TINI SUKETI
Dengan membaca cerita ini, pembaca meyakini bahwa sudah cukup umur. Pembaca bisa menilai secara mandiri jika semua hal yang dipaparkan hanyalah imajinasi penulis belaka yang bersifat menghibur. Cerita ini tidak mewakili suatu agama atau kelompok masyarakat tertentu.
Selamat datang di dunia imajinasi juskelapa. Selamat membaca.
***
Pada usia 24 tahun, Tini belum pernah membayangkan hiruk pikuk kota besar seperti apa. Hidupnya hanya tentang menunggu jodoh. Menunggui seorang pria yang bernama Coki untuk melamarnya.
Tiada hari tanpa bersama Coki. Bagi Tini, Coki adalah pria paling ganteng di desanya. Semua yang ia lakukan hanya untuk Coki.
Coki dulu, Coki lagi, Coki terus. Memangnya apa pekerjaan Coki? Mantri. Lebih tepatnya lagi adalah tenaga honor sebagai mantri hewan. Coki yang luntang-lantung tiga tahun seusai lulus SMA, berhasil menjadi tenaga honorer di dinas setelah orang tuanya menjual dua petak sawah untuk menjadikan hidup anaknya lebih berguna. Hal itulah yang menjadi tumpuan harapan bagi Tini. Membayangkan bisa menikah dengan Coki dan tinggal di rumah mertuanya yang penuh ukiran mirip candi.
“Coki mana, Tin?” tanya Siti Kusmini saat ia dan Tini berjalan beriringan sepulang dari pabrik.
“Pulang keliling-keliling ngecek sapi, palingan tidur. Kenapa? Kok, nanya Coki? Pacar kamu mana?” Tini menoleh sekilas pada sahabatnya.
“Ada,” jawab Siti singkat. “Kamu kapan dilamar?” tanya Siti lagi.
“Ya, enggak tau pastinya. Katanya sabar. Memangnya kenapa? Kamu mau kawin duluan? Ya, udah. Nanti aku dibagiin bahan baju sama ongkos jaitnya.” Tini tertawa santai.
“Kalau aku pesta duluan, nggak apa-apa? Bener kamu mau jadi pager ayunya?” tanya Siti.
“Ya, enggak apa-apa. Aku pasti jadi pager ayunya,” sahut Tini lagi.
Mereka beriringan berbelok ke sebuah jalan tak beraspal yang kanan kirinya di penuhi pepohonan. Daerah tempat tinggal mereka berada di satu jalan yang berkelok-kelok. Rumah Tini dan sahabatnya itu terletak di gang yang berbeda. Namun kesemua gang itu buntu, berakhir dengan daerah tepi sungai.
Tiga ratus meter berjalan kaki, Siti pamit untuk berbelok ke kiri di mana rumahnya berada. Sedangkan Tini, melanjutkan perjalanannya menuju ke dua gang berikutnya. Cukup jauh dari jalan besar, dengan tikungan tajam dan pepohonan yang rimbun, dari kejauhan ia terlihat seperti masuk ke dalam hutan.
Dari kejauhan, Tini melihat rumahnya sepi. Biasanya ada dua motor matik yang terparkir di depan rumah. Sore itu hanya ada satu, milik adik perempuannya.
Tini sedang bersenandung di depan pintu depan rumahnya, ketika pintu itu terbuka.
“Jangan masuk dulu, Mbak Tini cari bapak sana!” seru Evi, saat membuka pintu dan bertemu pandang dengan kakaknya.
“Kok, aku? Aku baru pulang kerja. Dayat mana? Minta dia yang nyari. Aku males. Nanti ketemu banyak bapak-bapak di warung.” Tini menerobos masuk ke rumahnya.
“Enggak ada di warung, tadi pulang nagih aku lewat warung nggak ada. Pasti ngadu ayam lagi,” kata Evi.
“Biarin aja. Ketimbang ngadu domba, kita bisa ikutan pusing. Aku udah bosen ngasi taunya. Udah tua, kok, nggak ada tobatnya. Dayat mana?”
“Dayat main ke rumah temennya. Aku telfon nggak dijawab. Aku capek keliling-keliling dari siang, jam segini baru selesai masak. Bapak dari siang nggak pulang-pulang.” Evi kembali masuk ke rumah dan mengikuti kakaknya ke belakang.
“Ya, udah nggak usah dicari. Kalo laper, kan, pulang. Kalo mati ditanem,” omel Tini, berjalan masuk menuju kamarnya.
