"Dengerin saya baik-baik, Ellaine! Kamu harus jauhin Antari. Dia bakal kuliah di luar negeri dan dia bakal ngikutin rencana yang saya buat. Kamu nggak boleh ngerusak itu. Ngerti?"
Gue berusaha ngontrol napas gue. "Nyonya, apa yang Ella rasain buat dia itu nyata. Ella—"
"Cukup!" Dia angkat tangannya buat nyuruh gue diam. "Kalau kamu beneran sayang sama dia, kamu pasti pengen yang terbaik buat dia, kan?"
Gue ngangguk pelan.
"Bagus. Karena kamu bukan yang terbaik buat dia, Ellaine, kamu tahu itu. Anak dari mantan pelacur, pecandu narkoba nggak pantas buat cowok kayak Antari."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Anjing Kecilnya Asta
...Antari...
...✦•┈๑⋅⋯ ⋯⋅๑┈•✦...
Satu pukulan.
Terus satu lagi.
Dan satu lagi.
Tangan gue, yang dibalut kain, terus menghantam samsak di depan gue. Keringet ngalir dari leher ke dada, perut, sampai lengan yang makin tegang tiap kali gue membanting tinju ke samsak.
Tapi pikiran gue?
Ada di tempat lain.
"Gue…" Ellaine mundur habis meluk gue, kelihatan canggung. Matanya masih sembab gara-gara nangis, dan dia ngindarin tatapan gue. "Maaf, gue…"
"Lo nggak perlu minta maaf," jawab gue sambil ngasih senyum kecil.
Dia nelan ludah, masih nggak berani lihat gue. "Gue harus pergi."
Gue bantai samsak lagi, kepikiran betapa kaku bahu dan posturnya pas dia akhirnya lepas dari gue. Tapi yang paling keingat?
Betapa nyamannya pas dia ada di pelukan gue. Wangi dia masih familiar banget, dan itu bikin gue kesel. Gue nggak boleh kepikiran dia gini. Dia itu cuma masa lalu. Lagian, gue punya cewek.
"Ellaine," panggil gue sebelum dia pergi. Tapi dia cuma ngasih senyum kecil.
"Makasih buat…" dia ragu sebentar "…makasih."
Abis itu, dia masuk ke rumah, mengakhiri obrolan kita.
Kenapa sih dia segitu kakunya sama gue?
Seperti kita nggak pernah kenal. Mungkin memang sudah asing. Tapi kita pernah punya kisah.
Gue makin nekan tinju, ngasih pukulan yang lebih brutal. Samsaknya sampai goyang keras. Gue keingat gimana ekspresinya pas bareng Asta di kamarnya.
Dia kelihatan santai banget, nyaman. Sejak kapan mereka dekat?
Kenapa dia bisa rileks sama dia tapi canggung banget sama gue?
Gue harus stop mikirin dia.
Gue berhenti, megang samsak sambil nyenderin kepala ke situ. Nafas gue ngos-ngosan abis latihan. Keringet sudah mengalir di seluruh badan. Gue cuma pakai celana pendek doang.
Gue ambil handuk, lap asal, terus gue kalungin di leher sebelum keluar dari gym kecil di rumah.
Tadinya mau langsung naik ke atas, tapi gue berubah pikiran. Lagi mood buat gangguin Ellaine dikit. Wajar lah, karena dia sudah menguasai pikiran gue seharian ini.
Begitu masuk dapur, gue langsung ke kulkas, ambil botol air, dan minum. Ellaine lagi nyuci panci, tapi pas dia muter buat ngelap, dia lihat gue.
"Oh!" dia kaget sampe pancinya jatuh. "Saya nggak nyangka Tuan ada di sini...Maaf."
Sial, sekarang dia ngomong pakai bahasa formal lagi?
Kenapa?
Dia ambil pancinya, terus pas dia berdiri, matanya otomatis melihat ke dada, ke perut gue… dan pipinya langsung merah.
Gue senyum miring, ngerasa menang, tapi nggak bilang apa-apa.
Dia ngelewatin gue, tapi matanya masih suka nyolong-nyolong lihat badan gue. Gue sadar gue menarik.
Bukan sombong, tapi gue tahu aja. Gue juga kerja keras buat tetep fit. Gue suka olahraga dan makan sehat, kalau ada waktu, sih.
Gue sama dia memang mirip. Anan memang dari dulu anaknya sporty banget, dan Asta juga kadang-kadang pakai gym kita.
Ellaine lewat lagi di sebelah gue abis taruh panci di lemari.
