Dua orang sahabat yang terbiasa bersama baru menyadari kalau mereka telah jatuh cinta pada sahabat sendiri setelah jarak memisahkan. Namun, terlambat kah untuk mengakui perasan ketika hubungan mereka sudah tak seperti dulu lagi? Menjauh tanpa penjelasan, salah paham yang berakibat fatal. Setelah sekian tahun akhirnya takdir mempertemukan mereka kembali. Akankah mereka bersama setelah semua salah paham berakhir?
Ikuti lika-liku perjalanan dua sahabat yang manis dalam menggapai cinta dan cita.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon EuRo40, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28
Ana dan Angga baru sampai di rumah sakit. Mereka langsung menuju ke ruangan tempat Galang di rawat. Ana juga membawa buah tangan yang tadi ia beli di perjalanan.
Begitu masuk ke ruangan rawat Galang, di sana ada orang tua Galang. “Pagi, Tante, Om.”
“Eh, Ana sudah datang. Kalau begitu, Tante sama Om, titip Galang sebentar, ya? Kami mau pulang untuk mandi dan sarapan. Nanti kami ke sini lagi,” ucap ibunya Galang.
“Iya, Tante, Biar Ana yang jagain Galang. Tante sama O istirahat aja dulu di rumah. Oh iya, ini Ana bawa makanan dari Bunda.”
“Wah, sampaikan terima kasih ke Bunda. Repot-repot segala.” Ibunya Galang menerima kue dan buah-buahan dari Ana kemudian di taruh di atas meja.
“Maaf, Bunda belum bisa jenguk,” ucap Ana.
“Nggak apa-apa, Mama tahu Bunda kamu sibuk. On ya, kami pulang dulu, ya An. Lang, kamu jangan ngerepotin Ana!” Ibunya Galang memperingati Galang.
“Iya, Ma,” jawab Galang dengan malas. Namanya orang sakit belum bisa banyak bergerak pasti ngerepotin lah!
Orang tua Galang lalu pulang. Galang melirik Angga yang berada di dekat pintu masuk. Itu orang yang sama yang tinggal di samping rumah Ana.
Sementara Angga sendiri diam tak bicara memperhatikan interaksi antara Ana dan orang tua pasien. Mereka terlihat dekat. Pandangan sempat bertemu dengan Mata Galang untuk beberapa saat. Kemudian Galang memutuskan pandangan.
“Sayang, aku belum makan," ucap Galang manja.
Bagaikan dilempar bom Ana shock mendengar kata ‘sayang’. Ia langsung melirik ke arah Angga. Wajahnya tetap datar. Seharusnya Ana tidak perlu terkejut mendengar Galang memanggilnya ‘sayang’ masalahnya saat ini ada Angga di sini dan Angga belum tahu apa-apa, ia juga tidak ingin Angga tahu.
Namun, sekarang semua sudah terbongkar. Angga pasti bisa menebak hubungan mereka dan Ana tak bisa lagi beralasan apa pun.
“Ah, iya. Aku suapi ya makannya.” Ana mengambil makanan yang disiapkan dari rumah sakit, lalu mulai menyuapi Galang.
“Kamu, kenapa belum makan?” tanya Ana.
“Sengaja pengen disuapin kamu,” jawab Galang.
“Cih, dasar manja, kirain masih marah dan nggak mau kenal aku lagi,” balas Ana.
“Maaf, waktu itu aku marah-marah, tapi aku kan begitu karena sayang kamu. Nggak mau kehilangan kamu,” timpal Galang sambil mengunyah.
Setelah ditelan Ana kembali menyuapi Galang. “Tapi ‘kan nggak perlu juga kamu kebut-kebutan dan justru membahayakan nyawa kamu sendiri. Kalau begini lagi aku nggak mau peduli lagi sama kamu.” Ana mengancam Galang, agar Galang tidak melakukan hal yang sama lagi.
“Iya, Sayang.” Galang melirik Angga.
Terdengar suara dering telepon. Angga mengambil ponsel di saku celananya. “An, gue angkat telepon dulu.” Angga memberi tahu Ana. Setelah Ana mengangguk Angga keluar dari kamar Galang.
“Siapa dia?” tanya Galang pada Ana.
“Dia Angga sahabat aku, kamu juga ‘kan udah tahu,” jawab Ana.
“Terus kok, kamu bisa ke sini sama dia? Kamu ‘kan tahu aku nggak suka kamu dekat laki-laki mana pun. Apalagi sampai berboncengan naik motor,” ucap Angga.
“Bunda yang suruh Angga mengantarku. Udah, dong, kamu jangan cemburu lagi, Kak!”
