"Aku hamil lagi," ucap Gladys gemetar, ia menunduk tak berani menatap mata sang pria yang menghunus tajam padanya.
"Gugurkan," perintah Gustav dingin tanpa bantahan.
Gladys menggadaikan harga diri dan tubuhnya demi mimpinya menempuh pendidikan tinggi.
Bertahun-tahun menjadi penghangat ranjang Gustav hingga hamil dua kali dan keduanya terpaksa dia gugurkan atas perintah pria itu, Gladys mulai lelah menjalani hubungan toxic mereka.
Suatu ketika, ia bertemu dengan George, pelukis asal Inggris yang ramah dan lembut, untuk pertama kalinya Gladys merasa diperlakukan dengan baik dan dihormati.
George meyakinkan Gladys untuk meninggalkan Gustav tapi apakah meninggalkan pria itu adalah keputusan terbaik?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nara Diani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian 29
Di jam istirahat Gladys dan Mita sungguhan pergi ke restoran dekat kampus yang kata Mita baru buka dan menunya enak-enak, tetapi hari itu mereka sial karena restorannya tidak beroperasi alias tutup.
Mita sampai marah-marah karena kesal, mereka sudah capek-capek berkendara cukup jauh tapi malah tutup, akhirnya kedua gadis itu singgah di minimarket dekat terdekat untuk beli es krim demi meredakan amarah Mita.
"Sial banget, udah jauh-jauh ke sini malah tutup," ucap Mita masih dengan rasa kesal yang sama.
Gadis itu menjilat es krim rasa matcha nya yang hampir meleleh ke tangan. Setidaknya rasa nikmat es krim berhasil menurunkan sedikit emosi Mita.
"Hmm, enak," gumam Mita menikmati es nya.
"Mau gimana lagi," keluh Gladys pula.
"Harusnya kita makan di kantin aja tadi," tambahnya. Mengingat menu-menu di kantin kantor yang tak kalah enak tapi kadang mereka merasa bosan juga makan di tempat itu terus.
Mita membuang wadah es nya ke tempat sampah. "Balik yuk, kita makan di cafe depan kantor aja," ajak Mita.
"Ayo, aku juga lapar banget ini," kata Gladys membuang stik es nya yang sudah habis ke tempat sampah di samping minimarket.
Ia dan Mita masuk ke dalam mobilnya dan menuju cafe depan kantor yang dimaksud. Sesampainya di sana Mita buru-buru turun karena kebelet pipis, gadis itu ngacir menuju toilet cafe yang berada di ruangan belakang meninggalkan Gladys sendiri.
Gladys menduduki salah satu meja kosong dan memesan jus buah lebih dulu sembari menunggu Mita selesai dengan urusannya.
Saat perempuan itu sedang menyeruput jusnya sambil main ponsel, tiba-tiba pelayan cafe menghampirinya.
"Mbak, Mbak yang namanya Gladys Anastasya kan?" sapa gadis pelayan berhijab hitam itu sopan.
Gladys menaruh ponselnya ke atas meja dan balas mengangguk sopan pada pelayan itu.
"Iya, Kak. Ada apa ya?" tanyanya.
"Itu, ada orang nyuruh saya buat panggilin Mbak nya ke ruang private," ucap pelayan itu menunjuk ruangan private di cafe mereka yang terletak di lantai dua.
Gladys mengernyit bingung. "Siapa, Kak?"
"Kurang tahu namanya, Mbak. Pokoknya ada wanita cantik yang mau ketemu Mbak nya," jawab si pelayan menggaruk tengkuknya kikuk.
"Oh gitu, yaudah makasih, Kak."
"Sama-sama, saya permisi."
Gladys beranjak membawa tasnya menuju ruangan private yang dimaksud oleh pelayan cafe tadi, ia naik ke lantai dua menggunakan tangga.
"Wanita cantik mau ketemu katanya?" gumam Gladys tersenyum kecil bisa menebak siapa wanita itu.
Begitu sampai di depan pintu ia mengetuk dua kali lalu masuk ke dalam, dan benar saja, tebakan Gladys tidak meleset.
Wanita yang mengajaknya bertemu itu adalah Brica.
Wanita itu duduk tegak di sofa tunggal yang di depannya ada meja bundar dan segelas kopi latte.
"Silahkan duduk," ujar Brica menunjuk sofa kosong degan anggun pada Gladys.
"Terima kasih," ucap Gladys duduk ke sana.
"Langsung saja, saya sudah tahu hubungan kamu dan Gustav seperti apa," ucap Brica tersenyum miring menatap Gladys rendah.