“Enggak boleh gitu, Mbak. Orang tua kita cuma tinggal Bapak aja.” Evi duduk di tepi ranjang besi bertingkat yang bagian bawah biasanya ditempati oleh Tini.
Evi Sunarti berusia 19 tahun. Adik kedua Tini ini, pekerjaannya adalah tukang kredit segala macam benda yang diminta pelanggan. Mulai dari perlengkapan dapur, sampai dengan perlengkapan kasur. Gadis itu sangat gigih mengumpulkan uang untuk melanjutkan sekolahnya ke perguruan tinggi yang terkendala biaya. Setelah tamat SMA, Tini memberinya modal untuk kembali diputar membeli barang-barang pesanan yang akan dicicil maksimal sepuluh kali setiap bulannya.
Selama harganya masih bisa dijangkau dan mencukupi modal, Evi selalu memenuhi permintaan pelanggannya. Tapi, dengan satu syarat mutlak yang diberikan oleh kakaknya. Pelanggan, suami atau istrinya, tidak ada yang menjadi member warung gaple.
Calon pelanggan yang diketahui memiliki ikatan dengan warung gaple, sudah dipastikan akan gugur. Karena menurut Tini, judi itu tak ada obatnya.
“Dari Ibu masih sehat sampai masuk ke tanah, kerjaan Bapak nggak ada berubahnya. Yang hidupnya berguna, matinya malah cepet. Andai bisa ditukar.” Tini menyisir rambut dan menjepitkannya ke belakang kepala.
“Gendeng!” tukas Evi.
“Telfon Dayat lagi. Udah kelas tiga SMP bukannya banyak belajar, malah kelayapan setiap hari.” Tini menyampirkan handuk dan pergi meninggalkan Evi di kamar.
“Pasti mau pergi malem mingguan sama si Coki,” gumam Evi.
“Memangnya kenapa?” sahut Tini dari depan pintu kamar mandi.
Evi hanya diam tak menyahut. Itu hari Jumat malam. Pemuda-pemudi di desa mereka biasa sudah mulai berkeliaran mencari pasangan atau berpacaran.
Para pemuda biasa duduk di pos ronda bermain gitar. Sebagian hanya berdiri atau jongkok di mulut gang sambil menyuiti gadis-gadis muda yang melintas. Sedangkan gadis-gadis yang melintas, ada yang berhenti untuk mengobrol, ada yang berlalu tanpa menoleh. Tergantung pemuda yang mengajak bicara.
Tini Suketi sudah melewati masa-masa itu. Dia sudah berada di usia terlalu matang di kampungnya. Tinggal di desa kecil dengan 24 tahun belum menikah bukanlah suatu prestasi yang bisa dibanggakan.
Pak Joko masuk lewat pintu belakang rumahnya setelah memasukkan seekor ayam jago yang selalu dibawanya ke mana-mana untuk ditandingkan ke dalam kandang. Ia berusaha untuk tak menimbulkan suara gaduh saat memasuki rumah. Langit sudah gelap dan ia tahu putri sulungnya pasti sudah pulang kerja.
Pak Joko mengendap-endap menuju kamarnya, melintasi ruang tamu kecil.
“Ayam terooooss ...,” kata Tini yang baru muncul di ruang tamu.
Bapaknya langsung menoleh ke belakang. “Cuma dibawa jalan-jalan. Kasian dia bosen di kandang,” jawab Pak Joko.
“Mending dijual. Biar ada gunanya,” jawab Tini.
“Ya, kasian. Masa si Puput mau dijual. Apa lagi gunanya? Dia buat temen Bapak.” Pak Joko balik bertanya.
“Bukannya kerja, ngadu ayam terus. Nanti bisa ditiru sama Dayat. Puput—puput. Ayam jantan namanya Puput.” Tini berbalik meninggalkan bapaknya. Ia kembali masuk ke kamarnya dengan wajah kesal.
“Bosen, kan, ngasi taunya? Heran. Tapi nggak usah dibilang apa-apa lagi. Jadi dosa,” kata Evi. “Besok Mbak Tini masuk shift jam berapa?” tanya Evi pada Tini yang sudah merebahkan dirinya di ranjang.
“Besok aku masuk shift jam sepuluh pagi. Biar aku aja yang masak. Kamu mau ke mana?” tanya Tini.
“Besok aku ke pasar. Ada yang pesan tikar plastik. Mbak Tini makan sekarang. Aku mau tidur. Capek seharian panas-panasan. Mana tadi motor sempet nggak mau nyala. Aku nyelahnya sampe mandi keringet.” Evi memanjat tangga ranjang untuk menempati bagian atas ranjang tingkat.