"Tuan lapar?
Gue perhatiin dia, mumpung dia lagi membelakangi gue.
"Iya."
Rambutnya yang dikepang bikin lehernya kelihatan jelas, beberapa helai merah lepas dari kepangannya, kontras banget sama kulit putihnya.
Ellaine muter badan buat lihat gue, dan gue langsung mengalihkan pandangan ke luar jendela.
"Mau makan apa?"
"Salad buah aja."
Dia ngangguk. "Oke."
Gue duduk di depan meja dapur, sementara dia ada di seberang, nyiapin semuanya. Mata gue memperhatikan cara dia motong buah, gerakannya cepat tapi tetap lembut. Jemarinya nyentuh buah dengan hati-hati, bibirnya kegigit pelan tiap kali pisaunya nembus daging buah.
Bintik-bintik kecil di pipinya yang biasanya nggak terlalu kelihatan, sekarang jelas banget kena cahaya.
Kenapa dia secantik ini, sih?
Apa yang dia punya tapi cewek-cewek cantik lain yang pernah gue pacari nggak punya?
Gue beneran penasaran.
Tatapan kita ketemu, dan mata hitamnya yang dalem banget bikin gue lupa sama hubungan kita sekarang. Sebelum sempat mikir, gue sudah nanya, "Lo baik-baik aja?"
Dia ngangguk. "Iya."
Dia nyodorin piring buah ke gue, dan gue langsung sadar, nggak ada stroberi di situ. Hampir aja gue senyum. Dia masih ingat kalau gue alergi stroberi.
"Lo jago banget motong buah."
Gue bahkan nggak tahu kenapa gue ngomong gitu.
Kenapa sih gue masih aja nyoba ngajak ngobrol?
Dia nggak jawab, jadi gue cuma ngambil potongan melon, masukin ke mulut, kunyah pelan-pelan sambil tetep memperhatikan dia yang sibuk di dapur.
Kenapa dia dingin banget?
Gue nggak biasa begini. Biasanya, orang-orang yang mati-matian berusaha buat ngobrol sama gue, bukan sebaliknya.
Mereka selalu coba menembus tembok yang gue pasang.
Tapi Ellaine?
Dia malah seperti nggak peduli. Itu bikin gue bingung banget.
Apa dia beda kalau sama Asta?
Dia kan ada di kamar Asta tadi malem, kelihatan santai banget.
Sudah, stop.
Gue harus stop mikirin itu.
Gue mau bangun dan pergi, tapi tiba-tiba ekspresi Ellaine berubah. Tatapan dinginnya ilang, diganti sama sesuatu yang… penuh kasih.
Senyum terukir di bibirnya, dan jujur, gue nggak bisa ngomong apa-apa. Jantung gue tiba-tiba ngebut seperti orang bego.
Gue pengen dia melihat gue seperti itu.
Gue ngikutin arah pandangannya, ada anak anjing putih, bulunya tebel, lagi jalan ke arahnya dari arah pintu belakang.
Ellaine langsung jongkok, dan si anjing kecil itu taruh dua kakinya di paha Ellaine, menjilat tangannya sementara dia mengelus-ngelus kepala kecilnya.
"Halo, ganteng," katanya, suara itu lembut banget, matanya penuh kasih sayang.
Dari mana anjing ini muncul?
Ellaine seperti baru ingat kalau gue ada di situ, langsung berdiri lagi, ekspresinya balik ke datar. Dia ke wastafel buat cuci tangan, sementara si anjing kecil ngikutin dia kemana-mana.
"Gue nggak tahu kita punya anjing," gue ngomong lagi, nggak ngerti kenapa gue masih nyoba ngajak dia ngobrol.
Ellaine hampir nggak lihat ke arah gue.
"Punya Asta. Dia suka ngadopsi anjing-anjing yang ditelantarin. Sering banget dia jadi relawan di tempat penampungan."
Asta…
Asta…
Suaranya jadi lebih lembut pas nyebut nama adik gue, dan anehnya, itu bikin gue kesel.
Gue lanjut makan buah-buahan gue.
"Wah, dia memang baik banget, ya."
"Memang gitu orangnya." Dia ngangguk.
"Gue kira lo udah nggak suka anjing lagi."
Gue masih ingat jelas alasannya. Waktu kita masih bocah, bokap pernah bawa pulang anak anjing. Kita kasih nama Moana.
