Jika ada yang bertanya apa yang membuatku menyesal dalam menjalankan rumah tangga? maka akan aku jawab, yaitu melakukan poligami atas dasar kemauan dari orang tua yang menginginkan cucu laki-laki. Hingga membuat istri dan anakku perlahan pergi dari kehidupanku. Andai saja aku tidak melakukan poligami, mungkin anak dan istriku masih bersamaku hingga maut memisahkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Minami Itsuki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 18 TIDAK ADA KEWAJIBAN BAGI AISYAH
Akhirnya, aku pun membuka suara.
“Aisyah benar,” ucapku pelan, tapi tegas. “Dia nggak punya kewajiban buat melayani Ayah dan Ibu, karena sebentar lagi kami akan berpisah.”
Ibu menatapku dengan ekspresi tidak percaya. “Reza, kamu ini bagaimana? Kamu lebih membela wanita yang sudah jelas-jelas menolak keluargamu?”
Aku menghela napas panjang. Aku lelah terus berdebat tentang hal yang sama. “Bukan soal membela, Bu. Ini soal kenyataan. Aisyah bukan lagi bagian dari keluarga kita. Jadi nggak adil kalau Ibu masih menuntut dia buat melakukan sesuatu.”
Ibu masih ingin membantah, tapi aku tidak mau memperpanjang masalah. Aku langsung menoleh ke Laras yang sedari tadi diam, ragu-ragu, seolah menunggu arah pembicaraan ini.
“Laras,” kataku, menatapnya. “Tolong siapkan makanan dan minuman untuk Ayah dan Ibu.”
Aku bisa melihat ekspresi tidak nyaman di wajahnya. Ada keraguan yang jelas tergambar.
Ibu langsung menatapku tajam begitu aku menyuruh Laras menyiapkan makanan. “Reza, jangan suruh Laras! Dia bukan pembantu! Kenapa kamu menyamakan dia dengan Aisyah?”
Aku menarik napas dalam, berusaha menahan kesabaranku yang mulai menipis. “Bu, Laras sekarang sudah jadi istriku. Sama seperti dulu Aisyah menghormati Ayah dan Ibu, Laras juga harus melakukan hal yang sama.”
Laras menegang, jelas merasa tertekan dengan kata-kataku. Aku bisa melihat raut wajahnya yang penuh keraguan, seolah ingin menolak, tapi tidak berani melawan.
“Aku nggak mau dengar alasan,” lanjutku dengan nada lebih tegas. “Mulai sekarang, kamu harus belajar jadi bagian dari keluarga ini, Laras. Jangan lupakan hal itu.”
Laras menggigit bibirnya, lalu akhirnya mengangguk pelan sebelum berbalik menuju dapur.
Ibu masih terlihat tidak terima, tapi kali ini dia memilih diam.
Aku tahu, aku mungkin terdengar keras, tapi aku tidak ingin ada perbedaan perlakuan di dalam rumah ini. Jika dulu Aisyah bisa melakukan semuanya tanpa keluhan, maka Laras juga harus bisa.
Dan jika Laras benar-benar ingin menjadi bagian dari hidupku, dia harus mulai menyesuaikan diri.
Dengan ragu, Laras akhirnya melangkah ke dapur. Aku bisa melihat dari caranya bergerak bahwa dia masih belum terbiasa berada di rumah ini, apalagi harus menyiapkan makanan untuk kedua orang tuaku.
Aku mengikuti langkahnya dan berhenti di ambang pintu dapur. “Semua keperluan dapur sudah ada,” kataku, berusaha menenangkan keraguannya. “Kamu tinggal menyiapkan saja.”
Laras menoleh ke arahku, ekspresinya masih penuh kebingungan. “Aku… aku nggak tahu harus mulai dari mana, Reza. Aku belum pernah—”
Aku menghela napas pelan, mencoba menahan rasa frustrasi yang mulai muncul. “Laras, ini cuma menyiapkan makanan dan minuman. Bukan hal yang sulit.”
Dia menggigit bibirnya, lalu mengangguk pelan sebelum mulai membuka lemari dan mencari apa yang dibutuhkan. Tangannya terlihat sedikit gemetar, dan aku bisa merasakan bahwa dia sebenarnya tidak nyaman.
Tapi aku tetap diam. Aku ingin dia belajar. Jika dia benar-benar ingin menjalani hidup sebagai istriku, maka dia harus bisa menyesuaikan diri dengan keadaan ini.
Aku sengaja meninggalkan Laras di dapur, berharap dia mulai memahami bahwa dia sudah menjadi istri, dan sebagai istri, dia harus mengikuti perintahku, sama seperti Aisyah yang dulu selalu patuh. Aku ingin Laras tahu bahwa rumah ini bukan tempat untuk ragu-ragu, dan dia harus belajar menyesuaikan diri.
