“Silakan pergi dari mansion ini jika itu keputusanmu, tapi jangan membawa Aqila.” ~ Wira Hadinata Brawijaya.
***
Chaca Ayunda, usia 21 tahun, baru saja selesai masa iddahnya di mana suaminya meninggal dunia karena kecelakaan. Kini, ia dihadapi dengan permintaan mertuanya untuk menikah dengan Wira Hadinata Brawijaya, usia 35 tahun, kakak iparnya yang sudah lama menikah dengan ancaman Aqila—anaknya yang baru menginjak usia dua tahun akan diambil hak asuhnya oleh keluarga Brawijaya, jika Chaca menolak menjadi istri kedua Wira.
“Chaca, tolong menikahlah dengan suamiku, aku ikhlas kamu maduku. Dan ... berikanlah satu anak kandung dari suamiku untuk kami. Kamu tahukan kalau rahimku bermasalah. Sudah tujuh tahun kami menikah, tapi aku tak kunjung hamil,” pinta Adelia, istri Wira.
Duka belum usai Chaca rasakan, tapi Chaca dihadapi lagi dengan kenyataan baru, kalau anaknya adalah ....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mommy Ghina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10. Sah!
Waktu sudah menunjukkan pukul 15.15 wib. Penghulu, wali hakim dan beberapa saksi baik dari RT dan RW setempat telah berkumpul di taman belakang sebagai venue acara pernikahan kedua baik dari Wira dan Chaca.
Wira tampak menawan dengan setelan jas pengantin berwarna broken white. Ia mematut penampilannya di cermin, ia tampak gugup padahal ini bukan pernikahan pertamanya, hanya saja ia merasakan ini yang paling gugup.
“Akhirnya apa yang kamu inginkan sebentar lagi terwujud, Wira.” Papa Brawijaya yang sudah rapi dengan setelan jasnya menghampiri putranya di ruang kerjanya. Ya, Wira menyiapkan dirinya di ruang kerja, bukan di kamarnya.
“Pah,” sahut Wira sembari membalikkan badannya.
Pria paruh baya itu melangkah mendekati putra pertamanya, lalu menatap dengan saksama penampilan Wira yang sangat berbeda di waktu putranya menikah dengan Adelia.
“Papa tidak tahu apa yang membuat kamu bersikeras ingin menikahi Chaca. Sebagai sesama pria, Papa bisa merasakan ada guratan kebahagiaan yang kamu sembunyikan di balik wajah dinginmu itu, Wira,” ujar Papa Brawijaya dengan tatapan penuh makna.
“Jangan berasumsi berlebihan, Pah. Bukannya Papa menginginkan cucu dariku? Maka dari itu aku memilih Chaca yang pernah melahirkan, jadi aku tidak perlu bersusah payah mencari wanita yang subur,” balas Wira dengan tenangnya.
Pria paruh baya itu tersenyum tipis. Kemudian menepuk lembut bahu putranya. “Benarkah alasannya seperti itu? Karena Ezzar telah tiada makanya kamu bisa menikahinya. Bagaimana kalau Ezzar saat ini masih hidup? Apakah kamu menunggu Chaca jadi janda? Atau mencari wanita lain?”
Pandangan mata Papa Brawijaya sangat mencurigakan, untungnya Wira bisa mengendalikan emosinya untuk tidak terpancing.
“Pastinya akan mencari wanita lain, sesuai persetujuan Adelia.”
“Oh, kalau begitu —“ Papa Brawijaya menatap lekat putra pertamanya dalam persekian detik.
“Sepertinya kamu harus mencari wanita lain, karena Chaca telah kabur.”
“APA!” Wira langsung keluar dari ruang kerja. Papa Brawijaya melipat kedua tangannya ke dada sembari menatap putranya yang sedang berteriak memanggil ajudannya.
“Pasti ada sesuatu padamu, Wira,” gumam Papa Brawijaya bermonolog.
***
Mendengar kata Chaca kabur, bagaikan petir tanpa hujan bagi pria itu.
“Dzaki ... Arif ... Ekhsan!” Suara Wira menggelegar bersamaan dengan langkah kakinya yang begitu lebar menuju lantai dua. Jantung berdegup cepat bagaikan sedang lari maraton.
“Bagaimana dia bisa kabur kembali!” seru Wira, wajahnya mengeras dalam balutan jas pengantinnya.
Tatapan matanya menyiratkan kemarahan yang amat membumbung tinggi, sekali dipetik maka bom waktu akan meledak saat itu juga.
“Dzaki ... Arif ... Ekhsan!!” Wira kembali memanggil asisten dan kedua ajudan yang bertugas, tapi tak seorang pun datang menghampirinya.
“Mas Wira kenapa teriak-teriak begini?” tegur Adelia, tak sengaja berpapasan.
Pria itu menarik napas dalam-dalam. Lalu, tak lama kemudian dari kejauhan ia melihat mamanya keluar dari kamar Chaca, dan tidak ada satu pun ajudan berjaga di depan kamar calon istri keduanya. Hatinya semakin kesal.
“Mas, kok aku tanya kok nggak dijawab?” Bukan hanya Wira yang kesal, tapi Adelia pun juga kesal karena diabaikan. Lantas, wanita itu mengikuti pandangan mata suaminya.