“Kamu yang bikin aku cemburu! Kalau tidak mau aku cemburu jangan dekat-dekat lelaki lain.”
Ana menaruh makanan itu di meja depan sedikit kasar. Ia sungguh lelah dengan sifat Galang. “Terserah kamu aja! Sekarang minum obat terus tidur!” Ana mengambil obat yang sudah disiapkan.
“Aku ‘kan baru bangun, kok, disuruh tidur lagi. Hari juga masih pagi.”
“Kamu orang sakit, perlu banyak tidur biar cepat sehat.” Ana memberikan obat pada Galang, lelaki itu memasukkan obat tersebut ke dalam mulutnya lalu Ana memberikan segelas air putih.
Di luar kamar, Angga mendapatkan telepon dari Anya, yang minta antar pada Angga ke toko buku. Ada buku yang ingin ia beli, tetapi tidak tahu tempat toko bukunya.
“Maaf, aku lagi di rumah sakit sekarang nggak bisa antar kamu,” ucap Angga pada Anya. Ia tak mau meninggalkan Ana berdua dengan Galang.
“Kamu, sakit, Ga?” tanya Anya khawatir.
“Nggak, aku nengokin temannya Ana,” jawab Angga.
“Oh, kamu lagi sama Ana. Syukurlah bukan kamu yang sakit. Ya udah kalau begitu lain kali aja ke toko bukunya. Salam buat Ana, ya Ga, bye!”
Sambungan telepon kemudian terputus. Anya menutup telepon lebih dulu. Ia lalu masuk kembali ke ruangan Galang di rawat.
Suasana di dalam terasa awkward. Tidak ada yang bicara, wajah Ana terlihat datar sedang duduk di sofa. Galang juga berwajah dingin.
Melihat itu Angga berinisiatif mendekati Galang. “Hai, Galang. Kenalin gue Angga, sahabatnya Ana. Karena Ana tidak memperkenalkan kita, jadi gue memperkenalkan diri sendiri,” ucap Angga diiringi senyuman.
Galang melirik Angga dan Ana. “Saya Galang, pacar Ana,” ucapnya sedikit jumawa, menunjukkan kalau Ana adalah miliknya.
Angga tersenyum menanggapi Galang, tetapi dalam hati ia merasa menyesal karena sudah terlambat. Ana sudah menjadi milik orang lain.
Namun, ia tak akan menyerah, selama janur kuning belum melengkung berarti masih ada harapan. Ia tidak akan menikung atau merebut Ana dari Galang, ia hanya akan menunggu Ana sampai Ana putus dengan Galang.
“Iya, Ana sudah bercerita,” ujar Angga.
Padahal Ana tidak pernah jujur jika Galang adalah pacarnya. Bahkan sepertinya Ana merahasiakan hubungan mereka dari orang tuanya sendiri.
Ana merasa gugup dipandang oleh Angga. Ia menatap ke sembarang arah menghindari tatapan Angga.
Datang dokter dan beberapa perawat untuk memeriksa Galang. Ana dan Angga keluar dari ruangan. Mereka menunggu di depan pintu.
“Jadi, Galang pacar lo, bukan teman?” tanya Angga.
“Ya, begitulah. Lo jangan bilang sama ortu gue, ya? Please!” Ana memohon pada Angga.
“Kenapa harus berbohong sama gue dan semuanya?” tanya Angga lagi.
“Karena gue nggak mau lo tahu terus jauhin gue. Gue cinta sama lo, Ga. Bukan Galang. Gue udah berusaha cinta sama dia, tapi nggak bisa karena hati gue udah buat lo.”
Ana hanya bisa mengatakan itu dalam hatinya. Ia tak berani mengungkapkan perasaannya.
“Karena Bunda sama Ayah ngelarang gue pacaran dan harus fokus kuliah. Kalau lo tahu, nanti lo cerita sama mereka.” Alasan yang diberikan Ana berbeda dengan hatinya.
“Tapi, Na. Lo, tahukan, bangkai yang ditutupi pasti akan tercium baunya. Suatu saat ortu lo pasti tahu. Mereka juga seperti itu demi kebaikan lo, mending jujur sama mereka. Gue emang nggak berhak ngatur-ngatur lo, tapi sebagai sahabat yang baik gue juga sayang sama lo, ingin lo bahagia dan dapat cowok yang baik. Sementara ini akan gue pantau cowok lo, kalau dia terbukti tidak baik, gue harap lo putus sama dia.”
“Gue hargai pendapat lo karena lo sahabat gue, tapi keputusan akhir tetap ada di gue. Lo ngga berhak ikut campur!” tegas Ana.
“Fine, gue nggak akan ikut campur. Itu hidup lo,” ucap Angga.
...----------------...