Namun, saat aku duduk di ruang tamu, aku mendengar suara ibu yang kembali meninggi. “Reza, kamu ini keras banget sama Laras! Jangan terlalu dipaksakan! Dia masih baru di sini, masa langsung disuruh-suruh gitu?”
Aku menatap ibu, sedikit terkejut dengan kekesalannya. “Bu, ini bukan soal memaksakan. Ini soal tanggung jawab. Laras sudah jadi istri aku, dan dia harus tahu peranannya. Aisyah dulu juga begitu.”
Ibu menggelengkan kepala, wajahnya memerah karena marah. “Tapi Reza, itu tidak berarti kamu bisa begitu keras pada Laras. Dia masih muda, belum terbiasa. Belajar dari kesalahan kita, jangan sampai Laras merasa diperlakukan tidak adil hanya karena Aisyah sebelumnya patuh padamu!”
Aku diam sejenak, tapi hati ini sudah terlanjur dipenuhi kebingungan dan rasa frustrasi. Aku tidak tahu harus bagaimana lagi. Aku hanya ingin Laras bisa beradaptasi dengan kehidupan rumah tangga ini, tanpa harus merasa tertekan.
“Ibu, Laras bukan anak kecil. Dia bisa menyesuaikan diri. Dan aku yakin, dia bisa melakukan ini.” Aku menahan napas, mencoba tetap tenang. “Aku tidak akan biarkan dia jadi lemah seperti Aisyah yang akhirnya membuat keputusan untuk meninggalkan aku.”
Ibu tidak menjawab, hanya diam menatapku dengan ekspresi kecewa. Aku tahu dia tidak setuju, tapi dalam hatiku, aku merasa apa yang aku lakukan adalah untuk kebaikan Laras. Apakah aku salah?
Aku benar-benar ingin Laras bisa menghormati kedua orang tuaku, seperti Aisyah yang selalu memperlakukan mereka dengan baik selama menikah denganku. Namun kenyataannya, aku merasa seperti ayah dan ibu tidak pernah benar-benar peduli atau menghargai Aisyah, meskipun dia selalu berusaha untuk bersikap sopan dan menghormati mereka.
Aku pikir, jika Aisyah saja diperlakukan seperti itu, mengapa Laras harus diberi perlakuan yang berbeda? Aku ingin semua hal ini adil. Laras pun harus belajar untuk mengikuti peranannya, menghormati orang tua kami, dan beradaptasi dengan kehidupan baru ini tanpa ada kecanggungan atau keraguan.
Namun, saat melihat bagaimana ibu dan ayah bertindak acuh terhadap Aisyah, aku merasa sedikit marah. Kenapa mereka bisa sepertinya tidak peduli dengan Aisyah, padahal dia sudah memberikan segalanya dalam pernikahan kami? Apakah mereka akan memperlakukan Laras dengan cara yang sama?
Mungkin aku tidak bisa mengubah pandangan mereka terhadap Aisyah, tapi aku ingin Laras belajar dari pengalaman itu. Aku ingin dia bisa kuat, mandiri, dan tidak terlalu bergantung pada pandangan orang lain.
Namun, saat aku melihat Laras di dapur, aku tahu dia masih sangat baru dalam hal ini dan harus belajar banyak. Mungkin aku harus lebih sabar dengannya, meskipun aku merasa frustrasi dengan situasi ini. Tapi di sisi lain, aku juga ingin dia tahu bahwa ini adalah tanggung jawab yang harus dia jalani, sama seperti Aisyah dulu.
Setelah beberapa menit yang terasa lama, akhirnya Laras keluar dari dapur membawa hidangan sederhana: mie instan dan telur. Makanan itu terlihat sangat sederhana, bahkan jauh dari harapan, tapi aku tahu dia sudah berusaha keras.
Laras menatapku sejenak sebelum meletakkan hidangan di meja. Aku bisa melihat ekspresi cemas di wajahnya, seolah takut kalau makanan ini tidak cukup memadai atau kalau ibu dan ayah tidak menyukainya.
Ibu menatap hidangan itu dengan raut wajah yang sulit dibaca, lalu berbisik pelan kepada ayah, mungkin menilai apa yang disajikan. Aku bisa merasakan ketegangan di udara, dan hatiku sedikit berdesir. Laras benar-benar tidak mudah berada di posisi ini.
“Ada apa ini, Laras?” ibu akhirnya bersuara, suaranya sedikit berat. “Kenapa cuma mie instan dan telur? Ini bukan makanan yang pantas untuk tamu.”
Aku menatap ibu dengan tatapan keras, merasa sedikit kesal. “Bu, ini tidak masalah. Laras sudah berusaha.”
aku kami empat bersaudara perempuan semua
ibuku juga enam bersaudara perempuan semua
harta kakek nenek diwarisi ibu bersaudara begitupun kami mewarisi harta ayah ibu dgn adil tanpa masalah
Dikira gak sakit apa istri pertama harus menerima suami menikahi orang lain???
mohon berkenan jika komentar saya terlalu tajam /Pray/