Wanita itu menggeser kopi latte nya memusatkan pandangannya yang angkuh pada perempuan muda yang berhasil mencuri hati pria yang dia cintai.
Brica berdecih sinis, entah apa spesialnya perempuan ini hingga Gustav rela menyembunyikan dan dirinya dengan hati-hati agar tidak diketahui siapapun.
"Seperti yang kamu dan semua orang tahu, saya dan Gustav saling mencintai dan akan segera bertunangan, jadi saya harap setelah hubungan kami resmi kamu segeralah pergi," pungkas Brica menegaskan.
Gladys tidak bereaksi apa-apa. Ia menatap datar Brica yang baru saja memberikan perintah bernada ancaman padanya.
"Saya tidak bisa," ujar Gladys membuka suara.
"Kenapa tidak bisa?"
"Saya masih butuh dia."
"Butuh dia atau butuh uangnya?" sinis Brica, smirk tercipta di wajahnya.
Perempuan-perempuan seperti Gladys ini apalagi yang dia incar dari pria kaya dan rela menjadi simpanan jika bukan demi uang dan ketenaran? Brica berdecih jijik.
"Saya akan memberikannya, berapa pun yang kamu minta asal kamu pergi dari kehidupan kami."
"Saya tidak bisa, Mbak Brica!" sanggah Gladys.
"Tidak munafik kalau saya memang suka uang Gustav tapi selain itu saya juga tidak bisa pergi begitu saja kalau tidak dia sendiri meminta saya pergi," jelas Gladys.
Sejak awal hubungan mereka memang sudah rumit, dan munafik bila Gladys bilang ia tidak suka hidup mewah seperti sekarang walau harus ia bayar dengan harga dirinya.
Namun, sejak awal ia dan Gustav memiliki perjanjian resmi yang menyatakan hanya Gustav sendiri yang berhak meminta dia tetap tinggal atau pergi.
Jadi jikapun Gustav mau, Gladys bisa terikat dengan pria itu hingga mati dan jikapun dia bosan Gustav juga bebas membuangnya kapan saja.
"Kamu pikir kamu se istimewa itu di mata Gustav?" ujar Brica mengepalkan tangannya menahan emosi. Wanita itu berdiri menunjuk wajah Gladys.
"Kamu itu hanya simpanan! Cepat atau lambat dia akan segera bosan lalu membuang mu!"
"Kalau begitu suruh dia buang saya sekarang juga," tukas Gladys menatap balik mata Brica tanpa takut.
"Mbak bilang kalian saling mencintai kan? Dia pasti akan menuruti perkataan Mbak kalau dia memang cinta." Brica terdiam.
Gladys terkekeh sumbang. Ia berdiri mencondongkan wajahnya pada Brica.
"Pria yang menyimpan wanita di rumahnya di saat dia akan menikah dengan wanita lain apakah itu yang disebut cinta?"
"Kau!" hardik Brica.
Gladys tertawa getir.
Cinta Brica bilang? Tidak ada hal yang tidak Gustav miliki di dunia ini kecuali hal tersebut. Cinta itu mustahil bagi Gustav.
Alih-alih wanita, pria itu lebih mencintai nafsu serta ambisinya dan baginya, wanita tidak lebih dari wadah pemuas birahi. Properti yang bebas ia pakai saat butuh dan buang saat puas.
"Kau lihat saja nanti ku pastikan Gustav akan segera membuang mu!" teriak Brica marah, ingin sekali menjambak Gladys di tempat tetapi dia sudah berjanji dengan George untuk tidak menyakiti gadis ini.
Gladys mengambil tasnya dari atas kursi. "Kalau begitu berusahalah agar dia mau membuangku," ujar Gladys keluar dari sana.
"Dasar pela c u r tidak tahu diri!" teriak Brica.
Brak!
Gladys menuruni anak tangga dengan langkah cepat sambil mengusap matanya yang entah kapan sudah mengalir.
"Dys, lo dari mana aja tadi," tanya Mita yang sejak tadi menunggu Gladys yang mendadak menghilang begitu ia kembali dari toilet.
"Lo nangis?" ujar gadis itu lagi menatap wajah Gladys yang sembab.
"Keluar yuk, kita makan di kantin aja," ajak Gladys mengalihkan topik pembicaraan.
Mita paham, dia mengangguk mengambil tasnya dari atas meja dan mengikuti langkah Gladys keluar dari dalam cafe setelah membayar jusnya tadi.
Mita mengerti jika Gladys butuh waktu untuk menenangkan diri, barulah setelah tenang ia akan menceritakan apapun padanya seperti yang sudah-sudah.
.