Buku kedua dari Moonlight After Sunset, bercerita tentang Senja, seorang gadis yang terlilit takdir membingungkan. Untuk mengetahui rahasia takdir yang mengikatnya, Senja harus membuang identitas lamanya sebagai Bulan dan mulai menjalani petualangan baru di hidupnya sebagai putri utama Duke Ari. Dalam series ini, Senja aka Bulan akan berpetualang melawan sihir hitam sembari mencari tahu identitas aslinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Riana Syarif, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Korp Penjaga
"Memang terkadang kita sulit untuk menerima kenyataan, namun itu lebih baik dari pada terus berpura-pura."
****
"Sangat puas melihat wajahnya itu," seru Maya setelah mereka keluar dari gedung sihir.
"Tapi tidakkah itu terlalu berlebihan?"
"Tentu saja tidak, kau harus sering melakukannya agar dia tidak berani lagi mendekati mu."
"Aku mengerti."
Senja sangat menyukai bagaimana cara Maya mengerjai Kira. Tentu saja bukan hal baik jika kita membuang makanan pemberian orang lain, namun jika maksud dari makanan itu untuk menyakiti kita, maka melakukannya merupakan hiburan tersendiri.
"Aku merasa terhibur dengan kejadian tadi,"
"Dimana kita akan berkumpul?" tanya Senja saat mereka sudah melewati taman dimana biasanya mereka menghabiskan waktu untuk makan siang bersama.
"Hmm..."
Maya terlihat sedang berfikir, ia tampak bingung namun ada sedikit senyum nakal di balik bibirnya itu. Senja hanya melihat senyum itu sekilas namun ia sangat yakin jika Maya baru saja tersenyum nakal.
"... Kau akan mengetahuinya nanti."
Maya tidak mengatakan apa pun lagi setelah itu. Ia terus saja berjalan tanpa memperdulikan raut wajah Senja yang terlihat kebingungan.
"Ada yang aneh," batin Senja namun ia masih mengikuti Maya dari samping.
Beberapa saat setelah mereka melewati gedung pertahanan. Kini mereka sampai di sebuah hutan, dimana jarang sekali siswa ataupun siswi datang ke area itu.
"Hentikan langkah mu," bisik Maya tiba-tiba sambil merentangkan tangan agar Senja tidak melewatinya.
"Kenapa May..."
Belum sempat Senja menyelesaikan kalimatnya, Maya sudah menghentikannya dengan menaruh jarinya ke bibir Senja.
"Shutt... diam, jangan berisik."
Senja hanya menganggukkan kepalanya tanda mengerti. Ia tidak bertanya lagi karena Maya tampak enggan menjawabnya.
Setelahnya Maya melepaskan jarinya dari bibir Senja dan kemudian ia memegang pergelangan tangan Senja dan menariknya masuk ke dalam hutan.
"Perhatikan langkah mu," lirih Maya sambil melirik ke kanan dan kiri untuk memastikan keadaan sekitar.
Kini mereka terlihat seperti penguntit yang sedang mengawasi sesuatu atau lebih tepatnya seperti seorang pencuri yang hendak mencuri barang dari milik orang lain.
"Apa ini?" batin Senja saat ia sudah berada jauh di dalam hutan. Entah mengapa Senja merasakan energi aneh yang menyebar begitu luas, namun itu masih terkendali.
Energi yang dirasakan Senja tidak terlalu kuat namun juga tidak lemah. Itu adalah energi yang bisa membuat seseorang takut namun juga penasaran akan apa yang terjadi disana.
"Jangan dorong-dorong."
Sayup-sayup Senja dapat mendengar suara wanita yang menurutnya familiar. Suara itu tidak terlalu kuat dan tampaknya si pemilik suara sedang kesal.
"Aku ingin bertanya tapi aku yakin Maya tidak akan menjawabnya," batin Senja acuh tak acuh.
Setelah mereka semakin jauh masuk ke dalam hutan, energi yang sebelumnya dirasakan semakin kuat. Rasanya sangat tidak nyaman dan udara di sekitarnya perlahan mulai menipis.
Energi ini seperti menyerap habis seluruh oksigen yang ada di area tersebut, sehingga membuat beberapa pohon yang tidak mampu bertahan menjadi kering dan mati.
"Apa itu?" tanya Senja tanpa ia sadari.
"Itu namanya korp, bola sihir yang digunakan untuk menyegel sesuatu."
"Hah, apa? Korp bukannya benda kecil?"
"Memang sewajarnya begitu, namun ini dikembangkan lagi menjadi lebih besar untuk melindungi Akademi."
"Maksudnya?"
"Apa kau lihat kubah sialan itu," seru Maya sambil menunjuk ke arah langit dengan wajah kesalnya.
"Dan itu adalah sumber energinya. Seharusnya tempat ini dilindungi, tapi ada saatnya mereka membebaskan hutan ini untuk alasan tertentu yang tidak diketahui."
Maya menjelaskan apa yang terjadi di hutan ini saat mereka berjalan semakin dekat menuju energi tersebut.
"Jadi begitu," batin Senja sambil mendengarkan penjelasan Maya.
