Sang Dewi Nemesis Hukum Nolite, yang jutek harus berkelahi dengan berondong teknik yang Playboy itu. Iyuuuuh .. nggak banget!!!!!
Tapi bagaimana kalau takdir berkata lain, pertemuan dan kebersamaan keduanya yag seolah sengaja di atur oleh semesta.
"Mau lo sebenernya apa sih? Gue ini bukan pacar lo Cakra, kita udah nggak ada hubungan apa-apa!" Teriak Aluna tertahan karena mereka ada di perpustakaan.
Pria itu hanya tersenyum, menatap wajah cantik Aluna dengan lamat. Seolah mengabadikan tiap lekuk wajah, tapi helai rambut dan tarikan nafas Aluna yang terlihat sangat indah dan sayang untuk dilewatkan.
"Gue bukan pacar lo dan nggak akan pernah jadi pacar lo. Cakra!" Pekik Aluna sambil menghentakkan kakinya di lantai.
"Tapi kan waktu itu Kakak setuju mau jadi pacar aku," pria itu memasang ajah polos dengn mata berkedip imut.
"Kalau lo nggak nekat manjat tiang bendera dan nggak mau turun sebelum gue nuritin keinginan gila lo itu!!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Realrf, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tidak bergerak
William merapatkan kedua tangannya, menatap Aluna dengan mata membulat dan berkaca-kaca, oh betapa baik dan berani adik perempuan kesayangannya itu. Aluna berdecak, membalas tatapan William dengan jijik.
"Luna .."
"Diem, makan , jangan bikin rusuh lagi. Atau gue nggak bakalan kasih lo nomer cewek itu!" tegas Aluna dengan tatapan tajam tak terbantahkan.
William langsung mengangguk patuh, dengan cepat ia mengerakan sumpit dan sendok sup,mengerakan isi mangkok ramen kedalam mulutnya. Tak ada kata apapun lagi yang keluar dai mulut wiliam, tatapannnya juga hanya tertuju pada makanan yang ada dihadapannya. Pria bermata sipit itu memproses apapun yang masuk di mulutnya dengan kecepatan tinggi.
Willona hanya bisa menggeleng melihat tingkah kakak 6 menit 31 detiknya itu. Aluna pun akhirnya bisa dengan tenang menikmati Ramen wagyu-nya dengan tenang tanpa drama yang menganggu.
"Kita cuma mau beli alat praktek lo doangkan?" tanya Aluna setelah menelan toping mahal ramennya.
"Sebenernya sih mau beli lip tint juga." Willona mengambil satu gyoza lalu mengigit ujungnya, setelah menjawab pertanyaan Aluna.
"Boleh juga sih, parfum gue juga abis, bedak, hem apalagi ya?" tatapan Aluna menerawang dengan mulut yang sibuk mengunyah, tangan yang memegang sendok ia gunakan untuk menopang dagunya.
"Oke, abis ke DIY kita ke Watson," sahut Willona dengan semangat, mata sipitnya berbinar membara siap berburu di toko yang khusus menjual produk perawatan tubuh dan wajah itu.
Namun tidak dengan Aluna, bahu gadis berambut coklat itu turun dengan pelahan, wajahnya pun tak bersemangat. Tangan lentiknya mengaduk malas ramen yang masih separuh lebih.
"Tapi jatah bulanan gue tinggal dikit, kayaknya nggak cukup deh kalau buat beli meke up," ucap Aluna sendu.
"Gue bayarin!" seru William yang langsung membuat perhatian dua gadis itu tertuju padanya.
"Bayarin Aluna doang?"
"lo juga mau, oke ambil semua yang kalian mau di watson."
Aluna dan Willona melongo, keduanya saling melempang tatapan aneh lalu menatap wiliam dengan bingung dan terkejut. Serius? seorang william mau jajanin mereka make up?
Seorang William yang ditebengin ke kampus aja minta uang bensin. Sekarang dengann tiba-tiba mau jajanin make up yang pasti nggak murah.
Keduanya masuh tak berkedip menatap William yang sibuk mengusap keringat. Pria sipit itu memakan ramennya dengan cepat, memaksakan masuk kuah panas dari mie khas jepang itu ke mulutnya. Tentu saja itu membuatnya basah dengan keringat, kaos putihnya bahkan ikut basah saking banyaknya keringat yang ia keluarkan.
Tangan kekar William terulur mengambil segelas yuzu lemonade miliknya, dengan cepat dia menengak minuman itu sampai habis. Setelah meletakkan gelas kosong dengan cukup kasar tangannya ganti terulur ke arah Aluna, menengadah seolah meminta sesuatu.
Aluna yang msih terkejut dengan niat William untuk mentraktirnya make up pun hanya diam dengan dahi berkerut.
"Apa?" tanya Aluna polos.
"Ck, mana ponsel lo," pinta William dengan tidak sabar.
Aluna memutar matanya jengah, tapi tak urung ia mengambil ponselnya dan memberikan benda pipih itu pada william.
"Nih." Aluna meletakan ponsel itu dengan cukup kasar di tangan William.
Pria itu tersenyum lebar seolah baru saja mendapatkan benda berharga. Dengan cepat ia mencari nomer gadis pujaannya. Namun jari telunjuk William berhenti mengeser layar, ia mendongak melihat Aluna dengan senyuman pasta gigi.
