Rara Maharani Putri, seorang wanita muda yang tumbuh dalam keluarga miskin dan penuh tekanan, hidup di bawah bayang-bayang ayahnya, Rendra Wijaya, yang keras dan egois. Rendra menjual Rara kepada seorang pengusaha kaya untuk melunasi utangnya, namun Rara melarikan diri dan bertemu dengan Bayu Aditya Kusuma, seorang pria muda yang ceria dan penuh semangat, yang menjadi cahaya dalam hidupnya yang gelap.
Namun Cahaya tersebut kembali hilang ketika rara bertemu Arga Dwijaya Kusuma kakak dari Bayu yang memiliki sifat dingin dan tertutup. Meskipun Arga tampak tak peduli pada dunia sekitarnya, sebuah kecelakaan yang melibatkan Rara mempertemukan mereka lebih dekat. Arga membawa Rara ke rumah sakit, dan meskipun sikapnya tetap dingin, mereka mulai saling memahami luka masing-masing.
Bagaimana kisah rara selanjutnya? yuk simak ceritanya 🤗
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Queen Jessi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ketulusan ditengah Kepedihan
Di ruang rapat perusahaan Kusuma Corporat, suasana tegang tak terelakkan. Arga, dengan emosi yang tak terkendali, meluapkan kemarahannya kepada para karyawan. Setiap kata yang keluar dari mulutnya tajam, menusuk keheningan. Setelah rapat selesai, suasana kantor masih diselimuti ketegangan.
Di ruangannya, Nanda mencoba menenangkan Arga yang terlihat lelah. Ia tahu betul bahwa efek mabuk semalam masih membayangi bosnya.
"Kamu sabar, Arga. Jangan terbawa emosi," ucap Nanda sambil meletakkan mangkuk sup di meja. "Ini sup pereda mabuk, nyonya meminta sopir mengantarkan ke kantor."
Arga hanya melirik sekilas, tidak menunjukkan minat, lalu beranjak berdiri.
"Kamu mau ke mana lagi?" tanya Nanda dengan nada khawatir.
"Markas," jawab Arga singkat.
Nanda mendesah kesal. "Ck… kau minum dulu sup ini. Efek mabuk semalam masih ada di badanmu."
Tanpa sepatah kata, Arga akhirnya duduk kembali dan menghabiskan sup yang dibuatkan oleh Rara.
"Jangan ke markas," ujar Nanda mengingatkan. "Bukankah kamu berjanji untuk membedakan pekerjaan? Siang di perusahaan, dan malam baru urusan markas."
Arga mendengar kata-kata itu dengan wajah yang sulit dibaca. Setelah menghabiskan supnya, ia kembali duduk di kursi kebesaran dengan sikap yang lebih tenang.
Namun, suasana hening di ruangan itu tak bertahan lama. Arga akhirnya membuka suara. "Gimana Rara?" tanyanya, kali ini dengan nada yang terdengar lebih lembut.
Nanda tersenyum tipis, merasa bosnya mulai menyadari dampak emosinya pada sang istri. "Istri kamu nggak apa-apa, hanya saja..." Nanda menggantungkan kalimatnya, membuat Arga penasaran.
"Kenapa?" tanya Arga dengan alis berkerut.
Nanda mengambil rekaman CCTV dari kantornya dan memperlihatkannya kepada Arga. Di rekaman itu, terlihat saat Arga tanpa sengaja menyenggol mangkuk sup hingga tumpah mengenai tangan Rara.
"Kamu nggak sengaja nyenggol sup, dan langsung kena tangannya. Sup itu baru dimasak, loh, Ga," ucap Nanda dengan nada menahan teguran.
"Terus gimana sekarang?" Arga terlihat panik, meskipun ia berusaha menyembunyikannya.
"Tenang, bibi sudah mengobatinya," jawab Nanda, sambil menunjukkan cuplikan CCTV setelah mereka meninggalkan rumah.
"Rara sekarang nggak di rumah," lanjut Nanda, membuat Arga kembali tegang.