Tubuh dan hati Tini terasa letih. Punya Bapak pemalas yang tak memiliki rasa kasihan pada anak-anak perempuannya. Sebagian besar waktunya dihabiskan di warung dan kumpul-kumpul di tengah perkebunan untuk mengadu ayam.
Tini berbaring telentang melihat bayangan adik perempuannya yang selalu tidur menghadap dinding. Kehidupan dirasanya sangat tumpul dan buntu. Punya pacar yang meski memiliki pekerjaan tetap tapi dikenal sebagai pecandu. Gaji sebagai honor pas-pasan, namun selalu habis untuk membeli benda haram.
Sudah dua hari Coki sulit dihubungi. Tiap diminta bertemu, laki-laki itu selalu memaparkan kesibukannya pergi dari satu desa ke desa lain untuk mengecek ternak. Ada sapi keguguran, inseminasi, ada yang kudisan karena sakit dan terlalu lama berbaring.
Tini memejamkan mata. Sedang merencanakan sesuatu untuk esok hari, dalam upaya mengurangi kekesalannya.
Seperti rencana kemarin malam. Evi pagi-pagi betul sudah berangkat ke pasar untuk membeli pesanan pelanggannya. Tini sudah berada di dapur untuk memasak sebelum berangkat kerja ke pabrik. Sedangkan Dayat dan Pak Joko masih dibuai mimpi di hari Sabtu.
Menjelang pukul sembilan, Tini sudah bersiap-siap berangkat ke pabrik. Saat tengah mengenakan sepatunya di pintu depan, bapaknya keluar dari kamar sambil mengucek mata, menguap, lalu menaikkan sarungnya.
“Sudah masak?” tanya Pak Joko. Perutnya lapar menjelang pukul sembilan itu.
“Sudah, tinggal masuk mulut aja pokoknya. Aku pergi, ya.” Tini langsung berlalu dari rumahnya setelah menutup pintu.
Pak Joko buru-buru ke belakang. Masakan pagi selalu menggugah selera. Semuanya masih serba panas. Ia mengencangkan ikatan sarungnya dan bergegas ke kamar mandi mencuci muka.
Sambil bersiul-siul, ia menggeser kursi kayu kecil dan duduk mengangkat kakinya.
“Apa ini? Kari? Mantep,” gumam Pak Joko. Dalam sekejab ia mengisi piringnya penuh dengan nasi, kari ayam, rebusan daun singkong dan sambal terasi.
“Pasti masakan Tini. Tumben,” gumam Pak Joko lagi. Ia makan sambil mengusap peluhnya berkali-kali. Tiga centong nasi putih kembali ditambahkan. Lalu, setelah sendawa ketiga, laju kecepatan makannya berkurang. Pak Joko duduk bersandar beberapa saat kemudian dengan napas pendek-pendek.
“Kenyang,” ucap Pak Joko, berdiri menuju kamar mandi untuk mencuci tangannya. Ia lalu mengambil sekaleng jagung kering dan pergi menuju kandang Puput, ayam jagonya.
“Puput—puput, ayo, makan!” panggil Pak Joko. “Lho? Puput?” panggil Pak Joko, membuka lebar kandang ayam jagonya.
“Puput ke mana? Ke mana? Apa dimaling? Put ...!” teriak Pak Joko, berlari mengitari halaman belakang yang hanya berbatasan dengan ladang kecil dan lembah landai.
“Pupuuuut!!” teriak Pak Joko lagi. Setelah berlari ke sana kemari ia kembali ke depan kandang dan memijat-mijat kepalanya.
“Siapa yang bangun duluan? Evi atau Tini? Mereka pasti ngeliat kalau Puput—” Pak Joko terdiam. “Evi pasti ke pasar lebih pagi. Tini ... masak? Tini masak? Tumben? Kari ayam?” Pak Joko gelagapan. Ia lalu berlari kembali masuk ke dapur. Sejurus kemudian ia berdiri di depan panci kecil di atas kompor dan mengaduk-aduk isi kari di dalamnya.
“Tiniiiiiii!!” Suara Pak Joko menggelegar di Sabtu pagi.
To Be Continued
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 147 Episodes
Comments
Rima Wardhani
puput oh puput/Facepalm//Facepalm//Facepalm/
2024-11-22
0
Liftha Affah
apaan coki bjirr/Scream//Scream/
2024-11-06
0
Nita Ria Nita
Tini 🤣🤣🤣🤣🤣
2024-11-02
0