Wira kembali melangkah menghampiri mamanya dengan mengabaikan Adelia.
“Mama habis ke kamar Chaca?” tanya Wira masih dalam keadaan emosi.
“I-Iya, Mama habis ke sana, ngantar beberapa perhiasan buat dipakai Chaca. Kenapa memangnya?” tanya Mama Maryam curiga, lalu menatap putranya sudah rapi dan amat tampan.
Wira bingung mau menjawab apa. Apalagi raut wajah mamanya terlihat tenang, tidak ada menyiratkan kalau calon istrinya telah kabur.
“Kamu sudah nggak sabar lihat Chaca ... hmm?” Mama Maryam menebak terang-terangan di depan Adelia.
“Damn it! Berarti Papa tadi hanya mengerjaiku saja,” gerutu batin Wira terbawa suasana.
Adelia tersenyum pahit, apalagi ia baru menyadari suaminya sudah tampak rapi dan menawan, melebih saat mereka berdua menikah.
“Hanya mau memastikan kalau semuanya berjalan lancar saja, Mah,” balas Wira tersenyum canggung.
Adelia dengan sengaja merangkul mesra lengan suaminya, Wira lantas menolehkan wajahnya ke samping menatap istrinya yang ekspresinya menggambarkan ketidakrelanya, hanya saja tersimpan rapi dalam senyum hangatnya.
“Suamiku sangat tampan,” puji Adelia dengan lirihnya.
Mama Maryam yang berada di tengah mereka bertiga hanya mendesah pelan. “Mama mau mengecek Aqila dulu, sebaiknya kalian berdua turunlah. Bukankah sebentar lagi acara dimulai,” pinta Mama Maryam yang sebenarnya lama-lama muak melihat sandiwara Adelia.
“Ya, Mah,” jawab Adelia pelan tanpa melepas pandangan pada suaminya, lalu menarik lengan Wira agar berbalik arah.
Sebelum turun, pandangan mata pria itu tertuju ke pintu kamar Chaca. Rasanya ia ingin memastikan jika wanita itu ada di sana, hanya saja niatannya diurungkan karena ada Adelia.
“Ayo, Mas,” ajak Adelia agak memaksa.
“Mmm,” gumam Wira memaksakan diri untuk membalas senyuman istrinya.
Dan begitu menuruni anak tangga tampaklah Papa Brawijaya menatapnya dengan pandangan menyelidiknya, lalu sudut bibirnya menyeringai tipis seakan sedang memergoki dirinya.
“Maaf Tuan, tadi memanggil saya, ‘kah? Saya tadi ada di belakang.” Dzaki baru menghampiri tuannya setelah mendapat kabar.
“Ya, pastikan semuanya berjalan dengan baik. Cek kembali,” pinta Wira dengan lirikan matanya ke arah atas.
Dzaki langsung paham, “Baik Tuan.” Ia bergegas ke atas tanpa harus dijelaskan oleh Wira.
Sementara itu, di kamar Chaca. Perias pengantin tampak sabar saat mendandani calon pengantinnya, sejak tadi terus menangis, dan mau tidak mau merusak riasannya yang sudah rapi. Walau sudah memakai make up waterprof tetap saja perias merasa tidak puas dengan hasilnya.
“Mbak-nya yang sabar. Segala sesuatunya pasti ada hikmahnya. Jangan bersedih terus. Mbak-nya ini udah cantik ... malah tambah cantik di make-up, pasti nanti calon suaminya makin jatuh cinta loh. Percaya lah,” ujar sang perias bermaksud menghibur saja. Namun sayangnya, sia-sia saja. Chaca menikah bukan karena dicintai dan mencintai, tapi karena paksaan.
***
Waktu yang dinanti-nantikan oleh Wira akhirnya tiba. Semua orang yang terkait dengan pernikahan keduanya telah berkumpul di taman belakang. Semua maid termasuk Bik Rahma turut menyaksikan pernikahan keponakannya untuk kedua kalinya.
Namun, ada yang sedikit berbeda. Bukan Chaca yang duduk di sebelah Wira, tapi Adelia'lah yang duduk di sebelah suaminya saat pria itu mengucapkan ijab kabul. Adelia bersikap egois dan bersikeras duduk di sana karena pernikahan suaminya bisa terjadi atas persetujuan dirinya agar bisa disahkan secara negara.
Mama Maryam dan Papa Brawijaya hanya bisa mengamati tingkah Adelia dari kejauhan.
“Sah!"
“Sah!”
“Alhamdulillah,” ucap para saksi yang menyaksikan akad nikah tersebut. Adelia menitikkan air matanya, sementara Wira yang masih belum tenang karena belum melihat istri keduanya samar-samar tersenyum tipis. Lalu, ia menatap Aqila yang sedang duduk manis di pangkuan Mama Maryam.
“Baik, untuk acara selanjutnya bisa diantarkan mempelai wanitanya ke sini untuk menyerahkan mas kawinnya. Akan lebih afdol jika diberikan secara langsung dari suaminya, bukan dititipkan ke pihak lain,” ujar sang penghulu sembari melirik Adelia yang masih saja belum pindah duduk dari sisi Wira.
Bersambung ... ✍️
lanjut