"Di mana dia?" tanya Arga cepat.
"Dari anak buahku yang mengikuti, dia pergi ke rumah Ibu Amira."
Arga terdiam, mengambil napas panjang sebelum akhirnya berkata, "Biarkan saja. Biarkan dia tenang. Aku cukup kejam kepadanya tadi."
Nanda hanya mengangguk, memilih tidak menambahkan apa-apa lagi. Dalam hatinya, ia berharap Arga segera menemukan cara untuk memperbaiki semuanya. Karena meskipun keras, ia tahu betul bahwa Arga sangat mencintai Rara, meskipun sering gagal menunjukkan rasa itu dengan benar.
...****************...
Rara duduk santai di kursi goyang di teras rumah Ibu Amira. Meskipun tidak semegah rumah Arga, tempat itu memberikan rasa nyaman yang tak bisa ia temukan di rumahnya sendiri. Udara sejuk dan suasana tenang di sekitar membuat Rara mencoba melupakan semua kekacauan yang baru saja terjadi.
Tak lama kemudian, Bayu keluar dari dalam rumah, membawa dua gelas jus jeruk di tangannya. "Maaf ya, Ra, ibu lagi ada arisan, jadi nggak di rumah," ucap Bayu sambil menyerahkan salah satu gelas kepada Rara.
"Nggak apa-apa, Bayu. Santai aja," jawab Rara, menerima gelas itu dengan senyum tipis. Ia kembali memejamkan matanya, mencoba merehatkan pikirannya sejenak.
Bayu yang baru duduk di sebelahnya, tiba-tiba memperhatikan perban di tangan Rara. "Ra, tangan kamu kenapa?" tanyanya dengan nada khawatir.
"Ah, tangan aku nggak sengaja kena percikan air panas tadi pagi pas masak," jawab Rara, berbohong dengan nada santai.
"Astaga, Ra! Udah dikasih obat? Kak Arga tau nggak? Makanya kalau masak hati-hati," ucap Bayu sambil mengernyitkan dahi.
"Nggak papa kok, Bay. Arga udah tau. Dia yang obatin, kok," Rara berbohong lagi, berharap Bayu tidak menggali lebih dalam.
Bayu mengangguk pelan. "Ya udah, kalau gitu nggak apa-apa," katanya, meskipun rasa khawatir masih terpancar di wajahnya.
Setelah beberapa saat hening, Rara memanggil Bayu. "Bay," katanya lembut.
"Mm?" jawab Bayu sambil menoleh.
"Kamu pernah lihat sisi lain Arga nggak?" tanyanya, mencoba menyelidiki lebih jauh tanpa terlihat mencurigakan.
Bayu menatapnya heran. "Sisi lain? Maksudnya apa, Ra? Memangnya Kak Arga punya sisi lain?" tanyanya balik, terlihat bingung.
Mendengar jawaban itu, Rara merasa yakin Bayu tidak tahu apa-apa tentang dunia gelap yang dijalani kakaknya. "Ternyata Bayu nggak tau," batinnya.
Rara cepat-cepat mengalihkan topik. "Idih, serius banget. Maksud aku tuh sisi lain kayak… penyayang, perhatian ,bikin aman. Gitu loh," jawabnya sambil tersenyum kecil, mencoba menghilangkan kecurigaan Bayu.
Bayu menghela napas lega, merasa pertanyaan itu tidak serius. Ia terlalu takut membayangkan jika kakaknya terlibat sesuatu yang berbahaya. "Oo, itu. Hmm, nggak ada sih,kakak jarang liatin hal hal begituan" jawabnya jujur sambil tertawa kecil.
Rara hanya tersenyum tipis, meskipun dalam hatinya ada kegundahan yang tak bisa ia ungkapkan. Ia merasa semakin jauh mengenali sosok Arga yang sebenarnya. Apa aku benar-benar siap menghadapi semuanya? pikirnya dalam hati.
...****************...
