakan ibunya. Sedangkan Jono sedang berada di luar negeri.
Tini sedang melamun menyesap rokoknya. Lalu, sebuah suara yang sangat familiar memanggilnya.
“Budhe Tini Su!” teriak Dijah dari pagar.
Tini mendongak dan seketika mencampakkan rokoknya.
“Mima! Duuuul! Budhe kangeeen!” seru Tini. Ia berlari menuju pagar dan merampas balita sepuluh bulan itu dari tangan ayahnya.
“Ya, ampun. Budhe Tini Su ….” Bara terlihat pasrah menyerahkan putri kecilnya ke tangan Tini.
“Tini! Nangis? Kok matamu basah?” tanya Dijah, mengusap pipi Tini yang basah oleh air mata.
“Nangis? Ngapain aku nangis? Aku baru selesai ngupas bawang!” seru Tini.
Tini dan Dijah saling pandang, lalu tertawa terbahak-bahak.
To Be Continued
Yang belum membaca PENGAKUAN DIJAH, dipersilahkan membaca kalau ingin memperjelas bagian ini.
no 1 ga ada yg nmanya bosen..masih tetep ketawa, seperti pertama baca..
no 2, baru kang pirza