Sayangnya, beberapa bulan kemudian, dia kena infeksi yang bahkan dokter hewan nggak bisa sembuhin. Moana akhirnya mati. Gue sama Ellaine hancur banget waktu itu, sampe bikin acara pemakaman kecil buat dia. Sejak saat itu, anjing jadi topik sensitif buat kita berdua.
Ellaine melihat gue dengan tatapan penuh pengertian, seperti ngasih tahu kalau dia juga ingat.
"Gue nggak bakal lupa sama Moana." Senyum sedih muncul di bibirnya. "Tapi, entahlah... susah banget nggak jatuh cinta sama anjing-anjing yang Asta bawa. Mereka lucu banget dan bener-bener butuh kasih sayang."
Anjing kecil itu ninggalin kaki Ellaine, muterin meja dapur, terus tiba-tiba ada di samping gue. Badannya yang berbulu melewati kaki gue, bikin geli. Gue nggak tahu harus ngapain. sudah lama banget gue nggak deketan sama anjing sejak Moana.
Tapi tiba-tiba, alis gue berkerut pas melihat anjing itu angkat kaki kirinya, seperti mau pipis di kaki gue.
"Ah!" Gue langsung lompat, buru-buru mundur sebelum kejadian. Hampir aja kena. "Astaga, apaan sih ini?!"
Tawa Ellaine langsung meledak, nyaring banget sampe bergema di dapur. Dia ketawa gila-gilaan, sampe harus megang perut buat tarik napas.
Gue melotot ke anjing kecil itu pas dia mau deketin gue lagi. "Nggak! Mundur! Anjing nakal!"
Gue nggak percaya gue lagi mundur gara-gara hewan sekecil ini, yang tingginya bahkan nggak nyampe lutut gue.
Ellaine sudah merah mukanya karena kebanyakan ketawa. Dan untuk beberapa detik, gue lupa sama anjing itu. Gue cuma memperhatikan dia ketawa.
Tuhan, gue kangen banget denger suara itu.
Pas Ellaine sadar gue lagi memperhatikan dia, dia buru-buru berusaha berhenti ketawa, bibirnya dikatup rapat.
"Doggy!" Dia manggil anjing itu supaya menjauh dari gue. "Sini, Doggy!"
Si anjing langsung ngikutin dia, terus Ellaine menggiring dia keluar dari dapur dan nutup pintu belakang. Begitu dia balik melihat gue lagi, bibirnya masih dikatup rapat, matanya terlihat senang.
"Lo puas banget kayaknya, ya?
"Nggak, Pak." Dia nyengir kecil. Pertama kalinya dia manggil gue "Pak" tanpa ada nada sinis di suaranya.
Tanpa mikir panjang, gue jalan mengelilingi meja, mendekatinya. "Lo beneran puas, kan. Jangan-jangan lo sengaja ngelatih dia buat ngencingin gue?"
Dia ketawa kecil, berusaha nyari ekspresi serius lagi sambil mundur. "Jelas nggak."
Gue terus maju, sampe dia nggak bisa mundur lagi. Punggungnya nempel ke dinding di sisi dapur. Tawanya mulai pudar, matanya berubah jadi sedikit waspada.
Dia kejebak.
Gue taruh kedua tangan gue di dinding, membatasi ruang geraknya. Dia sempat mau dorong gue, tapi trus seperti berubah pikiran. sepertinya dia baru ingat kalau gue lagi nggak pakai baju. Tangannya bakal langsung kena kulit gue kalau dia nyentuh.
"Lo ngapain?"
Gue angkat sebelah alis. "Mana tadi "Pak"-nya?"
Dia ngelewatin lidah di bibirnya, sedikit gugup.
"Gue nggak suka manggil lo gitu."
"Kenapa nggak?"
Dia balas tatap gue, matanya lurus ke mata gue. Tegas. Sama sekali nggak kelihatan ragu atau takut.
"Lo terlalu muda buat dipanggil Pak."
"Pak, itu nggak ada hubungannya sama umur, tahu."
"Gue tahu. Kata lo, itu tanda hormat buat bos di rumah ini." Dia ngeroll matanya. "Dan seperti yang udah gue bilang, lo bukan bos gue."
"Oh, gitu?"
Dia sedikit angkat dagunya, membalas tantangan gue.
"Iya."
Gue makin nyender ke dia, muka kita sudah sedeket itu sampai gue bisa melihat semua detailnya dengan jelas.
"Kalau gue bukan bos lo, terus gue ini siapa?"
Gue lihat dia ragu-ragu, bibirnya sudah dalam jangkauan gue. Tinggal dikit lagi dan gue bisa ngerasainnya, bisa nyicipin gimana rasanya di bibir gue.