Sore harinya, saat Arga melangkah masuk ke rumah, suasana terasa lebih sunyi dari biasanya. Ia melepas dasi dengan lelah dan mencari sosok yang biasa menyambutnya. Namun, tak ada tanda-tanda keberadaan Rara.
"Bi, dimana Rara?" tanya Arga dengan nada datar, meskipun dalam hatinya ia mulai merasa gelisah.
Bibi rumah tangga yang berdiri di dekat ruang makan menunduk sedikit, menjawab dengan hati-hati, "Nyonya berada di rumah ibu tuan, belum kembali sampai sore ini."
Arga menghela napas panjang, tangannya perlahan mengendur dari dasi yang hampir terlepas. Ia tahu betul alasan Rara memilih pergi ke sana. Dia pasti takut untuk menemuiku.
Arga berdiri mematung di ruang tengah, pikirannya berkecamuk. Ia tidak menyalahkan Rara atas keputusannya untuk menjauh, mengingat semua yang terjadi pagi tadi. Dengan nada yang lebih lembut, ia berkata, "Biarkan dia di sana. Jika hingga malam dia tidak kembali, aku akan menjemputnya esok."
Bibi hanya mengangguk, mengerti bahwa Arga membutuhkan waktu untuk berpikir sendiri.
Setelah itu, Arga berjalan ke ruang kerjanya. Ia mencoba memfokuskan diri pada dokumen perusahaan, tetapi pikirannya terus kembali kepada Rara. Bayangan wajah istrinya yang menangis masih terpatri jelas dalam ingatannya. "Apa aku benar-benar telah kehilangan hatinya?" batinnya penuh keraguan.
Malam itu, Arga melewatkan makan malam. Ia hanya duduk di ruang kerjanya, memandangi foto pernikahannya dengan Rara yang terletak di atas meja.
Di Kediaman Ibu Amira
Di rumahnya yang hangat, Bu Amira sedang bersantai di ruang keluarga. Malam itu terasa lebih hidup dengan kehadiran Rara, menantunya yang penuh ceria. Rara bergelayut manja di lengan ibu mertuanya itu, seolah melupakan sejenak semua beban di pikirannya.
"Kamu manja sekali, Rara," ucap Bu Amira sambil tertawa kecil, mengeratkan pelukannya.
"Memang pengen dimanja sama ibu," balas Rara dengan senyum tipis, meskipun hatinya tengah lelah. Ia sengaja mencari kehangatan di sini untuk menenangkan dirinya.
Bu Amira memandang wajah Rara dengan lembut. Ia tahu Rara pasti sedang menghadapi sesuatu, tapi memilih untuk tidak memaksa menanyakan apa yang terjadi.
"Kamu nggak pulang, Ra? Nanti Arga nyariin kamu," tanya Bu Amira, meskipun ia tak ingin mengusir menantunya.
Rara tersenyum kecil dan menjawab, "Nggak apa-apa, Bu. Arga lagi sibuk, aku di sini saja bareng Ibu. Aku sudah izin kok sama Arga." Kebohongan itu keluar dengan mudah, berharap ibu mertuanya tidak bertanya lebih jauh.
Bu Amira mengangguk, mempercayai ucapan Rara. "Kalau begitu, kamu istirahat saja di sini. Ibu senang sekali ada kamu," ujarnya dengan tulus.
Malam itu, suasana di rumah Amira begitu hangat. Mereka berbincang ringan, berbagi cerita, dan sesekali tertawa bersama. Kehadiran Rara membuat rumah yang biasanya sunyi menjadi lebih hidup.
Saat larut malam, Rara dan Amira akhirnya tertidur di sofa ruang keluarga, masih dengan senyum di wajah mereka. Untuk sesaat, Rara merasa menemukan kedamaian yang sudah lama hilang dari kehidupannya. Namun, di dalam hatinya, ia tahu ini hanyalah pelarian sementara dari kenyataan yang harus ia hadapi. Besok mungkin semuanya akan berbeda lagi, pikirnya sebelum terlelap.