"Kalian baru sampai?" tanya sebuah suara yang membuat Senja sedikit kaget.
"Hai sayang, sini!"
Salah satu diantara mereka menunjuk bagian sisi kanannya dengan senyum lebar yang mengembang di bibirnya.
"Duduk disini, di samping ku," lanjutnya masih dengan senyum lebarnya itu.
"Kalian!"
Senja tidak menduga ternyata sahabatnya yang lain sudah ada di sana terlebih dahulu. Mereka terlihat begitu santai dengan makanan dan cemilan yang ada di setiap sisi tubuh masing-masing.
"Kami sedikit terhambat karena seseorang, namun kini sudah selesai."
Maya tidak menjelaskan apa yang terjadi pada mereka di kelas sihir sebelumnya. Jujur saja Maya tahu dengan jelas apa yang akan dilakukan para sahabatnya jika mereka mendengar kabar tentang hal itu.
"Siapa itu?" tanya Muna dingin.
"Lupakan, semuanya sudah selesai," balas Maya sambil mendekati saudarinya.
"Kenapa kau duduk disini? Ini tempat Senja tahu!"
Maya hanya melihat saudarinya itu dengan wajah datar tak berdosa. Ia acuh tak acuh terhadap protesnya Zakila sambil terus memakan cemilan yang ada di sana.
"Huh," Zakila hanya bisa menghela napas kesal sebelum melanjutkan kembali aktivitasnya.
Senja yang melihat keduanya secara tidak sadar tersenyum simpul. Ia kemudian berjalan mendekati Muna dan duduk di sampingnya.
"Apa yang kita lakukan disini?" tanya Senja saat mengamati para penyihir dan beberapa penjaga yang tengah membenarkan sesuatu di dalam cahaya terang tersebut.
"Kita hanya mengawasi mereka, lagi pula disini tampak nyaman dengan energi yang menyebar seperti ini."
Luna dengan santainya menjelaskan maksud dan tujuan mereka datang ke tempat itu. Ia juga melambaikan tangannya untuk mengibaskan energi yang lepas dari Korp tersebut.
"Energi ini tidak berbahaya bagi kita namun sangat rentan bagi mereka," seru Zakila sambil menunjukkan jarinya ke arah pohon yang ada di sekitaran mereka.
"Jadi mereka berkumpul disini hanya karena iseng saja," gumam Senja tidak percaya dengan penjelasan sahabatnya itu.
"Tunggu dulu! Bagaimana bisa kalian mengetahui tempat ini?"
Sesaat Senja memikirkan spekulasi aneh mengenai temannya. Bagaimana bisa siswa Akademi mengetahui area terlarang seperti ini. Meski hutan ini bukanlah hutan terlarang, namun area ini sangat jarang di pakai oleh siapa pun.
"Dari mana mereka mengetahuinya?" batin Senja penasaran.
"Oh itu..."
Mereka semua kini melirik ke arah Zakila yang tampak kaku namun mata mereka menjelaskan segalanya.
Senja yang penasaran kemudian menatap ke arah Zakila yang kini malah memalingkan wajahnya asal. Ia seakan-akan malu untuk mengatakan sejujurnya, itu diketahui dari wajah dan telinganya yang memerah.
"Sebenarnya..., itu..."
Zakila terlihat kesusahan, ia tanpa sebab menggaruk kepalanya yang bahkan tidak terasa gatal. Wajahnya semakin menunduk ke tanah dengan jari yang saling bertaut.
"Itu karena dia melarikan diri dari tugasnya," seru Maya yang tidak tahan dengan perilaku saudari kembarnya itu.
"Itu tidak benar!" teriak Zakila yang membuat Maya dan Luna menjadi panik.
"Pelankan suara mu," lirih Muna sambil menutup bibir Zakila yang sedang terbuka lebar.
"Huh, bukan begitu."
Zakila tampak kesal dengan bibir yang di majukan, ia terlihat seperti anak kecil yang permennya sedang di rampas saja.
"Sejujurnya saat itu aku sedang..."
Zakila kemudian menceritakan semua hal yang terjadi padanya beberapa hari yang lalu. Saat itu, Zakila sama seperti biasanya. Ia sering sekali kabur dari tugasnya dalam membuat formasi pertahanan.
Hal itu ia lakukan untuk menghilangkan rasa bosan karena selalu melihat pola-pola sihir yang membingungkan.
Pada kenyataannya pola-pola sihir itu jauh berbeda dan lebih rumit dari pada pola sihir yang digunakan oleh penyihir pada umumnya. Para penjaga lebih sering menggunakan sihir Rune atau sejenisnya untuk menggambarkan suatu simbol yang lebih kompleks.
Meski terlihat sederhana, namun pola itu sangat sulit dikerjakan sehingga membuatnya menghabiskan waktu berhari-hari, dan karena alasan itulah Zakila sering menghilang dari kelasnya.
"Hehehe, sebenarnya aku bosan saja ketika melihat pola-pola menyebalkan itu," batin Zakila yang sedang menahan tawa mengingat kenakalannya.