Dalam satu detik singkat, dia kelihatan rapuh. Gak seperti biasanya yang selalu penuh kendali, kali ini dia kelihatan bimbang. Dan anehnya, gue suka itu.
Gue pengen dia kehilangan kendali, seperti gue setiap kali ada di dekatnya. Sama dia, gue jadi gak bisa mikir jernih.
Napas kita mulai berantakan, panas dari badan kita bercampur di udara. Ellaine melewati tatapan gue, matanya lurus ke gue waktu dia akhirnya ngomong,
"Udah gue bilang, lo cuma anaknya bos gue."
Tapi kali ini suaranya beda. Gak sepede pertama kali dia ngomong gitu. Dia nyoba menyingkirkan tangan gue, mundur menjauh, tapi gue gak kasih dia pergi. Gue langsung narik tangannya, menjebak dia di antara badan gue dan meja dapur.
"Cuma itu doang?" Gue angkat dagunya, maksa dia buat balik natap gue. "Cuma anak bos lo, Ellaine? Gue gak percaya."
"Terserah lo mau percaya apa enggak." Dia melepaskan dagunya dari tangan gue.
"Kalau gitu, kenapa lo selalu kabur dari gue? Lo takut sama apa?" Entah kenapa pertanyaan itu keluar gitu aja dari mulut gue. Tangan gue sudah ada di kedua sisi pinggangnya, nutupin celah biar dia gak bisa ke mana-mana.
Tatapan kita nyambung lagi. Gue pengen ngerti dia, pengen bongkar apa yang dia sembunyiin. Gue dulu kenal semua sisi lemahnya, tapi sekarang? Dia cuma kasih gue tembok dingin. Dan gue gak mau itu.
"Gue gak takut apa-apa. Dan gue gak kabur dari lo."
"Bohong."
Dia menjepit bibirnya, matanya turun ke dada gue.
"Lo bukan siapa-siapa buat gue, Antari."
Gue angkat dagunya lagi. "Lihat gue, terus ulangi itu."
Dia balas natap gue, tapi ada jeda. Kita sudah sedeket itu, sampai setiap tarikan napasnya bikin dadanya nyentuh kulit telanjang gue.
"Lo…" Suaranya menggantung. Jempol gue, entah kenapa, mengusap bibirnya. Dia refleks sedikit buka mulut, napasnya kedengeran lebih berat.
Sial.
Gue pengen banget nyium dia.
Satu-satunya yang nahan gue cuma Maurice. Dia itu orang yang spesial buat gue. Gue gak mau nyakitin dia, gak mau jadi orang yang selingkuh. Bahkan, sampai sejauh ini aja, gue sudah ngerasa salah. Gue gak boleh jadi seperti nyokap gue.
Ellaine diam, memperhatikan gue, seperti lagi nunggu buat lihat apa yang bakal gue lakuin. Tapi gue sudah tahu apa yang gue mau. Gue mau dia. Gue pengen dia. Dia bikin gue marah, bikin gue bingung, dan gue benci perasaan ini.
Gue gak tahu gimana akhirnya bisa mundur dan keluar dari dapur sebelum gue ngelakuin sesuatu yang bakal gue sesalin. Gue tahu gue harus hati-hati. Gue tolol karena mikir gue sudah gak tertarik sama dia lagi.
Mungkin gue cuma perlu memilikinya sekali biar bisa move on. Mungkin justru karena dia ‘gak mungkin’, gue miliki, itu malah bikin gue makin ke-trigger buat ngejar dia.
Gue gak tahu. Tapi satu hal yang gue yakin, gue gak bakal bisa ninggalin Ellaine sebelum gue bener-bener memilikinya. Sebelum setiap erangan, desahan, dan napasnya jadi milik gue.
Gue selalu dapetin apa yang gue mau. Dan Ellaine mungkin dulu jadi pengecualian pas malam kembang api itu.
Tapi sekarang?
Dia gak bakal jadi pengecualian lagi.
setelah antari beneran selesay sama maurice,tetap aja masih sulit buat bersatu dgn ellaine,blm lagi masalah restu dari orangtua antari
btw yg ngerasain perawannya ella natius kah 🤔🤔
senang nih antari bakal ada ellaine di kantornya 🥰 thanks elnaro
kayaknya bener,antari bukan batari,tapi emang karna jadi seorang batari lah antari jadi pengecut
akhirnya jadi tau asal luka di tangan antari dan memar di wajah asta
penasaran dgn part yg antari mukulin asta 🤔