"Lo simpen pake nama apa Lun, nomernya bidadari MARUMAGE?"
"Pake tanda tanya doang, orang dianya juga nggak kasih nama cuma ketik nomer aja," sahut Aluna sedikit malas, ia memilih segera melanjutkan makannya agar segera bisa menghabiskan uang William.
WIlliam hanya mengangguk kecil dan segera mencari nomer sang bidadari. Kedua sudut bibirnya terangangkat naik saat ia berhasil menemukan apa yang ia mau.
Aluna dan Willona pun menyelsaikan makan mereka dengan cepat, karena sudah sangat tidak sabar menghabiskan uang Wiliam.
"Will ayo, ngapain masih bengong di situ!? Aluna melipat tangan dengan mata jengah melihat William yang masih duduk di meja yang mereka tempati.
Sementara Aluna dan Willona sudah melangkah sedikit jauh dari William. Bahu William merosot kecewa, dengan lunglai ia perlahan bangkit dari kursi. Sebenarnya ia berharap bisa melihat bidadari MARUGAME itu sebelum ia pergi. Namun sepertinya sang bidadari sedang sibuk hingga tidak bisa mengucapkan selamat tinggal pda pujangga yang memujanya ini.
Langkah Wiliam terasa berat, sejenak ia berhenti lalu menoleh berharap sang bidadari menampakan diri. Tapi itu hanya anggan semu William semata, geram dengan tingkah kakaknya Willona pun menarik lengan William.
Ketiganya pun menuju toko DIY untuk membeli keperluan praktek Willona dan lansung lanjut ke Watson. Sesuai dengan rencana awal, dua gadis itu memilih apapun yang mereka mau dan mereka inginkan, karena mereka sadar momen seperti ini tidak akan datang dua kali. Jadi mereka harus memanfaatkannya sebaik mungkin.
William duduk di kursi kemudi si merah saat semburat senja mulai menapaki birunya langit Hentakan udara yang keluar dari lubang pernafasnya terdengar berat. Pria sipit itu menenggok kebelakang melihat dua gadis yang tertawa senang sambil memasukan hasil rampasan isi kartu ATM-nya. Puas, satu kata itu bisa mewakili raut wajah dua gadis itu.
"Udah ngga ada yang ketinggalan kan?" tanya William memastikan saat Willona duduk di sampingnya.
Willona menjawabnya dengan gelengan, karena saat ini mulut gadis itu penuh setelah mengigit corndog dengan cukup besar.
"Langsung pulang ya, capek banget gue," keluh Aluna sembari menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi mobil.
"Capek ngerampok duit gue maksud lo?" ketus William sedikit emosi, karena dua gadis itu nyaris menguras habis uang bulanannya.
"Baru segini doang dibilang ngerampok. Lagian kan lo sediri yang bilang mau bayarin," sahut Aluna tak terima.
"Iya-iya gue salah ngomong," putus William yang tidak ingin berdebat lebih jauh, karena dia tahu laki-laki tidak akan pernah bisa menang berdebat dengan perempuan.
Sebenarnya William juga salah karena tidak memberikan batas pada kedua tuan putri itu. Hah sudahlah, nasi sudah menajdi bubur. William tinggal mencari cara memulihkan isi dompetnya.
Mobil merah William mulai bergerak meninggalkan tempat parkir, hiruk pikuk jalanan yang padat langsung menyambut mereka saat mobil yang mereka tumpangi menyapa aspal jalan utama. Kuda besi berwarna merah itu mulai berjalan meski perlahan, karena harus berdesakan dengan yang lain.
Jalanan yang pada membuat perjalanan pulang mereka lebih lama.
"Macet banget," William menghela nafas dengan satu tangan yang memegang kemudi.
"Maklumlah, kan jam pulang kerja," jawab Aluna yang duduk dikursi belakang.
"Kita ke sorean pulangnya," timpal Willona yang diangguki Aluna.
Aluna tampak sibuk menatap layar ponsel dan sesekali berdecak, jemarinya lincah membalas pesan di ruang grup chat kelompok tugas kuliahnya. Gadis itu mengangkat kepala saat mendengar bunyi klakson yang nyaring dari belakang mobil William.
"Jalan Will, udah di klasonin noh," tukas Aluna.
"Gue juga mau jalan, tapi mobilnya nggak mau gerak," sahut William panik.
"Hah? mobilnya kenapa?" tanya Willona cemas.
Tapi belum sempat William membalas seorang pria yang mengenakan helm fullface mengetuk kaca mobilnya.
ini juga kenapa pada Ngeliatin Aluna kaya coba.
apalagi dia yang setatusnya sebagai orang tua Cakra. kenapa gak di laporin aja kepolisi si.
Nyatanya mau Cakra tw Om Hail pun sama² keras kepala dalam mempertahankan rasa cinta mereka buat seseorang yg spesial di hati mereka,,,
Apa ini??bakalan ada Drama apalagi yg akan Luna liat???
padahal anak gak tau apa", masa ibunya kecelakaan dan meninggal kesalahan nya harus di tanggung sang anak sampai dewasa?? emang kecelakaan itu disengaja?? salut sama Cakra yg bisa kuat menjalani kehidupan yg keras tanpa kasih sayang orang tua..
padahal anak ny Cakra tapi lebih pro ke Miranda, pasti perkara uang lagi 😒😒