"Jadi ketika itu, aku memilih untuk kabur ke area ini. Seperti yang kau ketahui, area ini sangat jarang di datangi oleh siswa lainnya. Karena alasan itulah aku memilih tempat ini sebagai markas persembunyian."
"Soalnya jika aku memilih untuk datang ke tempat kalian, maka rekan iblis ku itu akan segera mengetahuinya, dan aku akan tersiksa karena itu," batin Zakila yang tidak ia ungkapkan pada mereka.
"Tapi siapa sangka ternyata rekan ku itu berhasil menemukan jejak ku dan datang ke sini. Karena panik, aku pun segera memasuki hutan ini dan berlari terus tanpa tahu jika aku sudah masuk terlalu dalam."
Raut wajah Zakila menjelaskan segalanya, ia terlihat jujur saat menceritakan semuanya. Yah jujur saja mereka tahu jika Zakila melarikan diri ke dalam hutan ini karena ia malas untuk dipekerjakan bagai kuda oleh rekannya itu.
"Jika dia berhasil menemukan ku, maka aku akan di paksa bekerja sampai seluruh energi ku habis," gumam Zakila di tengah-tengah ceritanya.
"Sama seperti saat ini, saat itu kondisi hutan sedang dalam keadaan lost control sehingga aku bisa dengan mudah masuk dan bersembunyi di dalamnya. Saat aku merasa bahwa rekan ku sudah pergi, aku pun memutuskan untuk kembali."
Seketika wajah Zakila berubah drastis, ia tampak syok sekaligus kesal dengan mata yang berlinang tajam.
"Siapa sangka jika saat aku hendak pergi, Korp sialan itu malah aktif dan membuat perisai pertahanan, sehingga aku tertahan di dalamnya."
"..."
"Aku sudah berusaha untuk menghancurkan perisai tersebut, namun sayangnya kekuatan ku tidak cukup. Setiap kali aku memukulnya, tangan ku selalu saja tersetrum dengan kuat."
"Jadi perisai itu memiliki unsur petir di dalamnya," lirih Senja memotong cerita Zakila.
"Kau benar, dan karena alasan itulah aku menghubungi Maya. Namun saat ia sampai ke sini Maya malah membawa Muna dan..."
"Aku khawatir karena saat itu Maya terlihat sangat panik dan ia pergi meninggalkan ruang latihan tanpa pamit terlebih dahulu, jadi aku menyusulnya."
Muna dengan tegas memotong perkataan Zakila, ia tampak membela dirinya atas tuduhan tidak berdasar dari Zakila.
"Yah terserah saja, tapi yang pasti saat mereka berdua datang dan mencoba untuk menghancurkan perisainya. Namun lagi-lagi mereka gagal dan anehnya perisai itu bahkan tidak tergores sedikit pun."
"Dan saat itulah, kami memutuskan untuk memanggil Luna," seru Maya yang menyambung perkataan Zakila.
"Oh jadi karena Lu..."
"Tidak, aku sama sekali tidak bisa menghancurkan perisai itu."
Luna dengan cepat memotong perkataan Senja yang tanpa sadar membuat Senja terperangah dan sama sekali tidak mengerti dengan situasi yang ada saat itu.
"Benar, baik kami atau pun Luna, tidak ada yang berhasil menerobos perisai tersebut," lanjut Muna membenarkan perkataan Luna.
"Lalu, bagaimana..."
"Ceritanya belum selesai," lirih Zakila memotong perkataan Senja.
"Setelah kejadian saat itu, Luna memutuskan untuk kembali ke istana dan meminta bantuan pada saudaranya."
"?"
"Setelah itu Putra Mahkota menyerahkan benda rahasia pada Luna dan ajaibnya benda yang diberikan Putra Mahkota mampu membuka kunci tempat ini," lanjut Zakila dengan raut wajah sedih.
"Sayangnya benda itu hanya bisa digunakan untuk sekali pakai saja, jadi kami tidak bisa menggunakannya untuk kedua kalinya, karena saat itu..."
"Bendanya langsung pecah," sambung Luna sambil mengeluarkan serpihan logam yang sudah hancur tidak berbentuk.
"Tunggu dulu, kenapa kalian meminta bantuan pada Putra Mahkota bukan guru Akademi ini?"
"Apa kau sudah gila? Jika kami meminta bantuan pada guru Akademi, maka masalah ini akan semakin rumit nantinya."
"Ah begitu, aku mengerti."
Senja hanya mengangguk paham dengan penjelasan mereka.
"Tapi tunggu, jika kuncinya sudah rusak mengapa sekarang kita bisa masuk ke area ini?"
"Itu terjadi karena penjaga di area ini sedang pergi entah kemana sehingga kami bisa bebas masuk. Namun setelah Korp itu mulai di aktifkan, maka kita akan segera keluar," lirih Maya sambil memukul ringan kepala Senja yang dari tadi terus saja bertanya mengenai tempat ini.
"Aduh, iya iya."
Senja memegang ringan kepalanya yang terasa sakit, sedangkan temannya yang lain hanya menertawakan tingkahnya yang lucu.